KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Posisi Saya di Tengah Keberagaman Agama di Indonesia (dan Dunia)

Posisi Saya di Tengah Keberagaman Agama di Indonesia (dan Dunia)
-Padmo Adi

Saya mengambil posisi sebagai seorang pluralis. Meneruskan revolusi copernican John Hick bahwa Allah adalah pusat agama-agama. Yang Transenden mewahyukan dirinya kepada manusia. Manusia menerima pewahyuan itu sejauh kemanusiaannya. Manusia itu selalu memandang dari sudut pandang tertentu, maka sudah sejak mulanya pandangan manusia itu perspektivis dan plural. Begitu juga dengan pengalaman akan Yang Transenden ini. Yang Transenden dialami sejauh yang direfleksikan oleh agama-agama.
Refleksi akan Yang Transenden masing-masing agama ini unik dan khas. Maka, untuk dapat bertemu diperlukan suatu common ground. Masalah-masalah kemanusiaan dapat menjadi common ground agama-agama untuk bertemu. Saya selalu bertanya di dalam hati, mengapa kita tidak dapat duduk bersama dan membicarakan masalah-masalah kemanusiaan dan mencoba memahami serta menerima perbedaan, keunikan, dan kekhasan masing-masing? Praksis pembebasan dapat menjadi tempat bertemu. Secara konkrit common ground itu adalah pendidikan, kemiskinan, bencana, korupsi, dll.
Sebagai seorang Katolik aku harus menyadari bahwa agamaku adalah identitasku. Aku seorang Katolik, bukan seorang Muslim atau Hindhu atau Buddha. Namun, aku harus realistis. Klaim kebenaran yang diusung agamaku tidak dapat meniadakan eksistensi agama-agama yang lain. Menerima keberadaan agama-agama yang lain (terbuka) tidak sama dengan mengafirmasi klaim kebenaran mereka, tetapi justru menghormati dalam rangka hidup berdampingan dan mencari solusi bersama masalah-masalah kemanusiaan itu tadi. Namun, bagiku, pengalaman Yang Transenden hanya aku alami melalui agama Katolik. Aku tahu bahwa teman-temanku yang lain mungkin mengalami kehadiran Yang Transenden melalui agama mereka masing-masing, tetapi aku tidak bisa kecuali melalui Katolik.
Untuk dapat berjumpa dengan pemeluk agama-agama lain, pertama aku harus mengambil jarak dari identitas agamaku, aku harus kritis, kenosis. Lalu, orientasi pertemuanku tidak untuk mengajak mereka menjadi Katolik sama sepertiku, tetapi justru untuk bekerja sama mencari solusi dari masalah-masalah kemanusiaan tadi. Aku tidak menegasi kebenaran mereka walau aku pun tidak mengafirmasinya. Dan, dari pertemuan itu, aku justru semakin dapat mengafirmasi kekatolikanku dan semakin memahami Yang Transenden.

Comments