KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Perempuan Srintil di dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Perempuan Srintil di dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
-Yohanes Padmo Adi Nugroho-


Ronggeng Dukuh Paruk – Catatan Buat Emak (buku I) menceritakan perjalanan seorang ronggeng bernama Srintil. Novel itu meriwayatkan bagaimana Srintil kecil bisa menjadi ronggeng yang tenar. Gadis kecil itu harus melewati bermacam ritual dan syarat untuk bisa menjadi ronggeng. Bahkan, sejak kecil dia telah didaulat bahkan oleh kakeknya sendiri dan segenap tetangganya sedukuh untuk menjadi semacam sundal legal yang anehnya justru menjadi kebanggaan tersendiri bagi para warga Dukuh Paruk. Namun, itu tidak tanpa bayar. Srintil harus merelakan cintanya, Rasus yang kepadanya dia tidak memungut sepeserpun uang untuk bercinta, karena karir seorang ronggeng akan tamat setelah ronggeng itu hamil atau menikah.

Sebenarnya dari sudut pencerita bab pertama buku I itu memakai sudut pandang orang ketiga. Jadi, keperempuanan Srintil kecil yang masih sebelas tahun itu diceritakan berdasarkan perspektif yang tidak subyektif. Namun, semenjak bab kedua hingga keempat (terakhir) buku I itu pencerita memakai sudut pandang orang pertama. Maka, penggambaran keperempuanan menjadi sangat subyektif, khususnya berdasarkan perspektif subyek Rasus. Semenjak bab kedua itu penggambaran keperempuanan, khususnya atas Srintil, seakan hanya menjadi pelengkap penceritaan dinamika kehidupan Rasus yang adalah lelaki. Maka, perempuan, khususnya Srintil, di dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah perempuan berdasarkan perspektif lelaki sehingga kita tidak dapat mengharapkan penggambaran perempuan dari sudut pandang perempuan seperti di dalam Novel Susanna Tamaro – Pergilah ke mana Hati Membawamu (Va Dove Ti Porta Il Cuore).

Ahmad Tohari, sang pengarang, dengan perspektif orang pertama memakai tekhnik penulisan yang seperti penulisan buku harian sebagaimana yang dengan jelas digunakan Susanna Tamaro dalam “Pergilah ke mana Hati Membawamu”. Tokoh Rasus, semenjak bab II, digunakan Ahmad Tohari untuk menuturkan cerita dengan seakan-akan menulis sebuah jurnal harian. Pembaca digiring untuk memiliki imajinasi bahwa ketika Rasus menceritakannya/menulisnya, dia telah berada sangat jauh dari peristiwa itu. Kalimat “Baru setelah aku menginjak usia dua puluh tahun, aku mampu menyusunnya menjadi sebuah catatan,” (Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, Jakarta: Gramedia, 2003, 32); kalimat “Siapa pula yang akan menyalahkan Dower bila dia kelak berteriak-teriak bahwa dirinyalah yang telah mewisuda ronggeng Srintil,” (AT, 75); kalimat “Tahun 1960 wilayah Kecamatan Dawuan tidak aman,” (AT, 90); kalimat “Kelak akan terbukti nasib mengubah kehidupanku secara ajaib,” (AT, 91) dan masih banyak kalimat lain membimbing pembaca memasuki dunia kenangan Rasus.

