TUANG AIR MATAMU SECUKUPNYA

TUANG AIR MATAMU SECUKUPNYA   Seorang lelaki mengenakan kostum Garuda tengah beristirahat dengan sebat. Kepada para lelaki, menangislah jika harus menangis, sebab hidup ini sering kali tragis. Tuang air matamu secukupnya, lalu kemasi dirimu kembali, selesaikanlah hidupmu lagi.   Kehilangan demi kehilangan, kekalahan demi kekalahan, dari satu luka ke luka lain, kita telan kepedihan-kepedihan. Sering kali tak tertahankan. Sering kali menghancurkan.   Letakkan. Lepaskan. Ungkapkan. Tidak semua harus dipanggul! Pilihlah yang berharga. Pilihlah yang bermakna.   Lewat derita kita rangkai kata jadi cerita balada legenda abadi bersama semesta!   Malang, 04 Oktober 2024 Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Sang Suami

Sang Suami

Kebahagiaan rumah tangga adalah impian setiap lelaki dan perempuan yang menikah. Hidup berdampingan bahagia bersama selamanya layaknya sebuah dongeng adalah sesuatu yang didamba-dambakan. Lelaki membayangkan istrinya laksana bidadari yang baru saja turun dari kayangan. Sedangkan perempuan membayangkan kekasih pujaan hatinya laksana ksatria berkuda putih yang akan selalu menyelamatkan dirinya. Dan, perpisahan, walau hanya sekejap, hanya akan menyisakan ruang rindu yang semakin hampa.



Para Tokoh:
Istri 1 à hamil, sangat mencintai Sang Suami lebih dari pada istri mana pun, penyayang
Istri 2 à feminis, aktifis, tomboy, metal, revolusioner, radikal, well-educated, magister
Istri 3 à pintar memasak, kangen pada Sang Suami, takut dicerai karena mandul
Istri 4 à perempuan dengan luka batin oleh karena lelaki, kecewa dengan lelaki, inferior
Istri 5 à perempuan karir, logatnya kental (medhok), lugu, cenderung konservatif, jawa
Istri 6 à bidan, memiliki kekasih gelap, merasa dijebak untuk menikah dengan Sang Suami
Istri 7 à binal, genit, memiliki sex-appeal kuat, manado
Perempuan Muda à istri baru Sang Suami, muda, cantik, enerjik, tukang pamer, cina
Anak 1 à anak dari Istri 1, anak SMA, pemberontak, tidak jujur, slangean, semau sendiri, merokok
Anak 2 à anak dari Istri 2, punya adik, anak SMP, tidak dekat dengan ibu-ibu tirinya
Anak 3 à anak dari Istri 2, punya kakak, anak SD, boneka kesayangannya adalah boneka buaya
Lelaki  à Suaranya saja yang ditampilkan



"Sang Suami", Teater Seriboe Djendela, Kantin Universitas Sanata Dharma, 04 April 2011


(Cahaya perlahan menerangi sebuah ruang tamu pada suatu rumah. Tepat di tengah ruangan terdapat satu set tempat duduk dan meja tamu (sofa), di atas meja itu terdapat asbak. Di salah satu sudut terdapat meja dengan telefon, bingkai foto yang menjadi representasi kehadiran Sang Suami, dan asbak di atas meja itu. Di salah satu sudut yang lain terdapat lukisan abstrak/ekspresionis yang juga menjadi representasi kehadiran Sang Suami. Di ruangan itu terdapat dua pintu: satu pintu untuk keluar rumah dan satu pintu untuk masuk ke ruang keluarga. Di dekat pintu keluar rumah terdapat rangka jendela. Nampak seorang wanita hamil berdiri di dekat jendela itu, memandang keluar penuh rindu. Hatinya menerawang kepada Sang Suami.)


