PLEIDOI
SEORANG PENYAIR
|
Berita dari TEMPO.co |
Pada
suatu ketika di Indonesia RUU KUHP yang melarang Marxisme dan Komunisme pada
akhirnya telah disahkan menjadi UU KUHP.
Alkisah, di Jawa
Tengah ada seorang penyair yang sangat digandrungi oleh rakyat jelata. Penyair
itu adalah seorang anak tukang kayu dari sebuah desa di kaki Gunung Lawu di
Kabupaten Karangayar. Bapaknya sudah lama meninggal memang. Sedangkan ibunya
kini menjanda dan tidak kawin lagi. Semasa mudanya dulu penyair itu kuliah di
sebuah Universitas Negeri di Surakarta. Dia juga sering kali pergi ke
Yogyakarta untuk berdiskusi dengan para mahasiswa tentang nasionalisme, agama,
dan sosialisme. Kiranya, mungkin ini pikirnya, mahasiswa yang belum mengkaji
ulang nasionalismenya, belum menarasikan kembali agamanya, serta belum pernah
membahas tentang sosialisme adalah layaknya anak kemarin sore yang belum sunat.
Kini pemuda itu
telah berusia kurang lebih 30-an tahun. Rambutnya ikal gondrong dan dia
memelihara brewok. Walau demikian, tampan dia. Namanya sebenarnya Joko Slamet,
tetapi rakyat banyak mengenalnya sebagai Anom Widodo. Konon kabarnya dia tidak
menyelesaikan kuliahnya karena ayahnya keburu meninggal, sehingga dia harus
menggantikan ayahnya menjadi tukang kayu di desa. Namun, sudah sejak tiga tahun
yang lalu dia meninggalkan pekerjaannya itu dan memilih untuk berkelana dari
desa ke desa dan dari kota ke kota membaca puisi.
Puisi-puisinya
bergaya pamflet, ber-genre
Realisme-Sosialis. Dia banyak bersajak tentang ketimpangan sosial. Dia banyak
bersajak tentang cita-cita berdikari. Dia banyak bersajak tentang bagaimana
negara alih-alih menggalang rakyat untuk produktif memproduksi sendiri, lebih
memilih mengimpor dari negara-negara kaya, bahkan barang-barang yang remeh
temeh seperti kedelai dan garam. Dia banyak bersajak tentang bagaimana
sebenarnya bangsa ini, walau secara politik dan fisik merdeka, dijajah oleh
bangsa-bangsa kaya secara ekonomi dan psikis.
Puisi-puisi Anom
Widodo menggugah kesadaran rakyat. Puisi-puisinya membakar semangat rakyat.
Rakyat banyak bergerak. Kebijakan-kebijakan daerah yang tidak berpihak kepada
rakyat ditentang habis-habisan. Berapa banyak kerusuhan dan keributan yang
disebabkan oleh demo-demo itu karena rakyat benar-benar marah dengan kebijakan
pemerintah yang tidak memihak, sedangkan negara dengan sewenang-wenang
memperlakukan rakyat seperti anjing kudisan. Pada suatu demo tentang sengketa
tanah dan lahan pertanian antara rakyat dengan suatu investor, bukan polisi
antihuru-hara yang turun, melainkan tentara, dan rakyat yang kebanyakan terdiri
dari petani itu diberondong!
Pada suatu Bulan
April di suatu tahun pada saat itu, Anom Widodo hendak membaca puisi di Taman
Ismail Marzuki di Jakarta. Bus yang ditumpangi Bung Anom dan rombongannya dari
Jawa Tengah itu berhenti di Pulo Gadung. Ternyata di sana dia sudah disambut
oleh beberapa rakyat kelas menengah (baca: borjuis) Jakarta yang beberapa tahun
terakhir terkagum-kagum dan membicarakan Bung Anom lewat jejaring sosial
seperti facebook dan twitter. Mereka tahu Bung Anom akan
membaca puisi di Jakarta dan mereka ingin mendapatkan kehormatan dapat
mengantarkannya dengan mobil mereka, malah ada pula yang dengan ikhlas hati
meminjamkan Kawasaki Ninja 250 FI-nya agar Bung Anom terlihat gagah saat masuk
ke Jakarta. Akan tetapi, dengan rendah hati Bung Anom menolak itu semua. Dia
lebih memilih naik Trans Jakarta saja bersama rombongannya. Aneh, ketika dia
menginjakkan kaki di shelter Trans
Jakarta hingga dia masuk ke Bus Trans Jakarta tersebut, banyak orang melepaskan
jaket, sweater, atau jumper mereka dan meletakkannya di
lantai menjadi semacam karpet penyambutan seorang penting.
