KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

RAYAKANLAH HIDUP

RAYAKANLAH HIDUP
-Sebuah Aforisme-

We are not who we were. We are who we are not. We are who we choose to be.
Berbahagialah orang yang setidaknya pernah memiliki kisah cinta, sebab dia telah mengalami kegairahan hidup.
Dan, kamu tahu, apa yang paling membuat hati perempuan meleleh? Surat cinta dengan tulisan tangan. Trust me, it still works. Tapi, menulislah dengan indah, hahaha... .
Pernah, ketika jatuh cinta dulu, aku menulis 10 puisi dalam sehari. Hidup memang untuk dirayakan. Maka, mencintailah.
Walau bagaimanapun, cinta itu pilihan. Kita memilih mencintai yang seorang, dan merelakan yang lain.
Yang susah bukan pada tindakan memilih, melainkan pada menjalani pilihan. Sebab, setelah kita memilih, kita dihadapkan pada serangkaian konsekuensi dan tanggung jawab.
Namun, tatkala kita menyadari apa yang sebenarnya kita pilih, hidup akan terasa lebih menggairahkan.
Lepas-bebas. Nothing to lose. Jika benar hidup itu tragedi, hidup adalah tragedi yang menyenangkan, yang layak untuk dijalani dan selesaikan.
Menjalani hidup yang adalah tragedi dengan penuh gairah, tak lain merupakan suatu "ya" pada hidup itu sendiri. Sebuah pemaknaan baru atas "nrima ing pandum", memberinya suasana aktif.
"Nrima ing pandum" dan "pasrah sumarah" itu bukanlah suatu sikap pasif, sikap babu yang sekadar "nun inggih". Namun, menjadi suatu "ya" pada hidup ketika kita mampu menyadari tiap pilihan kita sehingga hidup dirayakan. Kita memberikan semua tanpa harus merasa kehilangan semua. Itulah cinta.
Demikianlah, kita telah menyungsangkan filsafat jawa, mendekonstruksinya, dan memberinya semangat nietzschean.
Aku berkata kepadamu, hidup adalah untuk dirayakan, bukan diratapi. Juga kematian, sebab kematian merupakan kristalisasi kehidupan. Live how you choose to die!

29 Mei 2012
Padmo Adi

Comments