Istri 1: Rembang senja yang dingin. Kuharap Abang segera pulang. Aku rindu. Sudah lama Abang pergi. Sebentar lagi sang jagoan ini akan lahir. Semoga Abang bisa menemani saat-saat kelahirannya. (menghela nafas) Bang, aku sangat mencintai Abang. Dulu sewaktu aku masih muda, aku terpesona pada kharisma Abang. Cara Abang menatap perempuan, cara Abang memperlakukan perempuan, cara Abang berbicara, cara Abang memimpin. Aku terhanyut di dalam hangatnya kelelakianmu. (berjalan ke arah sofa, mengambil sulaman, dan mulai menyulam) Pada senja itu, Abang meminangku. (diam sejenak, membayangkan saat-saat Sang Suami meminang) Abang mengajakku jalan-jalan. Saat itu tanggal 14 Februari. Orang-orang Barat menggunakan tanggal itu sebagai hari kasih sayang. Memang Abang agak kebarat-baratan. Di sebuah rumah makan, mungkin lebih tepat cafe, Abang telah memesan satu meja dengan lilin menyala. Meja itu dihiasi pula dengan setangkai mawar merah. Juga ada red-wine. Pasti mahal sekali, ya Bang? Tapi maaf, aku tidak minum anggur. Kulihat Abang sedikit kecewa. Lalu tersenyum seakan telah mampu memahami. “Itu untuk Abang saja. Saya minum es teh sudah cukup,” kataku. Memang benar ada segelas es teh yang kuminum. Itu hal biasa. Di warung-warung makan biasa pun menyajikan es teh. Namun, es teh kali itu lain dari pada yang lain. Setelah aku meminum habis es teh itu, aku menemukan sebuah cincin di dasar gelasnya. Aku baru menyadarinya dan bertanya padamu. “Marry me,” pintamu lembut. Aku terhenyak, aku tersipu malu. (diam, senyum-senyum sendiri membayangkan saat-saat itu) Jadilah imam bagi kami, Bang (mengelus perut buncitnya).


Tim Musik "Sang Suami": Intan, Andez, dan Gradi


Anak 1: Eh, Bu (masuk rumah dengan rokok menyelip di jemarinya, seragam SMA berantakan tersamar jaket hitam, terkejut tak menyangka ada Ibunya)


Istri 1: Hay... . Baru pulang?


Anak 1: Yes you. Anu, Bu, tadi ada les tambahan sampai sore (berbohong).


Istri 1: (terkejut) Hei, sejak kapan anak ibu yang cantik ini merokok?


Anak 1: Ah, nggak Bu, hehe... . Cuma latihan aja buat main teater (berbohong lagi).


Istri 1: Main teater harus merokok, Nak?


Anak 1: Hehe... nggak sih, hanya kebetulan dapat peran perokok.


Istri 1: Heran, lelaki merokok seakan maco. Perempuan merokok, seakan binal. Kamu dapat peran menjadi perempuan binal?


Anak 1: Ehm, anu... ehm... itu Bu, begini... . (telefon berdering) Biar aku yang angkat (berlari mendekati telepon). Haloh... sapa neh (jutek, sambil mengulum rokok)? Bapak?! (terkejut mendengar Bapaknya yang menelpon, rokok di bibirnya segera dimatikan di asbak, merapikan baju, seakan-akan Bapaknya ada di hadapannya siap memarahi kalau dia tidak karuan seperti itu). Iya, Pak? (mendengarkan) Ni ada di sini, menyulam.


Istri 1: Siapa?


Anak 1: (kepada ibunya) Bapak. (kepada Bapak di seberang telefon) Lama amat sih perginya? (mendengarkan) Ga mau... ga mau yang itu. (mendengarkan) Yes! (girang) Yang warnanya hitam ya. (mendengarkan) Pak, kapan ni ngajak aku pergi sama kamu? (mendengarkan) Ha? Apa? Ga jelas ah... . (mendengarkan) Oh... ya... ya... tapi janji ya. (mendengarkan) Mau bicara sama Ibu? (mendengarkan) Oh, ya udah. (pada Ibunya) Bu, dapat salam dari Bapak. Miss you katanya, hahahahahaha... . (mendengarkan) Ya... ya... dadah Bapak. Cepetan pulang ya. (menutup telefon lalu bicara pada Istri 1) Bu, aku masuk ya, capek nih.