Di dalam dunia kenangan Rasus itu terdapat potongan-potongan gambar tentang perempuan. Perempuan pertama adalah Srintil kecil, gadis kecil teman bermain Rasus. Belum ada asmara di sana. Pembaca mendapatkan gambaran gadis Dukuh Paruk yang dapat bebas bermain bersama anak lelaki Dukuh Paruk dengan segala makian dan candaan cabul, tetapi sama sekali tidak mengarah kepada hubungan seks. Bagi Rasus yang telah tidak memiliki ibu, pelajaran seksualitas pertama membedakan lelaki dan perempuan justru terjadi ketika dia berinteraksi dengan Srintil. Gambaran perempuan perlahan-lahan didapatkan Rasus justru dalam diri gadis lugu Srintil dan bukan neneknya yang telah tua. Kerinduan akan sosok perempuan, dalam hal ini sosok emak, diproyeksikan Rasus kepada pribadi gadis cilik Srintil yang pada saat itu paling cantik di antara anak-anak gadis Dukuh Paruk lainnya. Sosok perempuan yang utuh, juga gambaran seorang ibu, bagi remaja lelaki seperti Rasus terbentuk dari perjumpaannya dengan seorang gadis remaja (ter-)cantik di Dukuh Paruk. Bahkan, saat pertama kali Rasus bercinta dengan Srintil, bukan gadis cantik itu yang dilihatnya, melainkan gambaran seorang perempuan yang selama ini mengisi khayalannya, emaknya.


Gambaran itu sebenarnya perlahan bergeser menjadi asmara semenjak percakapan Rasus dengan Warta pada halaman 62. Namun, menjadi benar-benar berubah pada bab keempat buku I ini ketika Rasus minggat ke Pasar Dawuan. Di sana dia mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang sosok perempuan. Perempuan (cantik) tidak hanya digambarkan seperti Srintil yang mampu mengundang birahi lelaki manapun yang melihat lenggok tubuhnya, tetapi bahkan juga digambarkan seperti perempuan saleh yang rajin sembahyang dan hanya mengizinkan tubuhnya disentuh oleh suaminya. Gambaran perempuan yang disebut emak juga tidak hanya di dapat dari sesosok cantik yang menjadi primadona, tetapi juga dapat ditemukan pada setiap perempuan, bahkan perempuan desa yang paling jelek atau tua sekalipun. Rasus pada halaman 106 sempat menyesal mengapa dia tidak sejak dulu mencari gambaran emak pada diri neneknya yang sudah tua itu, melainkan justru pada perempuan cantik yang menjadi ronggeng primadona itu. Gambaran emak yang diproyeksikan Rasus pada pribadi Srintil rusak setelah Srintil menjalani bukak-klambu dan resmi menjadi ronggeng. Pada bab keempat Rasus mulai berusaha menepis gambaran emak pada diri Srintil dan berusaha jujur bahwa dia menyukai ronggeng itu. Pada halaman 89 Rasus ingin bersaing secara terbuka dengan pria-pria lain untuk mendapatkan Srintil. Dia ingin mencari uang agar dapat meniduri Srintil.

Namun, perempuan memiliki perspektifnya sendiri. Ronggeng adalah juga perempuan yang wajar memiliki rasa cinta. Dia memang mengizinkan pria manapun yang mampu membayar tinggi untuk bercinta dengannya. Itu pekerjaannya sebagai ronggeng selain menari. Akan tetapi, dia akan rela bersetubuh dengan lelaki yang dicintainya secara cuma-cuma tanpa memungut sepeserpun uang. Berkali-kali ketika Srintil singgah di Pasar Dawuan, dia mengajak Rasus menyewa rumah atau tempat yang bisa dipakai untuk bercinta berdua tanpa Rasus harus mengeluarkan uang karena Srintil cinta kepadanya. Bahkan, sebagai perempuan, Srintil memiliki harapan bahwa Rasus akan menjadi suami dan ayah dari anak-anak mereka. Sebagai perempuan Srintil berharap dapat menikah dan memiliki anak dengan satu-satunya lelaki yang dicintainya, Rasus. Perempuan mana yang tidak ingin menikah dengan lelaki yang dicintainya?

Novel Ronggeng Dukuh Paruk memang adalah novel yang menceritakan riwayat seorang perempuan yang menjadi ronggeng, tetapi dari sudut pandang lelaki. Rasus berkali-kali menggambarkan sosok perempuan yang ada di dalam benaknya, bahkan berkali-kali menggambarkan siapa Srintil di matanya. Namun, pada suatu kesempatan perempuan dibiarkan berbicara dan bersaksi. Srintil dipersilakan membuktikan cintanya pada Rasus.

Comments