AWAL DARI KISAH YANG LAIN

AWAL DARI KISAH YANG LAIN Desain cover oleh Daniela Triani   Kata Pengantar Kisah-kisah Problematika Gender yang Manga-esque   Buku ini adalah ruang-waktu yang kami ciptakan supaya teman-teman mahasiswa Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, yang terlibat di dalamnya memiliki kesempatan untuk berkarya mengartikulasikan pengalaman dan pemahaman mereka akan gender dan problematika yang ada tentang gender tersebut. Tentu teori-teori gender itu mereka dapatkan di dalam kelas. Dalam kesempatan ini, diharapkan para mahasiswa mampu mem- break down dan mengartikulasikan teori tersebut melalui sebuah kisah (fiksi) yang lebih dekat dengan mereka. Tentu saja pembahasan mengenai gender ini selalu menarik dan selalu terbuka akan berbagai macam kemungkinan. Kisah tentang gender yang dihadirkan oleh teman-teman mahasiswa Sastra Jepang ini sungguh menarik; ada kisah yang menelusuri problematika gender itu di ranah yang paling privat—ketika seseorang mempertanyakan identitas gende

Posisi Saya di Tengah Keberagaman Agama di Indonesia (dan Dunia)

Posisi Saya di Tengah Keberagaman Agama di Indonesia (dan Dunia)
-Padmo Adi

Saya mengambil posisi sebagai seorang pluralis. Meneruskan revolusi copernican John Hick bahwa Allah adalah pusat agama-agama. Yang Transenden mewahyukan dirinya kepada manusia. Manusia menerima pewahyuan itu sejauh kemanusiaannya. Manusia itu selalu memandang dari sudut pandang tertentu, maka sudah sejak mulanya pandangan manusia itu perspektivis dan plural. Begitu juga dengan pengalaman akan Yang Transenden ini. Yang Transenden dialami sejauh yang direfleksikan oleh agama-agama.
Refleksi akan Yang Transenden masing-masing agama ini unik dan khas. Maka, untuk dapat bertemu diperlukan suatu common ground. Masalah-masalah kemanusiaan dapat menjadi common ground agama-agama untuk bertemu. Saya selalu bertanya di dalam hati, mengapa kita tidak dapat duduk bersama dan membicarakan masalah-masalah kemanusiaan dan mencoba memahami serta menerima perbedaan, keunikan, dan kekhasan masing-masing? Praksis pembebasan dapat menjadi tempat bertemu. Secara konkrit common ground itu adalah pendidikan, kemiskinan, bencana, korupsi, dll.
Sebagai seorang Katolik aku harus menyadari bahwa agamaku adalah identitasku. Aku seorang Katolik, bukan seorang Muslim atau Hindhu atau Buddha. Namun, aku harus realistis. Klaim kebenaran yang diusung agamaku tidak dapat meniadakan eksistensi agama-agama yang lain. Menerima keberadaan agama-agama yang lain (terbuka) tidak sama dengan mengafirmasi klaim kebenaran mereka, tetapi justru menghormati dalam rangka hidup berdampingan dan mencari solusi bersama masalah-masalah kemanusiaan itu tadi. Namun, bagiku, pengalaman Yang Transenden hanya aku alami melalui agama Katolik. Aku tahu bahwa teman-temanku yang lain mungkin mengalami kehadiran Yang Transenden melalui agama mereka masing-masing, tetapi aku tidak bisa kecuali melalui Katolik.
Untuk dapat berjumpa dengan pemeluk agama-agama lain, pertama aku harus mengambil jarak dari identitas agamaku, aku harus kritis, kenosis. Lalu, orientasi pertemuanku tidak untuk mengajak mereka menjadi Katolik sama sepertiku, tetapi justru untuk bekerja sama mencari solusi dari masalah-masalah kemanusiaan tadi. Aku tidak menegasi kebenaran mereka walau aku pun tidak mengafirmasinya. Dan, dari pertemuan itu, aku justru semakin dapat mengafirmasi kekatolikanku dan semakin memahami Yang Transenden.

Comments