MARIA GRAVIDA: Merefleksikan Peristiwa Kehamilan Maria, Kala Maria Mengalami Perubahan Radikal pada Tubuhnya

 MARIA GRAVIDA Merefleksikan Peristiwa Kehamilan Maria Kala Maria Mengalami Perubahan Radikal pada Tubuhnya Patung Maria Gravida berjudul Humanity of Mary  karya Galuh Sekartaji Patung ini sekarang ada di Kapel Kanisius, Jakarta Foto oleh Alexander Koko, S.J. Dari sekian banyak hal yang dapat dilakukan perempuan tanpa dapat dilakukan laki-laki, salah satunya adalah hamil. Perempuan secara biologis dianugerahi rahim, tempat tumbuhnya janin selama kurang-lebih 9 bulan. Peristiwa hamil dapat memiliki beragam makna bagi diri perempuan; bisa positif bisa juga negatif. Pada umumnya banyak perempuan menanti-nantikan kehamilan ini, bahkan merawat kehamilan ini dengan sungguh, hingga melahirkan nanti. Walau, dalam beberapa kasus ada juga kemudian perempuan yang menolak kehamilannya. Penolakan kehamilan ini biasanya terjadi karena situasi sosial yang tidak mendukung, misalnya ketiadaan lelaki—sang suami. Situasi tanpa lelaki (baca: suami) itu pulalah yang dialami Maria (atau dalam tr...

Antara Eksistensi dengan Esensi

Antara Eksistensi dengan Esensi
-Padmo Adi-

Katakanlah, sebagai contoh, aku adalah dokter. Bukan berarti aku harus menjadi dokter. David Hume mengatakan bahwa tidak ada ‘adalah’ yang memiliki arti ‘harus’. Eksistensiku memang dokter, tapi apa esensiku dokter? Jika eksistensi dokter itu tanpa esensi dokter, bukankah itu sama saja dengan apa yang dikatakan Carl Gustav Jung tentang persona/topeng?

Lalu, bagaimana bereksistensi secara orisinal? Pertama aku harus mengenali esensiku. Seperti kata Plato, “Kita mengenang/mengingat kembali idea kita.” Atau, dengan bahasa Aristoteles, esensi adalah potentia sedangkan eksistensi adalah actus. Eksistensi adalah bagaimana ‘mengalirkan’ esensi.

Apakah hal ini tidak bertentangan dengan credo para eksistensialis yang diproklamasikan oleh Jean-Paul Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi? Tidak! Dari cara kita bereksistensilah orang mengetahui esensi kita. Orang melihat eksistensi dulu sebelum esensi.

Maka, jika aku bereksistensi tanpa esensi, aku telah membohongi orang lain, terlebih aku membohongi diriku sendiri, bahkan aku menghina TUHAN yang telah ‘menanam’ esensiku (yang orisinal) dalam kedirianku, meski TUHAN menghormati kebebasan manusia. Sebab, jika esensi adalah potentia dan eksistensi adalah actus, eksistensi yang tanpa esensi adalah eksistensi yang rapuh dan tak berdasar.

Comments