KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Sastra dan Pemuda

Sastra dan Pemuda

Sayang sekali saya tidak dapat menghadiri Malam Ngopi Nyastro XVI ini. Akan tetapi, sebagai wakil dari kehadiran saya, saya titipkan tulisan singkat mengenai pemuda dan sastra ini. Sebelumnya, salam saya kepada Bung Rabu Pagi, Bung Matahun Wirabhumi, Bung Langgeng sugiARTo, dan Bung Stevano Yusuf, serta kepada segenap penyair yang hadir ngopi di kafe Bjong ini.
Dahulu sekali Rendra pernah menggugat pemerintah, “Bagaimana mungkin kebudayaan dapat dibangun di atas revolusi?” Dulu sekali ketika saya masih ingusan dan masih menjadi fans berat marxisme, saya menentang pendapat ini. Akan tetapi, seiring dengan tumbuh dewasanya pemikiran dan pemahaman ini, saya akhirnya sependapat dengan Rendra. Pada abad X kebudayaan kita telah maju. Nenek moyang kita telah mampu membangun monumen-monumen yang agung, menulis kitab-kitab yang masyur, dan membangun peradaban yang dahsyat. Bahkan, nenek moyang kita mampu membangun kapal yang tak mampu ditembus meriam Portugis pada era penjelajahan samudera. Namun, sejak abad XV tanah ini tidak pernah berhenti dari gejolak dan perebutan kekuasaan. Darah senantiasa membasahi tanah subur ini. Selama 500 tahun itu ada berapa dinasti yang silih berganti? Majapahit pindah ke Demak, Demak ke Pajang, Pajang ke Mataram Baru, Mataram memindahkan kekuasaan ke Kartasura, Mataram Kartasura mendapat perlawanan dari Sunan Kuning, akhirnya Mataram Kartasura memindahkan kekuasaan ke Surakarta, Mataram akhirnya pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, Surakarta dan Yogyakarta mendapat perlawanan Sang Sambernyawa, Surakarta akhirnya pecah menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran, sedangkan Yogyakarta pecah menjadi Kasultanan dan Pakualaman. Itu belum disebutkan intervensi Portugis, Spanyol, VOC, Inggris, Belanda, dan Jepang. Juga belum disebutkan peristiwa 17 Agustus 1945 dan peristiwa kudeta Soeharto.
Akan tetapi, bangsa ini mampu bertahan. Bangsa ini bertahan karena masih menyisakan ruang bagi sastra. Walaupun banyak dokumen, kakawin, dan lontar yang diboyong ke Eropa dan kini mustahil kita miliki kembali, bangsa ini masih bersastra walau hanya lewat lisan. Sastra senantiasa mengawal perjalanan bangsa ini. Mulai dari yang mainstream hingga yang kiri seperti Darmogandhul dan Gatholoco. Kadipaten Mangkunegara yang masyur dengan tradisi angkatan bersenjatanya yang dahsyat itu pun turut bersastra. Chairil Anwar mengiringi perjuangan kemerdekaan juga dengan sastra. Bayangkan, Chairil Anwar sempat membaca Nietzsche di tengah-tengah pergolakan bangsa!!! Rendra pun turut mengiringi perjuangan para mahasiswa dengan puisi-puisi pamfletnya. Sastra menjadi penyelamat kebudayaan di tengah-tengah pergolakan. Kalau ingin menghancurkan sebuah bangsa, laranglah pemuda-pemudanya untuk membaca dan bersastra.
Tanah ini masih belum berhenti dari pergolakan panjang 500 tahun itu. Akan tetapi, kebudayaan bangsa ini harus tetap dilestarikan. Sastrawan-sastrawan tua akan cukup usia dan mati. Maka, kita para pemuda inilah yang harus meneruskan menyelamatkan kebudayaan bangsa ini melalui sastra. Pakem dan aturan-aturan, biarlah itu semua menjadi kekayaan sastra klasik. Kita, para pemuda ini, hendaknya mentransvalusai (menilai kembali) sastra dan mengaktualkan di sini dan kini.
Angkat tangan kirimu tinggi-tinggi ke atas dan mari bersajak malam ini di sini.

Surakarta, 31 Oktober 2012
Padmo Adi

Comments

Post a Comment