TUANG AIR MATAMU SECUKUPNYA

TUANG AIR MATAMU SECUKUPNYA   Seorang lelaki mengenakan kostum Garuda tengah beristirahat dengan sebat. Kepada para lelaki, menangislah jika harus menangis, sebab hidup ini sering kali tragis. Tuang air matamu secukupnya, lalu kemasi dirimu kembali, selesaikanlah hidupmu lagi.   Kehilangan demi kehilangan, kekalahan demi kekalahan, dari satu luka ke luka lain, kita telan kepedihan-kepedihan. Sering kali tak tertahankan. Sering kali menghancurkan.   Letakkan. Lepaskan. Ungkapkan. Tidak semua harus dipanggul! Pilihlah yang berharga. Pilihlah yang bermakna.   Lewat derita kita rangkai kata jadi cerita balada legenda abadi bersama semesta!   Malang, 04 Oktober 2024 Padmo “Kalong Gedhe” Adi

PERTEMPURAN TUHAN

Pertempuran Tuhan


I
Pada mulanya semesta masih hampa
Ketiadaan menyelimuti semesta raya
Kebijaksanaan melayang-layang di antaranya
kemudian memampatkan semesta ke dalam perut-Nya
dan meledak menjadi Kata

Bersama Kebijaksanaan, Kata melayang-layang
Kebijaksanaan dan Kata meneteskan Cinta
dan bersama mulai menciptakan Kala
serta menyembelih Ketiadaan
tubuhnya dikoyak-koyak
dan dijadikan bahan perekat semesta

Semesta yang telah meledak jadi puing
mulai dirangkai dan direkatkan kembali
dengan potongan-potongan Ketiadaan
dan semesta melahirkan Ada

Kata Cinta Kebijaksanaan menyentuh Ada
dan Ada pun membelah dirinya menjadi dua:
Langit dan Bumi
Langit melahirkan para dewa dan bintang-bintang
Bumi melahirkan para manusia dan makhluk lainnya

Kata Cinta Kebijaksanaan memandang semua baik adanya
memerintahkan Kala memutar roda semesta raya
lalu memberkati segala yang telah dicipta

Akan tetapi, ada satu potongan Ketiadaan
yang menjelma menjadi Kematian
dan selalu menyelinap di antara celah semesta
siap menelan anak-anak Ada
tak terkecuali manusia juga dewa


II
Telah berjuta masa Kala memutar roda semesta raya
manusia beranak-pinak dan telah memenuhi dunia
bahkan terkadang menjalin hubungan dengan dewa
sehingga melahirkan ras manusia perkasa

Namun, Kematian selalu berhasil menelan mereka
memberi mereka penderitaan, pedih, dan luka
serta ratap tangis yang menyayat tiada tara
Hidup selalu berakhir menjadi ketiadaan semata

Para dewa yang selalu hampir luput dari Kematian
tidak dapat berbuat apa-apa menolong manusia
sebab mereka pun mengalami Kematian pula
hanya saja tanpa derita, pedih, dan luka

Kata Cinta Kebijaksanaan berkenan
bersemayam dalam sanubari para dewa
itulah mengapa mereka kekal selamanya
dan hampir luput dari incaran Kematian

Di dalam samadi yang hening
para dewa mendengar ratap tangis manusia
Namun, hati mereka terkoyak
tak mampu berbuat apa-apa
sebab mereka pun dapat terluka dan tiada

Beberapa dewa menaruh iba
lalu menghampiri anak-anak manusia
hingga lahirlah ras manusia perkasa
yang menjadi panglima menentang Kematian

Hanya saja, mereka menjadi tua
kehilangan daya dan tenaga
lalu tiada
menjadi cerita dan legenda

Hingga pada suatu ketika Kebijaksanaan bersabda
mengutus para dewa mengajari manusia jalan Cinta
di dalam hening dan diam
di dalam rasa yang selaras dengan semesta
karena semesta telah ditelan Kebijaksanaan
dan dieja menjadi Kata

Para dewa itu pun turun ke dunia
bukan ras manusia perkasa yang dicari
sebab mereka adalah pejuang panglima
melainkan manusia murni anak Bumi

Diajari mereka cara samadi
menyatukan karsa, rasa, raga, serta hati
dengan denyut Cinta jagad semesta
menyelami Sang Kebijaksanaan
di dalam hening
di dalam diam
tak terperi

Dan, dengan terbata mereka diajari
bagaimana memeri yang tak terperi
Mengungkapkan Kebijaksanaan
yang mereka selami di dalam Cinta
menjadi untaian-untaian Kata suci

Demikianlah mereka menuliskan Kata
ke dalam Kitab-kitab Suci
yang menjadi pusaka manusia
untuk bersatu dengan Kebijaksanaan
dan mampu menghadapi Kematian
tanpa derita, pedih, dan luka

Manusia yang menyelami Kebijaksanaan
di dalam naungan Cinta dan laras semesta
adalah para rshi, juga disebut pula nabi
yang mewahyukan Kata Hyang Ilahi

Mereka adalah para pujangga
Mereka adalah para penyair
Mereka tunjukkan jalan pembebasan
yang mampu melampaui Kematian

III
Jalan pembebasan itu tidaklah mudah
penuh perjuangan pengosongan diri
dan segenap kerendahan hati

Jalan itu bukanlah jalan yang egois
walau masing-masing harus menjalani sendiri

Jalan itu memerlukan rasa solidaritas
sebagai satu bangsa manusia
yang rentan ditelan Kematian

Jalan itu memerlukan empati dan simpati

Jalan itu membuka ruang bagi Cinta
sehingga Kata dapat menjelma dalam realita

Jalan itu mengharuskan manusia
membuka hati pada Kebijaksanaan
sehingga tercipta Damai di dunia
yang mempersulit ruang gerak Kematian

IV
Ras manusia perkasa
bangsa campuran dewa dan manusia
yang senantiasa menjadi panglima
dalam perang melawan Kematian
merasa terhina dan tidak terima

Mereka biasa memimpin pertempuran
untuk menghardik sergapan Kematian
Kini manusia tak lagi memerlukan
sebab telah memiliki jalan kedamaian

Ras manusia perkasa
memalingkan wajah kepada Kematian
mereka membuat kesepakatan
akan menuhankan Kematian
asal bisa menguasai dunia

Kematian meminta kepada mereka
menumpahkan darah para manusia
sehingga Bumi tergenang lautan merah
dan bau anyir memenuhi udara

Kematian menghendaki
Ketiadaan bangkit kembali
Maka, Bumi perlu dibajak
dan disuburkan dengan darah

Tatkala Ketiadaan merajai semesta
Ras manusia perkasa boleh menguasai bumi
menjadi penguasa lima samudera dan tujuh benua
yang memuja selalu kepada Kematian

Ras manusia perkasa angkat senjata
memuliakan Kematian sebagai Tuhan
menghunus pedang, membawa godam
dan mulai membantai para manusia

Pilihan bagi para manusia hanya dua:
memuliakan Kematian sebagai Tuhan
atau mati secara mengenaskan

Jika mereka memilih Kematian sebagai Tuhan
mereka akan hidup hingga tua, dan mati usia senja
Namun, jika tetap memilih jalan Kebijaksanaan
mereka akan mati segera dengan tubuh tanpa kepala

Di dalam nama Tuhan
manusia harus tunduk
atau mati terkutuk

V
Kematian kembali membawa derita, pedih, dan luka
menyelimutkannya kepada para manusia
dengan cara yang lebih memilukan
dan kengerian yang tak terperikan

Kembali manusia berseru kepada para dewa
Para dewa pun turun membantu manusia
Terjadilah perang yang dahsyat
Mereka melawan ras manusia perkasa
yang dipimpin langsung oleh Kematian

Para dewa dan manusia menderita kekalahan
Para dewa sirna, para manusia tiada
Dewa-dewa telah mati
Manusia-manusia binasa
Hanya beberapa yang tersisa

Manusia bersembunyi di gua-gua
mencampakkan Kitab Suci pusaka para rshi
mencampakkan pula jalan Kebijaksanaan
Sedang para Dewa kembali ke Langit
bersembunyi di balik rembulan
ketakutan

Kegentaran kini menjadi julukan Bumi
sebab hanya merah darah menggenangi
dan hanya bau anyir udara yang didapati

Menyaksikan kengerian yang sedemikian itu
Kebijaksanaan bersabda kepada para dewa
Namun, para dewa masih dihantui kengerian
Diselimutkan-Nya Cinta kepada para dewa
untuk menghangatkan hati mereka yang kecut
dan membakar kembali gelora keberanian mereka

VI
Pada mulanya adalah Kata
Kata itu bersama dengan Kebijaksanaan
Kata itulah Kebijaksanaan
Kata itu kini menjelma menjadi manusia

Dia mencari setiap manusia yang ngeri
dan menguatkan setiap hati
Dia susuri gua-gua persembunyian
untuk mengulurkan tangan kepada mereka

Diresapi-Nya mereka dengan Kebijaksanaan
Diselimutkan-Nya Cinta kepada mereka
Para manusia kembali diangkat-Nya
dan dikobarkan-Nya api keberanian

Para manusia baru itu keluar dari gua
dipimpin langsung oleh Sang Kata
mulut mereka memekikkan puisi
serta menyerukan doa dan puji

Sang Kata pun menengadah ke Langit
bersyukur kepada Kebijaksanaan
Serta-merta Langit terbuka
dan para dewa turun kembali ke dunia

Mereka bersatu menjadi satu legiun
Dikobarkan oleh gelora api Cinta
Manusia dan dewa bersatu
bersama Sang Kata
kembali mengangkat senjata
melawan Kematian dan ras manusia perkasa

VII
Pertempuran itu berlangsung dengan dahsyat
Pertempuran itu berlangsung hari ini
Pertempuran itu pertempuran zaman akhir
hingga Sang Kala berhenti memutar roda semesta

Ketika saat itu tiba, Kematian akan dikalahkan
dan ras manusia perkasa akan dibelenggu

Takkan lagi ada Kematian
hanya ada Kehidupan
di dalam Kata Cinta Kebijaksanaan

Sarang Kalong, 15 Juni 2012
Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments