TAK LAGI DEKAT MEZBAH ALLAH

TAK LAGI DEKAT MEZBAH ALLAH   Tubuh Tuhan dikonsekrasikan. Dokumen Pasukan Komsos Singosari. Sebenarnya aku ini terlanjur ajur remuk dan terkutuk Bayang maut yang merenggut menjelma jadi takut   Bapak tidak genap empat lima   Kupunguti pecahan diriku yang berserakan di jalanan Aku tak nemu kedamaian di dalam gereja Tuhan   Lucunya, belasan tahun silam rasa yang sama pernah melanda Namun, kini aku lebih bisa nerima   Kubawa puing-puing itu dan kurangkai laksana kain perca   Mungkin ada baiknya aku tak lagi dekat mezbah Allah Tempatku jelas bukan sekitar altar Tempatku tidak di atas mimbar Tempatku ada di belakang layar di sudut sujud, penuh kemelut   Dosa-dosa kuhitung Doa-doa membubung   Ah... biarlah aku mengabadikan kejadian keajaiban Tubuh dan Darah Tuhan dikonsekrasikan   Aku rindu makan Daging Tuhan! dan minum Darah-Nya!   Sungguh aku tak layak Tuhan...

RAYAKANLAH HIDUP

RAYAKANLAH HIDUP
-Sebuah Aforisme-

We are not who we were. We are who we are not. We are who we choose to be.
Berbahagialah orang yang setidaknya pernah memiliki kisah cinta, sebab dia telah mengalami kegairahan hidup.
Dan, kamu tahu, apa yang paling membuat hati perempuan meleleh? Surat cinta dengan tulisan tangan. Trust me, it still works. Tapi, menulislah dengan indah, hahaha... .
Pernah, ketika jatuh cinta dulu, aku menulis 10 puisi dalam sehari. Hidup memang untuk dirayakan. Maka, mencintailah.
Walau bagaimanapun, cinta itu pilihan. Kita memilih mencintai yang seorang, dan merelakan yang lain.
Yang susah bukan pada tindakan memilih, melainkan pada menjalani pilihan. Sebab, setelah kita memilih, kita dihadapkan pada serangkaian konsekuensi dan tanggung jawab.
Namun, tatkala kita menyadari apa yang sebenarnya kita pilih, hidup akan terasa lebih menggairahkan.
Lepas-bebas. Nothing to lose. Jika benar hidup itu tragedi, hidup adalah tragedi yang menyenangkan, yang layak untuk dijalani dan selesaikan.
Menjalani hidup yang adalah tragedi dengan penuh gairah, tak lain merupakan suatu "ya" pada hidup itu sendiri. Sebuah pemaknaan baru atas "nrima ing pandum", memberinya suasana aktif.
"Nrima ing pandum" dan "pasrah sumarah" itu bukanlah suatu sikap pasif, sikap babu yang sekadar "nun inggih". Namun, menjadi suatu "ya" pada hidup ketika kita mampu menyadari tiap pilihan kita sehingga hidup dirayakan. Kita memberikan semua tanpa harus merasa kehilangan semua. Itulah cinta.
Demikianlah, kita telah menyungsangkan filsafat jawa, mendekonstruksinya, dan memberinya semangat nietzschean.
Aku berkata kepadamu, hidup adalah untuk dirayakan, bukan diratapi. Juga kematian, sebab kematian merupakan kristalisasi kehidupan. Live how you choose to die!

29 Mei 2012
Padmo Adi

Comments