Istri 1: Bapakmu bilang apa lagi?


Anak 1: Ada ajah... . Dah... . (keluar panggung)


Istri 1: Anak ini, paling takut sama Bapaknya (gemas, melanjutkan menyulam).
(hening)




Istri 7: (dari luar) Mbak... .


Istri 1: Iya, Dik?


Istri 7: (berjalan mendekat) Wah... kandunganmu semakin besar. Kapan anakmu lahir?


Istri 1: Anak kita! Dalam waktu dekat ini. Kalau Abang belum pulang juga, tolong antar aku ke bidan.


Istri 7: Jadi Papa belum pulang? Duh... tumben banget sih Papa perginya lama banget. Mama udah kangen ni.


Istri 1: Sama, aku juga. Aku berharap Abang ada ketika dia lahir.


Istri 7: Kenapa tidak minta tolong kepada istri Papa yang bidan itu?


Istri 1: Sebenarnya aku ingin ditunggui Abang. Hanya itu. Lagi pula, tenaga medis tidak boleh memeriksa keluarga dekatnya, bukan?


Istri 7: Iya, sih. Ah... Papa memang lelaki hebat. mBak tau ga, dulu pertama kali aku dekat dengan dia, duuuuuuuuuh... seperti dekat dengan bintang film. Sensasinya itu lho... seperti dekat dengan Leonardo diCaprio. Ketika aku dipeluk dadanya yang bidang itu, seakan-akan aku dipeluk Antonio Banderas. Bulu-bulu di dadanya itu lho, mBak, yang bikin merinding, hihihihi... . Aduh... aduh... hmmh (gemes). Kakinya yang berotot seperti kaki Cesc Fabregas. Pernah ni, mBak, aku lihat Papa lagi main bola sama teman-temannya. Wah... tendangannya melengkung seperti pisang. Ga kalah dengan pisangnya David Beckham. Wajahnya cool, ngangenin seperti wajah Christian Bale. Kata-katanya seromantis Rendra. Berjuta-juta puisi dia buat untukku... pamflet cinta yang indah. Namun, yang takkan pernah kulupa adalah senyum Papa. Pada pertemuan pertama kami, dia menatapku tajam. Lalu, melesatkan senyuman. Gila! Senyuman yang sepanas senyuman Tom Cruise.


Istri 1: Kapan kamu bertemu Abang pertama kali?


Istri 7: Dua tahun lalu.


Istri 1: Dua tahun lalu?


Istri 7: Ya, saat itu mBak hamil anak kedua mBak. Kami bertemu di Kuta, Bali. Sungguh senja yang indah.


Istri 1: Oh, ya. Saat itu seperti saat ini. Sama persis seperti saat ini. Abang... .


Istri 7: Kenapa, mBak?


Istri 1: Eh, oh, ga pa-pa kok.


Istri 7: mBak, aku masuk dulu ya. Capek nih seharian kerja. (mengendus) Hm... sedap. mBak masak ya? Masak apa?


Istri 1: Bukan, bukan aku yang memasak. Lihat saja di dapur.


Istri 7: (keluar panggung) oke... (berdendang)
(hening)


Istri 3: (dari dalam) Eh, jangan di makan dulu. Jam makan malam belum tiba.


Istri 7: Sedikiiiiiiiiiiiiiiiiiit saja... pliiiiiiiis... .


Istri 3: Huh... (sewot) tapi jangan dihabisin ya. (mengomel) belum-belum sudah mau di
makan.


Istri 1: Ada apa?


Istri 3: Itu lho, belum-belum sudah dimakan. Jam makan malam belum tiba. Siapa tahu Bapak pulang. (menyadari sesuatu) Eh, Bapak sudah pulang?


Istri 1: Abang belum pulang.


Istri 3: Kira-kira pulang kapan? Sudah lama aku tidak bertemu dengan Bapak. Nanti malam pulang? Aku sudah memasak makanan favorit Bapak.