Istana Merdeka
kisruh. Istana Merdeka panas. Bagi Istana, Anom Widodo ini subversif! “Adalah
lebih baik bagi kita satu orang mati dari pada seluruh bangsa binasa!” teriak
negara. Maka, pada suatu malam ketika Bung Anom tengah membaca puisi di suatu
taman di sudut Monumen Nasional, yang disebut Taman Chairil Anwar, dia ditangkap.
Dan, diapun disidangkan dan dijerat Pasal 212 ayat (1) UU KUHP, bunyinya: “Setiap orang yang secara melawan hukum di
muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun, menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah
atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.” Selain itu, saksi-saksi palsu dihadirkan untuk
memberatkan tuduhan. Akan tetapi, anehnya di persidangan itu, Anom Widodo
dituntut hukuman mati! “Tujuh tahun itu hanya sebentar bagi penghasut kelas
kakap seperti orang ini. Dia pasti bermaksud mengobarkan kembali tragedi
sembilan belas enam puluh lima. Bunuh dia! Bunuh dia! Salibkan dia di Monas!!!”
Ketika Anom
Widodo diberi kesempatan untuk berbicara, katanya, “Siapakah yang engkau maksud
hendak menggantikan Pancasila? Dan, Pancasila yang kaumaksud itu Pancasila yang
mana? Versi siapa? Versi Soekarno? Versi Orde Baru? Atau versi pepesan kosong
suatu ormas itu? Aku hanyalah seorang penyair. Aku datang untuk menyuarakan
yang tak tersuarakan. Perutusanku adalah menarasikan yang dilatenkan. Tugasku
adalah membahasakan yang sengaja dilupakan. Wahai orang-orang yang bebal, tidak
belajarkah kalian dari sejarah alternatif, bahwa enam lima itu adalah kudeta
merangkak Soeharto yang didukung Paman Sam agar kekuatan kapital asing bisa
dengan leluasa mengangkangi bumi pertiwi? Wahai orang-orang yang tegar tengkuk,
tidak sudi mengertikah kalian bahwa kebijakan-kebijakan politik-ekonomi yang
kalian keluarkan itu sama sekali tidak memihak kepada rakyat jelata,
petani-petani di desa, nelayan-nelayan, para pengrajin, dan pekerja? Dan,
kalian menuduhku hendak mengganti Pancasila? Ketahuilah, wahai orang-orang
bodoh, gagasan Marhaenisme Soekarno itu adalah adaptasi lokal dari gagasan
Marxisme! Dan, di dalam merumuskan Pancasila yang dilahirkannya pada 01 Juni
1945, Bung Karno telah lebih dahulu berkonsultasi dengan gagasan-gagasan San Min Chu I-nya Sun Yat Sen, Declaration of Independence-nya Thomas
Jefferson, dan Communist Manifesto-nya
Marx-Engels!!! Di dalam Pancasila yang sering kalian bicarakan sebatas mulut
saja itu terdapat tiga prinsip kerakyatan, yaitu nasionalisme, demokrasi, dan
sosialisme! Berkali-kali Bung Karno berbicara tentang berdikari, dan ketika aku
mengingatkan rakyat lewat puisi-puisiku tentang semua hal itu, kalian menuduhku
hendak mengganti Pancasila dengan Marxisme?! Pancasila yang mana yang kalian
maksudkan?”
Seseorang di
ruang persidangan itu menjadi terlalu merah kupingnya demi mendengar kata-kata
Bung Anom, naik pitamlah dia, dan menampar Bung Anom, katanya, “Begitu jawabmu
terhadap Hakim Ketua?” Jawab Bung Anom, “Jika aku salah, tunjukkanlah di mana
salahku. Namun, jika aku benar, mengapa engkau menampar aku?” Hakim Ketua pun
berkata, “Cukup!!! Sudah kita dengar sendiri dari mulut penghasut ini. Kita
tidak butuh bukti dan kesaksian apa-apa lagi. Bunuh dia! Salibkan di Monas!!!”
Kemudian, seluruh hadirin pun bergemuruh, “Salibkan dia di Monas!!! Salibkan
dia di Monas!!!”
Begitulah akhirnya. Joko Slamet alias Anom
Widodo, pemuda berusia 30-an tahun, seorang penyair, dihukum mati disalib di Monas.
Tangan dan kakinya dipakukan pada dinding beton Tugu Monas sehingga orang
banyak dapat melihat. Eksekusi itu disiarkan langsung oleh seluruh stasiun
televisi di Indonesia sehingga seluruh rakyat jelata yang pernah dan akan
selalu digerakkan oleh puisi-puisi Anom Widodo dapat menyaksikan. Sebelum mati,
dia berseru, “Bung Besar... Bung Besar... entenana
aku!!!” Mereka meratap. Penyair muda yang mati disalibkan di Tugu Monas itu
merupakan lambang sejarah yang dibengkokkan sebagaimana sejarah-sejarah lain
yang ada di diorama Monumen Nasional.
November 2013
Padmo Adi
Comments
Post a Comment