KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

MEREFLEKSIKAN KEMBALI PANCASILA, SILA PERTAMA

MEREFLEKSIKAN KEMBALI PANCASILA, SILA PERTAMA
Sebuah Kado untuk Indonesia Tercinta

Indonesia adalah negara yang plural, terdiri dari banyak suku, ras, bahasa daerah, agama, sistem kepercayaan, kultur, subkultur, dan sebagainya. Walaupun demikian, para pemuda pada tahun 1928 merasa senasib dan sepenanggungan; mereka merasa sebangsa dan setanah air. Mereka juga mendeklarasikan Bahasa Indonesia (Bahasa Melayu yang sudah disempurnakan dan dipakai di seluruh Nusantara sebagai bahasa dagang) sebagai bahasa persatuan. Para bapa pendiri bangsa kita pun menyadari hal ini. Maka diciptakan sebuah sistem filsafat yang sekiranya dapat menjembatani segala keanekaragaman tersebut, sistem filsafat yang sebenarnya sudah berurat-berakar dalam hati sanubari, adat-istiadat, dan kebudayaan Nusantara, bahkan jauh sejak masa Nusantara kuna (400-1500 M). Sistem filsafat itu adalah manifestasi kemanusiaan Indonesia. Itulah Pancasila!

Pancasila adalah sistem filsafat dengan lima tesis pokok:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Kelima tesis itu dapat dirangkum dalam satu kata atau frasa sederhana yang akan membuat kita lebih memahami apa sebenarnya yang dimaksud. Satu kata dan frasa itu dapat menjadi batu pijakan kita untuk merefleksikan kembali Pancasila. Kata dan frasa kunci itu adalah:
1. Ketuhanan (Divinity)
2. Kemanusiaan (Humanisme)
3. Nasionalisme (Kebangsaan/Keindonesiaan)
4. Republik-Demokrasi
5. Sosialisme
Saya akan mencoba membedah kelima kata/frasa tersebut. Namun, karena kegiatan dan kesibukan, saya akan membedahnya secara bersambung mulai dari sila pertama.

1. Ketuhanan (Divinity)
Bangsa Indonesia telah mengalami pengalaman Ketuhanan sejak (bahkan mungkin sebelum) abad IV Masehi. Tujuh yupa Kutai menggambarkan bagaimana Raja Mulawarman mengadakan acara kenduri (syukuran) dan memberi sedekah kepada para brahmana. Pengalaman Ketuhanan ini bahkan melampaui batas agama. Hal ini nampak dalam toleransi dua agama besar di zaman Majapahit, Hindhu Siwa dan Buddha. Dalam Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular (abad XIV) dijelaskan bahwa Siwa dan Buddha, walau berbeda, sejatinya satu, sama.

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Diterjemahkan bebas sebagai berikut

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Para bapa pendiri kita menyadari bahwa rakyat Nusantara jauh sejak nenek moyang kita memiliki rasa Ketuhanan yang diterjemahkan ke dalam banyak ragam agama dan kepercayaan: Hindhu Siwa, Buddha, Siwa Buddha, Hindhu Bali, Kaharingan, Islam, Kejawen, Katolik Roma, Kristen Protestan, Katolik Ortodoks, Konghucu, dan lain sebagainya (yang pada era para bapa pendiri mungkin tidak sebanyak dan sekompleks yang saya sebutkan di atas walau bibit-bibitnya sudah ada). Ketuhanan dialami, diterjemahkan, diungkapkan, dan dirumuskan dalam berbeda-beda agama, ritus, dan kepercayaan. Bahkan, ada yang tetap mengalami pengalaman Ketuhanan tanpa memutuskan untuk memeluk suatu agama atau mengikuti aliran kepercayaan tertentu. Itulah mengapa para bapa pendiri tidak memakai terminologi Allah, Tuhan, Bapa, Debata, Hyang Tunggal, Hyang Widhi atau terminologi yang langsung merujuk pada penyebutan nama Sang Ada sebagaimana dihayati dalam salah satu agama tertentu, tetapi dengan bijaksana memakai terminologi filsafat, “Ketuhanan”, yang lebih dapat merangkum segala penyebutan sejauh dialami dan diungkapkan dalam agama-agama tertentu. Dan, itulah mengapa Bung Hatta, selaku anggota PPKI, dengan bijaksana menerima dan menyampaikan usulan untuk menganulir tujuh kata itu dan merumuskannya kembali dengan frasa “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Terminologi “Ketuhanan” jauh lebih luas, bahkan dapat menyentuh ranah berpikir filosofis para atheis. Sejak humanisme-renaissance, pola pikir teosentris mulai digeser menjadi antroposentris. Untuk berpikir (baca: merefleksikan) tentang Tuhan, kini kecenderungan manusia memulainya dengan berpikir tentang manusia. Para atheis memang secara teoretis menolak eksistensi Tuhan, tetapi tidak sedikit dari mereka yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika homo imago Dei est (manusia adalah citra Allah), walaupun mereka secara teoretis menolak eksistensi Tuhan, mereka tetap memperjuangkan nilai-nilai yang oleh kaum beragama diimani berasal dari Tuhan (cinta kasih, perdamaian, keadilan, dll – Anda bisa menyebutkannya sendiri dan merangkainya menjadi sebuah litani).

Terminologi “Ketuhanan” ini begitu luas. Akan menjadi pengerdilan kalau HANYA kita coba telaah dalam satu sudut pandang (dogma) agama tertentu saja. Pengalaman Ketuhanan adalah pengalaman eksistensial yang menghendaki sebuah keputusan mendasar dan dialami secara khas unik setiap pribadi. Maka, sudah sejak awal mula pengalaman Ketuhanan itu begitu plural, khas menyapa tiap-tiap eksistensi individu tanpa terlepas dari koeksistensi dengan subyek yang lain. Dan, setiap individu Indonesia secara eksistensial pasti pernah menanyakan sebuah pertanyaan Ketuhanan, setidaknya menanyakan “dari mana aku berasal dan ke mana aku akan pergi” (yang salah satunya dengan dahsyat dirangkai dalam etika sangkan-paran dalam kebijaksanaan Jawa – yang adalah kebijaksanaan Indonesia). Kita tidak harus terbatas pada koridor agama dalam membahasakan pengalaman tremendum et fascinans berhadapan dengan Sang Ada ini. Kita dapat juga menggunakan akal-budi kita secara kritis. Sehingga kita dapat menghayati misteri cinta Sang Ada dalam kehidupan sehar-hari dan mengungkapkannya dalam agama kita masing-masing secara kritis sehingga kita dapat menerima pengungkapan itu dalam cara yang sama sekali lain tanpa kita kehilangan iman dalam agama/kepercayaan yang kita anut sebagaimana diungkapkan Sutan Takdir Alisjahbana,”... bahwa masing-masing agama hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan ekspresi-ekspresi berbeda dari pencarian manusia yang sama tentang kekudusan misterius... .” Tuhan yang satu dan sama kita alami, hayati, ungkapkan, dan bahasakan dalam cara yang berbeda-beda. Maka, para bapa pendiri bangsa merumuskan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tepat.

*Bersambung...

Bibliografi
http://www.facebook.com/home.php?#!/group.php?gid=134995579903&ref=ts

FILSAFAT KETUHANAN, Diktat tidak diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Franz Magnis-Suseno, PIJAR-PIJAR FILSAFAT, Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan – dari Adam Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2008

P.J. Suwarno, PANCASILA BUDAYA BANGSA INDONESIA, Yogyakarta: Kanisius

Comments