Istri 1: Entahlah apakah nanti malam Abang akan pulang. Memangnya apa makanan favoritnya?


Istri 3: Aneh, sudah lama menikah dengan Bapak, kenapa tidak mengerti juga masakan kesukaannya? Bapak suka oseng-oseng terong.


Istri 1: Oh, Abang bilang padamu kalau dia suka oseng-oseng terong?


Istri 3: Memang Bapak bilang apa padamu?


Istri 1: Capcay dan Puyunghay


Istri 3: Masakan cina?


Istri 1: Mengingatkannya pada leluhurnya.


Istri 3: Bapak cina?


Istri 1: Bukan.


Istri 3: Lalu?


Istri 1: Ayah Abang keturunan Cina-Arab. Sedangkan neneknya dari garis ibu Belanda-Yahudi yang diperistri seorang ningrat Jawa.


Istri 3: Pantas Bapak tampan. Di dalam tubuhnya mengalir darah dari berbagai bangsa dan sejarah. Kamu tahu kapan Bapak pulang?


Istri 1: Abang tidak bilang apa-apa padamu?


Istri 3: Tidak. Padamu?


Istri 1: Tidak.




Istri 3: Aku rindu pada Bapak. Sudah lama Bapak pergi. Kemarin sewaktu berangkat, aku tidak dipamiti. Bapak, cepatlah pulang. Aku bosan di sini tanpa hadirmu. Hanya memasak atau menonton sinetron. Tidak ada kegiatan lain. Kalau ada Bapak di sini, hari-hariku pasti akan menjadi lain. Bapak, pulanglah segera.


Istri 1: Kamu ini merengek saja seperti anak-anak.


Istri 3: Karena aku sangat rindu pada Bapak. Kamu enak, sudah punya anak. Kini mengandung pula. Semua istri Bapak sudah punya anak, kecuali aku. Aku juga ingin punya anak. Aku ingin merasakan benih Bapak tumbuh di dalam rahimku. Aku ingin merawat anak Bapak yang dari rahimku sendiri. Selama ini aku merawat anak-anak kalian.


Istri 1: Anak-anak kita!


Istri 3: Tapi aku belum pernah mengandung dan melahirkan seperti kalian! Aku ingin menimang anakku sendiri dari Bapak sehingga nanti jika Bapak pergi lama lagi seperti ini, aku takkan kesepian karena ada Bapak kecil di pelukanku. (menangis)


Istri 1: (mendekat) Sudahlah... jangan menangis.


Istri 3: Aku takut Bapak tak lagi mencintaiku karena aku mandul.


Istri 1: Abang mencintai kita semua. Mungkin ada baiknya kalau sekali-sekali kamu periksa ke dokter.


Istri 3: Namun, Bapak tidak pernah ada di rumah.


Istri 1: Walau Abang jarang ada di rumah, Abang selalu hadir di sini, di dalam kerinduan kita, di dalam kenangan kita, di dalam harapan kita, di dalam cinta kita. Sudahlah, nanti kita ke dokter sama-sama, sekalian aku memeriksakan kandunganku.


Istri 3: Kapan lahir?
(Anak 2 dan Anak 3 berkejar-kejaran, berkeliling panggung, saling berebut boneka buaya yang dibawa lari oleh Anak 2.)


Anak 3: Bonekaku!!! (sambil mengejar)


Anak 2: Pinjam sebentar... . (terus berlari)


Anak 3: Aaaaaa... jangan... nanti rusak... .


Anak 2: Pelit ah... .


Istri 3: Eh, ayo mainan di luar saja. Jangan di dalam rumah. (ikut heboh... ikut mengejar... melerai)


Istri 1: Di mana adik-adikmu?


Anak 3: Ga tau... aku dari tadi main sama Kakak. Eh, tapi bonekaku malah diambil.


Anak 2: Mungkin lagi main di taman sana, Tante.


Istri 1: Kok manggilnya “Tante”? “Ibu”... .


