SECAWAN ANGGUR

  SECAWAN ANGGUR Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga. Dokumen pribadi. Di sini... di kota ini... aku benar-benar disapih dikastrasi dibiarkan mati-hidup sendiri Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama Tidak ada lembut dekap payudara Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata Dijauhkan dari Tanah pusaka tempat moyangku dibumikan Dan kini cuma jadi kerinduan yang kepadanya hasrat mendamba Akan tetapi, keadaan ini justru aku syukuri sebab aku dengan merdeka mengada tanpa perlu alasan yang mengada-ada Aku bebas menciptakan diri bebas mengartikulasikan diri Aku bebas merayakan hidup menari dengan irama degup Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka Apa makna dari membuka mata pagi-pagi, lalu memejamkannya di waktu malam tiba? Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi. Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima! Menerima Mengakui adalah

Kau dan Pelacur Tua

Kau dan Pelacur Tua

Mentari belum juga terbangun
‘kau sudah berhenti terlelap
Bahkan lupa apa mimpi semalam
Ataukah mimpi indah bertemu gadis tetangga
atau mimpi buruk kehilangan pekerjaan

Tidak ada sepuluh menit
‘kau sudah selesai mandi
Lima menit berikutnya
‘kau telah siap kerja

Melompat dari angkot satu ke angkot lain
Berlari mengejar bus kota bersama ratusan lainnya
dan melanjutkan tidur sembari saling himpit di dalam bus
yang menggelinding laju menuju Jakarta

Tak pernahkah kaunikmati indahnya mentari pagi,
kicau burung yang bersahut merdu menggoda hati,
atau tangis bayi tetangga yang merengek minta susu lagi?

Di depan sana Jakarta siap menyambutmu
Gerbang tol menjadi gapura selamat datang
Namun, ‘kau harus antri
Busmu yang tadi laju kini merangkak

Di tengah bising klakson dan kepulan asap knalpot
busmu terus merangkak
berdesak-desakan dengan ribuan kendaraan lain
Semua menuju Jakarta
yang mengangkang selangkang dengan genitnya

Jakarta,
pelacur tua itu masih menawarkan impian
harapan untuk hidup kaya berlimpah harta
menggenggam puncak dunia dan mandi uang berjuta

Takkan habis uang kaukejar
Hanya menghasilkan pilu dan sendu
Dan, tiba-tiba saja ‘kau kehilangan waktumu
menjadi tua dan renta
tanpa pernah semenitpun menikmati hidup
tanpa pernah sedetikpun merasakan cinta
Karena, untuk dapat menyusu dari payudara Jakarta,
‘kau harus terus mengantri sampai mati
dan terkubur tanpa nisan di antara gedung-gedung tinggi

Warung Susu Kayen, 06 Juli 2012

Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments