KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

KEPADA TANAH AIR INI ADA CINTA YANG TIDAK SEDERHANA

KEPADA TANAH AIR INI ADA CINTA YANG TIDAK SEDERHANA

Nasionalismeku lebih daripada kegiatan baris-berbaris.
Nasionalismeku ada pada tiap puisiku baris demi baris.
Nasionalismeku bukan nasionalisme angkat senjata.
Nasionalismeku adalah nasionalisme angkat pena.
Nasionalismeku adalah baktiku pada Sastra Indonesia.
Nasionalismeku adalah persembahan diriku pada tunas-tunas muda.

Merdeka raganya, merdeka jiwanya.
Merdeka perutnya, merdeka pikirnya.
Merdeka karyanya, merdeka sembahyangnya.

Satu hal yang aku yakini dengan sepenuh hati:
Menjadi Jawa adalah gerak menjadi Indonesia,
tapi menjadi Indonesia janganlah jadi gerak men-Jawa.
Menjadi Katolik adalah gerak menjadi Indonesia,
namun, menjadi Indonesia adalah dinamika mem-bhinneka.

Artikulasi meng-Indonesia ini tidak selesai pada 17 Agustus tujuh puluh lima tahun lalu.
Artikulasi meng-Indonesia ini adalah aktus di sini dan kini.

Pada sahabatku yang biru itu aku menyaksikan manifestasi nasionalisme yang penuh cinta:
dia menanam sayurnya sendiri pada paralon cuma-cuma di depan rumah tumpukan bata.

Jangan ragukan nasionalisme orang-orang macam ini.
Rasa cintanya terhadap tanah-air ini semurni rasa cintanya pada kemanusiaan itu sendiri,
seperti kata Bung Besar pada pidato 1 Juni.

Dua orang jurnalis berkendara mengelilingi Indonesia mendokumentasikan realitas manusianya adalah gerak nasionalisme. Seorang sastrawan pulang ke negeri ini walau nikmat hidupnya di Negeri Kiwi adalah gerak nasionalisme. Para petani tembakau di Temanggung setia merajangi daun tembakau, itu adalah gerak nasionalisme. Seorang pengacara menjadi buangan karena membela hak asasi manusia justru adalah gerak nasionalisme. Para tenaga kesehatan berhadap-hadapan dengan wabah covid-sembilan belas yang mematikan adalah gerak nasionalisme. Seorang juragan martabak mencalonkan diri sebagai walikota, apakah itu juga gerak nasionalisme?

Semua orang bisa bilang “Aku cinta Indonesia,”
tapi berapa orang yang bisa menjawab petanda apa di balik penanda “Indonesia”?
Setiap orang bisa bilang, “Aku rela mati demi tanah-air ini,”
tapi berapa orang yang dapat dengan jitu memaknai frasa “tanah air” ini?
Semua orang bisa teriak “MERDEKA!!!”
semoga orang di Nabire sana pun dapat meneriakkannya dengan lega.

Malang, 17 Agustus 2020
kalonggedhe

Comments