Istri 3: Eh, ayo... bonekanya kembalikan pada adikmu. (Anak 2 terpaksa mengembalikan boneka buaya itu kepada Anak 3.) Kenapa tidak main sama mereka?


Anak 2: Kami ga boleh main sama mereka.


Istri 3: Siapa yang melarang?


Anak 3: Mama... (Sambil memeluk erat boneka buayanya.)


Anak 2: Iya Mama...


Istri 3: Ya ampun, segitunya sih?


Istri 1: Sudahlah. Aku mau ke taman mencari mereka. Kita main sama-sama yuk sama mereka.
(Anak 2 dan Anak 3 saling memandang)


Anak 2: Ga pa-pa ah, sekali-sekali.


Anak 3: Tapi nanti Mama marah.


Anak 2: Kalau ga tahu, pasti ga marah.


Anak 3: Yuk... . Tapi jangan bilang Mama ya... (berjalan keluar panggung tanpa menaruh curiga)


Anak 2: (mendekati Anak 3, masih di dalam panggung merebut kembali boneka buaya itu, lalu berlari mengelilingi panggung, sebelum akhirnya keluar panggung)


Anak 3: Bonekaku!!! (mengejar)


Istri 3: Dasar anak-anak... hmmh (gemas)


Istri 1: Yuk antar aku... .
(Saat Istri 1 dan Istri 3 hendak berjalan ke luar, Istri 2 dan Istri 4 masuk dari luar, berpapasan.)


Istri 2: (sinis memandangi perut buncit Istri 1) Mau ke mana?


Istri 3: Mau mencari anak-anak di luar.


Istri 2: Aku tidak bertanya kepadamu.


Istri 1: Kalian melihat anak-anak di taman?


Istri 2: Entahlah. Aku tidak memperhatikan.


Istri 1: Oh... . (Istri 3 menarik tangan Istri 1, Istri 1 berhenti sejenak.) Mari... .


(hening, Istri 1 dan Istri 3 keluar panggung)


Istri 4: Anak keberapa, sih, itu?


Istri 2: Ketiga dari rahimnya. Kamu punya anak berapa dari Mas?


Istri 4: Aku baru satu. Kamu?


Istri 2: Aku sudah dua.


Istri 4: mBak...


Istri 2: Ya?


Istri 4: Aku sudah bosan dimadu seperti ini. Mas sudah beranjak tua. Sebentar atau lama Mas akan mati. Akankah aku mendapat warisan yang besar? Mas punya 7 istri dan 10 anak.


Istri 2: Maksudmu kamu ingin menyingkirkan 6 istri Mas yang lain termasuk aku agar mendapatkan warisan yang lebih banyak?


Istri 4: Bukan itu, mBak.


Istri 2: Lalu?


Istri 4: Aku sudah muak dimadu. Lama-kelamaan aku jadi benci lelaki. Mereka sama saja. Dulu sewaktu aku masih remaja, banyak lelaki datang dan pergi di hatiku. Mereka hanya ingin menikmati kecantikanku. Itu saja. Mereka tidak peduli dengan perasaanku sebagai seorang perempuan. Aku hanya ingin dimengerti, mBak. Namun, sepertinya lelaki hanya menginginkan kecantikanku saja. Berkali-kali aku ganti pacar. Sampai-sampai aku hampir kehilangan perasaan. Pacar sama saja dengan teman biasa. Dari semua lelaki yang aku jumpai, tak ada yang mampu mengerti aku. Lelaki itu egois. Maunya menang sendiri. Tidak mau mendengarkan jerit tangis hatiku.


Istri 2: Termasuk Mas?


Istri 4: Mas lain, mBak.


Istri 2: Kok?


Istri 4: Ketika aku sudah putus asa dengan lelaki, Mas hadir di dalam hidupku. Mas bukan lelaki biasa. Mas lembut dan pengertian. Mas itu kebapakan. Mungkin karena usianya yang terpaut jauh denganku. Hanya dengan tatapan matanya, aku merasa telah dimengerti, aku merasa telah didengarkan. Aku dimanusiakan. Hingga perasaanku yang dingin dan hampa serasa mendapatkan selimut kehangatan. Saat itulah pertama kalinya aku benar-benar merasakan jatuh cinta.


Istri 2: Saat itu kamu tahu bahwa Mas sudah memiliki tiga istri?


Istri 4: Awalnya aku tidak mengetahuinya. Dan, ketika mengetahuinya, aku sempat ragu. Namun, cinta membutakan mataku. Saat itu aku berpikir bahwa aku akan menjadi istri terakhirnya. Hatiku semakin luluh. Aku bersedia dipinang. Namun, aku salah, mBak. Mas kemudian masih menikahi perempuan lain. Aku merasa dikhianati.




Istri 2: Kenapa tidak minta cerai?!


Istri 4: Aku tak berani, mBak. Memikirkan saja aku tak berani.


Istri 2: Kenapa?


Istri 4: mBak tahu, kan, aku tidak bekerja. Sebenarnya sudah lama aku merasa kesepian di rumah ini. Aku merasa dikhianati. Aku pun tak memiliki pekerjaan yang dapat menghiburku. Hanya mBak yang mampu membuatku sedikit santai dan damai.


Istri 2: Kamu tahu, aku sebenarnya ingin cerai dari Mas.


Istri 4: Maksud mBak?


Istri 2: Aku sebenarnya sangat benci terhadap lelaki. Tidak seharusnya lelaki ada di muka bumi ini. Hanya sampah dunia. Aku memimpikan dunia yang dipenuhi oleh perempuan. Pasti akan indah. Sudah lama perempuan diperbudak oleh lelaki. Kini saatnya untuk membalik keadaan.


Istri 4: Lalu kenapa mBak mau dinikahi Mas?


Istri 2: Mengalah untuk menang. Mas kaya. Aku butuh dana untuk kuliah. Aku butuh dana untuk bisa mewujudkan impianku. Perjuangan hak-hak perempuan. Aku mau dia nikahi asalkan dia menguliahkanku. Gelar Master kini ada di tanganku. Inilah saatnya untuk menggugat cerai. Kamu mau ikut?


Istri 4: Lalu bagaimana dengan anak-anak kita?


Istri 2: Aku punya pekerjaan yang cukup layak. Aku memiliki rumah atas namaku pribadi. Aku telah merencanakan ini sejak lama. Kita gugat cerai!
(sekonyong-konyong masuklah Istri 5)


Istri 5: (berlari mendekat) Cerai?
(hening)


Istri 2: Ya, cerai.


Istri 5: Aku tidak setuju.


Istri 2: Kamu mau diperbudak seperti ini seumur hidupmu?


Istri 5: Perkawinan itu suci, mBak.


Istri 2: Dapatkah ada hal yang suci dari buaya tua itu?


Istri 4: Perkawinan itu suci kalau hanya ada satu suami dan satu istri.


Istri 5: Namun, kita sudah dipersatukan dengan Ayah. Tidak mungkin kita minta cerai. Apa kata orang nanti? Kita menjadi janda cerai. Aib, mBak... aib. Kita hanya perempuan.


Istri 2: Kalau semua perempuan di dunia ini berpikir seperti kamu, pantas jika perempuan menjadi budak.


Istri 4: (melirik lukisan wajah Sang Suami) Kesan pertama bertemu Mas, memang seakan mas lelaki sejati. (berjalan ke arah lukisan itu) Mampu meluluhkan hati perempuan. Mas mampu menaklukkan hati perempuan. Mas mampu memahami perempuan.


Istri 2: Lelaki sejati itu kalau mampu mempertahankan hubungannya dengan satu orang perempuan, bukan menginjak-injak perempuan seperti ini. (Istri 6 masuk dari dalam rumah, terkejut dengan pembicaraan Istri 2, Istri 4, dan Istri 5, lalu menguping) Lelaki seperti inilah yang menciptakan perempuan-perempuan radikal sepertiku dan sekaligus menciptakan perempuan-perempuan lemah seperti kalian.




