KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Kami Bukan Setan

Kami Bukan Setan

Sepanjang malam kami gentayangan
duduk melingkar berputar
mengeja mantra-mantra
mendaras realita dunia

Kata kami ubah jadi mantra
Mantra kami ubah jadi bahasa
Bahasa kami ubah jadi Kebijaksanaan
Kebijaksanaan kami ubah jadi karya
Karya kami ubah jadi sejarah
Sejarah kami ubah jadi kata

Anggur persembahan kami adalah secangkir kopi
Asap rokok yang mengepul adalah dupa wangi
Semuanya bergema
melingkar
berputar

Dan, ketika adzan subuh berkumandang
kami segera bubar...
tak ada lagi yang melingkar
semua segera berlari-lari untuk pulang

Aku sendiri segera bersembunyi kembali
menyepi di Kaki Merapi
masuk ke bilik sunyi
tepat ketika lonceng gereja berdentang di pagi hari

Tidak,
kami bukan setan yang takut matahari
kami hanya penyair dan pemikir mandiri
yang menjadikan malam waktu diskusi
dan menjadikan siang waktu beraksi

(Mungkin kami akan mati...
tapi pada nisan kami akan tertulis banyak puisi
yang menceritakan bagaimana hidup dijalani)

tepi Jakal, 29 Agustus 2013

Padmo Adi (@KalongGedhe)

Comments