KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

MALAM KEPUTUSAN

MALAM KEPUTUSAN

Keluar atau terus bagi seorang frater tidak seperti “siang ini aku ingin makan sup saja dari pada dengan nasi”. Keluar atau terus bagi seorang frater melibatkan segenap kediriannya, antara dia dengan jati diri (siapa dia sebenarnya) di hadapan Tuhan. Sungguh menyedihkan mereka yang memandang sebelah mata para mantan frater. Mereka hanyalah penonton kehidupan, bukan pelaku. Saat memutuskan keluar atau terus bagi seorang frater adalah saat istimewa, saat dia akan menjadi dirinya sebenarnya dan akan hidup sebagaimana dirinya sebenarnya. Sungguh menyedihkan para frater yang melewatkan saat-saat ini. Mereka sebenarnya takut bertemu kesejatian dirinya, lebih menyedihkan mereka takut pada kehidupan yang nyata-nyata ada bersama mereka. Pelarian apa pun akan sia-sia.

Filosofan Wisma Nazaret,
Minggu, 8 Februari 2009
Yohanes Padmo Adi Nugroho

Comments