Istri 6: Aku setuju.


Istri 5: Dik?


Istri 6: Ya, mBak, lelaki sejati itu adalah ketika dia mampu mempertahankan satu-satunya cinta sejatinya. Bukan seperti Mas yang mengawini banyak perempuan seperti ini. Konsep lelaki sejati macam apa itu? Apakah lelaki rela jika harus berbagi istri dengan lelaki lainnya? Tentu tidak, bukan? Itu juga yang kita rasakan, setidaknya aku rasakan. Lelaki sejati itu adalah yang mampu mencintai satu orang perempuan hingga ajal menjemputnya. Walaupun di dalam perjalanan dia naksir dengan perempuan yang lain, dia tetap mampu mempertahankan satu-satunya istrinya.


Istri 5: Munafik! Lalu mengapa kamu sudi dinikahi Ayah?


Istri 6: Aku dijebak. Orang tuaku memiliki hutang kepada Mas. Dan, dengan mengawiniku, hutang orang tuaku dianggap lunas. Gila! Padahal saat itu aku telah memiliki kekasih. Hampir saja aku bunuh diri karena putus asa. Untung kekasihku mencegahku dan masih memberiku harapan?


Istri 5: Kamu masih selingkuh dengan kekasihmu?


Istri 6: Aku tidak selingkuh! Kekasihku itulah sebenar-benarnya lelaki sejati. Dia mampu memaafkan kesalahan orang tuaku. Tidak bermain licik seperti Mas.


Istri 2: Kamu masih mencintai kekasihmu?


Istri 6: Ya. Dan, jika mBak hendak menggugat cerai Mas, aku ikut. Sehingga, aku bisa menikah dengan kekasihku, cinta sejatiku. Berdua hingga ajal menjemput kami.


(hening)
(seorang Perempuan Muda masuk memecah kesunyian)


Perempuan Muda: Permisi. Maaf, saya masuk sembarangan, pintu tidak dikunci.


Istri 2: Siapa kamu?


Perempuan Muda: Saya istri Mas.


(Istri 4 terkejut mendengar hal itu, Istri 1 masuk)


Istri 1: Eh, kalian sudah kenalan? Ini istri baru Abang. Cantik ya? Memang Abang lelaki yang pintar memilih istri.


Perempuan Muda: Perkenalkan, nama saya... .


Istri 4: Mas menikah lagi?


Istri 1: Iya, Dik... .


Istri 4: (segala kecewa, sedih, marah, muak terakumulasi hingga akhirnya meledak) Gila! Ini gila, mBak. Apa yang dicari lelaki tua itu? Aku semakin muak saja.


Istri 1: Dik, kamu bicara apa?


Istri 2: Kami sepakat ingin menggugat cerai Mas!


Istri 1: (terkejut, merasakan sakit pada perutnya, hampir terjatuh, memegangi perut buncitnya)


Istri 5: mBak... (memegangi Istri 1)


Istri 1: (menahan sakit di perut, mungkin karena terkejut)


Istri 6: mBak, belum saatnya, bukan? (lalu mencarikan kursi untuk duduk Istri 1 yang kesakitan)


Istri 1: Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Bayi di dalam rahimku hanya melonjak saja.


Istri 5: (kepada Istri 6) Kamu kan bidan. Kalau ada apa-apa, tolong mBakmu ini ya.


Istri 6: Iya. Dan, mungkin setelah mBak melahirkan, aku akan mengguggat cerai Mas.


Istri 1: Kamu juga ingin cerai dari Abang?


Istri 5: Mereka bertiga ingin cerai dari Mas, mBak.


Istri 2: Ya, kami ingin cerai. Apa?! (so what?!)


Istri 1: (menangis) Setelah semua yang Abang berikan kepada kita?


Perempuan Muda: Maaf, bukan karena Koko menikahi saya, bukan?


Istri 2: Kamu pikir siapa kamu sehingga mampu memengaruhi keputusan kami? Kami ingin cerai karena kami muak dengan kelakuan lelaki tua itu yang terus saja mempermainkan kita perempuan. Kawin melulu kerjaannya.


