KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Peradaban Tidak Bisa Dibangun di atas Dentuman Meriam dan Bedil!

Peradaban Tidak Bisa Dibangun di atas Dentuman Meriam dan Bedil!
-Padmo Adi-

Perang Tak Melahirkan Peradaban

Kita mungkin heran dengan cerita simbah bahwa dulu kita adalah penguasa samudera, Srivijaya lalu Majapahit. Armada-armada kapal kita begitu besar, megah, dan gagah membelah lautan. Monumen-monumen agung kita dirikan. Tulisan-tulisan dahsyat kita hasilkan. Peradaban dan kesenian (baca: sastra) saling beriringan. Namun, itu semua kini tinggallah dongeng sejarah tuturan simbah.

Bangsa kita mengalami dekadensi kemanusiaan dan kemunduran peradaban sejak abad XV. Banyak faktor memang: persaingan ideologi dan versi kebenaran filosofi, perjumpaan kita dengan orang-orang Eropa yang memperkenalkan kita dengan "bedil" dan "meriam", dan yang paling berat adalah perebutan kekuasaan yang terus-menerus. Bayangkan, dalam waktu 500 tahun, di Jawa terjadi peperangan dan pergeseran kekuasaan yang tidak sedikit! Majapahit vs Demak. Demak vs Pengging. Pajang vs Jipang. Mataram vs Pajang. Mataram vs Mangiran. Ekspedisi Sultan Agung Mataram. Mataram (Kartasura) vs Sun
an Kuning. Derbi Mataram: Surakarta vs Yogyakarta. Triple threat match: Surakarta vs Yogyakarta vs Samber Nyawa (Mangkunegara). Itu belum Perang Jawa (Pangeran Diponegoro vs VOC), dan perang-perang lain di seluruh penjuru Nusantara.

Bagaimana mungkin kita membangun kebudayaan dan peradaban di tengah situasi perang dan perebutan kekuasaan yang terus-menerus seperti itu? Beruntung kita masih bisa menyelamatkan peradaban dan kebudayaan dengan sastra (tembang, suluk, serat, dll.).

Menengok sejarah kita 500 tahun ke belakang, seharusnya kita belajar bahwa "Peradaban tidak bisa dibangun di atas dentuman meriam dan bedil!" dan "Kesusastraan harus menjadi pengawal dan bahkan penyelamat peradaban." Akhirnya, aku setuju dengan Rendra.

Comments