KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

BERDIKARI

BERDIKARI

Pada suatu hari ada seorang aktivis dari Komnas Perlindungan Anak mendatangi rumah seorang petani. Aktivis itu heran karena anak si petani itu, yang berusia kira-kira seusia anak kelas 4 SD, hanya bermain-main di tepi sawah bapaknya, sementara anak-anak seusianya sejak pagi sudah memakai seragam putih merah dan pergi ke SD Impres terdekat.

Aktivis itu bertanya kepada si petani, “Mengapa Bapak tidak menyekolahkan anak Bapak? Apakah Bapak tidak memiliki cukup uang untuk itu? Kalau memang benar bapak tidak mampu menyekolahkannya, Bapak bisa mengajukan beasiswa. Lagi pula, ada dana BOS dari pemerintah.”

“Tidak, mBak,” jawab si petani itu santai, “Bukannya saya tidak memiliki uang untuk menyekolahkannya. Saya punya cukup uang untuk menyekolahkan, bahkan tiga anak sekaligus. Hanya saja, saya tidak ingin mereka sekolah.”

“Loh, ada apa, Pak?” aktivis itu terlihat marah mendengar jawaban dari si petani, “Mengapa Bapak tidak ingin menyekolahkan anak Bapak? Anak Bapak punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak!”

“Hak pendidikan, ‘kan? Bukan hak untuk sekolah,” jawab petani itu santai, “Kalau hak untuk pendidikan, anak saya sudah mendapatkannya, bahkan dengan berkecukupan. Saya selalu membelikan anak saya buku-buku untuk dia baca. Istri saya dengan sabar mengajari anak saya matematika dan bahasa. Kini, anak saya tengah berada di sawah, untuk melihat apakah yang tertulis di buku tentang ekosistem itu benar atau tidak.”

Aktivis itu menahan amarahnya, lalu berkata lebih lanjut, “Akan tetapi, dengan demikian anak Bapak tidak akan pernah mendapatkan ijazah!”

“Apa guna ijazah?” tanya si petani itu.

“Anak Bapak tidak akan dapat bekerja di Jakarta jika sama sekali tidak memiliki ijazah dan surat tanda lulus serta transkrip nilai. Kalaupun dapat bekerja di sana, anak Bapak hanya akan menjadi seorang buruh kasar, mungkin di pelabuhan atau di pabrik. Dengan sekolah, anak Bapak bisa memiliki kesempatan untuk menjadi karyawan berjas dan berdasi di kantor,” kata aktivis itu penuh semangat.

“O... jadi pemerintah itu menyelenggarakan pendidikan semata hanya untuk mencetak ulang para pekerja ya? Jadi, anak saya harus sekolah itu supaya kelak dapat menjadi seorang buruh ya? Seorang yang tidak memiliki hak atas alat-alat produksi dan bahkan pekerjaannya sendiri. Apa beda karyawan berdasi itu dengan buruh kasar, toh mereka sama-sama tidak memiliki hak atas alat-alat produksi dan pekerjaan mereka sendiri? Lihatah anak saya di sana, mBak, dia tengah mempelajari alat-alat produksinya sendiri walaupun kini dia tidak saya sekolahkan,” kata petani itu sembari menunjuk kepada anaknya yang tengah bermain di pematang sawah milik ayahnya.

***

Anak itu pun tumbuh dewasa. Dia mewarisi sawah ayahnya. Dia memiliki alat-alat produksinya sendiri. Dia memiliki pekerjaannya sendiri. Dia begitu rajin menggarap sawahnya itu sebab dia memiliki pekerjaannya itu sehingga dia tidak terasing dari dirinya. Akan tetapi, dia malah jatuh miskin. Ya, walaupun dia memiliki alat-alat produksinya sendiri, dia malah menjadi miskin. Tidak tahan dengan kemiskinannya, anak itu pun mengadu kepada ayahnya. Jawab sang ayah yang kini sudah renta itu, “Ada yang salah dengan sistem kehidupan kita. Rakus. Walaupun pada awalnya aku berusaha mengajakmu untuk hidup di luar sistem, ternyata sistem itu menjadi gurita yang kini turut serta mencaplokmu. Tidak, Nak, jangan salahkan Tuhan. Bukan Tuhan yang menciptakan sistem ini.”

November 2013
Padmo Adi

Comments