Istri 4: Kamu istri baru Mas? (memastikan, semakin inferior)




Perempuan Muda: Iya. Kami baru saja pulang dari bulan madu. (pamer, menyombong)


Istri 2: Hemh (ketus) pantas ga pernah di rumah, keluyuran saja kerjaannya. Ngawini perawan desa rupanya.


Istri 5: mBak... .


Istri 4: Mas itu tidak pernah mengerti perasaanku. Ternyata semua lelaki itu sama saja. Ga beda mantan-mantanku, ga beda Mas. Sama saja. Hanya mau tubuh perempuan tanpa sudi memahami perasaan perempuan. (menangis... berlari ke luar panggung... dari luar panggung berteriak dan memecahkan perabotan)


Istri 6: mBak!!! (berlari mengejar Istri 4)


(hening)


Istri 2: (menziarahi raga Si Perempuan Muda dengan mata) Cantik... tapi tolol.


Perempuan Muda: Iya, maaf, saya hanya lulusan SMK.


Istri 2: Pantas! Mau dimangsa buaya berkarat itu.


Istri 1: Dik, hormatilah Abang. Oke kamu hendak bercerai dari dia, tapi hormatilah dia setidaknya sebagai orang yang menyekolahkanmu hingga S2.


Perempuan Muda: mBak S2 ya?


Istri 2: Ya. Apa?


Perempuan Muda: Mengapa perempuan sepintar mBak mau... mmm... mau juga dinikahi Mas? mBak istri ke berapa?


Istri 2: (tersinggung) Bukan urusanmu! Heh... perawan bau kencur, eh, masih perawankah kamu? Pasti sudah dikadali. Heh... kamu ini adalah tipe perempuan desa yang silau dengan harta. Kamu pikir mengapa kamu mau dinikahi dia?


Perempuan Muda: Saya cinta.


Istri 2: (semakin membara) Tai kucing cinta!!! Kamu pikir siapa yang kamu cintai? Lelaki dengan tujuh... TUJUH istri!!! Kamu tahu? Tolol kamu mau dijadikan yang ke delapan. Saya saja mau cerai dari dia. Muak rasanya hidup serumah dengan buaya itu. Apa lagi hidup serumah dengan istri-istrinya yang lain.


Istri 1: (berusaha sabar demi kandungannya) Sudah... sudah... . Sudahlah... . Kalau kamu memang tidak ingin terus menjadi istri Abang, mintalah cerai baik-baik. Tapi tetap hormati dia, hormati kami istri-istri yang masih mencintai dan menanti selalu kepulangannya.


Istri 2: Istri-istri yang dengan tolol menanti? Jadi apa dunia ini kalau semua perempuan lembek seperti kalian? Ini saatnya perempuan angkat bicara. Perempuan itu sederajat dengan lelaki, kau tahu!




Istri 5: Tapi tetap berbeda.


Istri 2: Apa yang membuat kita perempuan dan lelaki berbeda? Kita bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Selama Mas pergi, aku yang membetulkan segala perabot rumah ini. Aku bisa berperan sebagi lelaki kalau aku mau. Aku tak membutuhkan lelaki.


Istri 1: Namun, anak-anak kita membutuhkan figur seorang ayah yang tidak mampu kita berikan.


Istri 5: Iya mBak. Kita hanya perempuan... . Dia lelaki.


(Istri 7 masuk dengan jengkel)


Istri 7: (mengomel) Apa-apaan sih? Berisik tau ga? Ganggu orang lagi istirahat aja. (terkejut) Eh, ada tamu ya? Kalian ini gimana sih? Malu donk ribut di depan tamu! (kepada Perempuan Muda, tersenyum) Siapa namamu?


Perempuan Muda: Perkenalkan, nama saya... .


Lelaki: (suara dari luar menyapa rindu) Istri-istriku... .
(Semua pemain tablo. Lampu fade-out)
***


Tepi Jakal, 18 Februari 2011
Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments