Apa Arti Cinta di Tengah Keniscayaan Ketiadaan?
Aku duduk di tengah taman kota. Hari telah senja, langit berwarna biru dengan awan hitam menggantung. Bulan separuh mengintip di balik dedaunan. Para manusia berlalu-lalang, mungkin tak menyadari keberadaanku.
Baru saja aku lalui sebuah perjalanan. Perjalanan itu bisa mengantarkanku ke kota ini sekaligus juga bisa saja justru mengantarkanku menemui ajal. Kereta api selalu mengantarkan seorang kepada orang yang lain dan memisahkan seorang dari orang yang lain bahkan untuk selamanya. Kita tidak pernah mengetahui saat kematian kita. Mungkin, hanya para kudus yang mampu.
Aku duduk di bawah lampu taman yang menyala kekuning-kuningan. Hatiku tengah dilanda melankolia yang memedihkan entah bagaimana. Mungkin karena aku sengaja tidak pergi misa hari ini. Atau, mungkin aku kembali bertanya tentang cinta.
Aku telah memiliki kekasih. Dia cantik, pintar, hanya saja selalu merasa repot dengan dirinya. Aku benci kerepotan. Aku ingin segalanya sederhana saja. Namun, aku tidak membenci kekasihku. Bagaimana mungkin? Aku telah berusaha menerima dia apa adanya dengan segala kerepotan yang selalu ada padanya.
Ada seorang gembel tua berjalan di depanku di saat mobil-mobil mewah tak henti-hentinya berlalu-lalang. Mungkin dialah sebenar-benarnya manusia yang mampu memahami kehidupan dengan sederhana. Apakah hidup rumit dan repot? Sepertinya hidup itu sederhana: lahir, tumbuh dewasa, menjadi tua, dan mati. Hanya empat kata/frase untuk menggambarkan hidup. Bagaimana bisa sekarang hidup menjadi serepot ini?
Langit sudah tidak lagi biru juga belum sepenuhnya hitam. Bulan masih ada di sana, di balik dedaunan. Lampu taman ini juga masih ada pada tempatnya. Namun, waktu seakan memadat ketika aku semakin asyik menulis. Entah apakah kekasihku jadi menyusulku ke kota ini atau tidak. Di saat seperti ini, dunia tidak mengenaliku, tapi akulah pusat dunia. Dunia berlalu tanpa sudi berkenalan denganku, sedangkan aku terus saja menulis tentang dunia dan dengan demikian mencoba menarik dunia menuju kepadaku.
Pada suatu momentum nanti semua akan berhenti. Lampu taman ini akan putus. Bahan bakar akan habis. Pangan akan semakin menipis. Sedangkan jumlah manusia akan semakin membengkak. Suatu momentum yang menjadi klimaks akan sekaligus menjadi antiklimaks. Mungkin akan ada perang dunia lagi. Protes dan demonstrasi sudah merebak di Timur Tengah. Bencana alam sudah sering melanda. Akankah ini memunahkan kita?
Bayangkan jika seandainya kita punah! Tidak ada lagi musik mengalun, tiada buku ditulis, tiada pentas teater, tiada dialektika filosofis, tiada lagi sejarah. Sejarah berhenti. Waktu berhenti. Ruang tiada.
Sambil membayangkan hal itu, aku bertanya, jika ketiadaan dan kepunahan itu mungkin atau bahkan niscaya, apa arti semua ini? Apa arti lampu taman ini? Apa arti mobil-mobil itu? Apa arti rembulan itu? Apa arti ruang? Apa arti waktu? Apa arti sejarah? Apa arti segala dialektika filosofis yang ada? Apa arti manusia? Apa arti hidup? Apa arti eksistensi dan kehadiranku di taman ini? Apa arti melankolia yang melanda ini? Apa arti cinta?
dekat Padmanaba, 13 Maret 2011
Padmo “Kalong Gedhe” Adi
Comments
Post a Comment