KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

AFORISME-AFORISME NOVEMBER 2013

AFORISME-AFORISME NOVEMBER 2013

1.             Media mulai mengalihkan perhatian dan menggiring opini kita, bahwa buruh itu materialistis dan pemalas yang selalu minta gaji besar.

Tanpa kita sadari, bukan hanya buruh, kita semua pun telah dikondisikan oleh pemerintah (yang kongkalikong dengan pengusaha), untuk memiliki imaji sukses, bahwa sukses itu bisa punya mobil dan motor mewah, dan lain sebagainya, dan demikian seterusnya.

Dan... ini yang menyedihkan... tanpa kita sadari... para buruh itu sering kali berada di dalam posisi sulit. Kamu pernah hidup dengan buruh? Atau, pernahkah kamu menjadi buruh? Cobalah ambil posisi, atau setidaknya empati, sebagai seorang buruh. Andai kamu tahu rasanya... .

2.             "Weh, slamet ya, Jon, wis sida rabi," ujare Joko nalika ketemu Jono, kanca lawase.

"Weh, matur nuwun, Jok. Lha kowe kapan nyusul?" wangsulane Jono.

"Wah, kosik, Jon. Eh, aku oleh takon ora?"

"Takon apa, Jok? Kok sajake wigati?"

"Kowe ki, nuwun sewu lho iki, wingi kowe rabi ki entek pira je?"

"Telung puluh yuta."

"Akeh men? Nggo pesta wingi kae, Jon?"

"Ya untunge bapa-biyungku isih sugeng. Dadine ya melu ngragati. Dhuwit semono kuwi amung dinggo lamaran karo tuku uba-rampene kok."

"Loh, durung pestane?!"

"Iya. Sing mestakke ki mara tuwaku. Dadine acara resepsi wingi ki sing ngragati wong tuwane bojoku."

"Oalah ngger... . Ya wis. Nuwun. Aku dakmenyang kutha sik. Ana perlu."

"O ya... ngati-ati, Jok."

"Wis, dipenakke lehmu dadi manten anyar," ujare Joko, banjur lunga plencing ninggal Jono.

Joko banjur mampir menyang ATM salah sawijining bank, niliki saldo tabungane. Nyawang angka sing ana nang layar ATM, Joko ngunjal ambegan.
Dibukak meneh dompete, dilebokke kertu ATM-e, lan disawang kanthi permati foto wanodya ayu sing ana sajroning dompet iku. Luh tumetes ana ing pipine Joko.

Joko ngunandika, "Dhuh Dhik... wanita sing daktresnani... sabar-sabarna atimu ya. Aku durung bisa nglamar sliramu sanadyan ta aku tresna tenan marang kowe. Pangapuramu... ."

3.             Bahasa tidak pernah bebas nilai.

4.             Jadi, sudah lama ada di dalam benak manusia... bahwa menjadi modern adalah menjadi barat... dan menjadi barat itu menjadi eropa. Oh, Sultan Mehmed II... .

5.             Cinta itu indah dan puitik, tetapi ketika harus berbenturan dengan kenyataan (baca: sistem sosial), cinta itu segera menjadi tragedi.

Dan, cinta yang abadi adalah yang tragedi.

6.             Kekuasaan itu ada di mana-mana... direproduksi di mana-mana.

Rumusan doa yang kamu ucapkan. Pakaian (seragam, dress code) yang kamu kenakan. Rambu-rambu lalu lintas. Liga-liga Sepak Bola asing yang kamu saksikan. Band-band (alay) dari Korea yang kamu tonton. Teenlit yang kamu baca. Sekolah, tempat kamu belajar dan dicekoki pengetahuan. Upacara nikah yang kamu lakukan. Bahkan, aturan-aturan di dalam sanggama.

7.             Waktu itu aku masih kecil. Aku sekolah di kompleks Purbayan, Solo. Hampir setiap Sabtu aku pulang ke Kauman, ke rumah Eyang, karena sekolah pulang pagi. Pada hari itu, Bapak menjemput. Lalu kami membeli babi kuah di depan Gereja Purbayan. Dan, kami pun menuju Kauman, untuk makan.

Aku selalu senang jika pergi ke Kauman. Di sana aku bisa bermain dengan saudara-saudari sepupuku yang umurnya tidak jauh berbeda denganku. Biasanya kami bermain di Masjid Agung atau di TK NDM atau di pelataran BCA atau di lorong-lorong kampung Kauman. Jikapun saudara-saudariku itu masih belum pulang sekolah, aku bisa bermain mainan plastik milik saudaraku atau membaca majalah Bobo.

Babi kuah yang kami beli itu cukup banyak. Aku segera memikirkan saudara sepupuku itu. Namanya Kuntjara, Padma Kuntjara. Pasti akan sangat menyenangkan makan bersama keluarga. Sesampainya di Kauman, Bapak memarkir motor, lalu segera pergi ke pendapa. Kami akan makan di sana. Segera saja dengan polos dan girang aku berteriak memanggil Mas Kuntjara, "Mas Kun... mangan iwak babi yoh... . Mas... Mas Kun... ayo mangan karo aku."

Tiba-tiba saja Bapak menghardikku. "Hush! Mas Kun tidak makan babi," kata Bapak. Kenapa Bapak pelit sekali? Bukankah Mas Kuntjara masih saudara? Kenapa tidak boleh dibagi? "Mas Kun tidak makan babi. Hanya kita yang makan babi," kata Bapak. Tapi, kenapa Mas Kun tidak makan babi, sedangkan aku dan Bapak boleh? "Mas Kun Muslim, jadi tidak makan babi," kata Bapak lagi.

Peristiwa sederhana itu begitu berkesan di dalam benakku. Itulah pertama kali aku benar-benar menyadari perbedaan. Begitu absurd saat itu bagi diriku yang masih kecil. Kami adalah saudara seeyang. Bapakku dan Pakdhe pun saudara sekandung. Ya, Eyang kami sama. Bapak dari Bapak kami sama, Ibu dari Bapak kami pun sama. Akan tetapi, ternyata kami berbeda... aku Katolik dan Mas Kuntjara Muslim. Mengapa kami berbeda? Mengapa Bapak dan Pakdhe berbeda? "Sebab Eyang adalah seorang Pancasilais," jawab Bapak pada waktu itu.

Jawaban sederhana itu tidak memuaskan rasa penasaranku pada saat itu. Aku membatinkan peristiwa itu, sehingga kubawa hingga sekarang. Kita akan selalu bertemu dengan Orang Lain (Liyan) yang berbeda... .

Sekarang, aku bisa mensyukuri perbedaan kami. Walau kami berbeda, kami tetap bersama. Sering kali kami bertukar pikiran. Tidak selalu sependapat memang, juga perspektif yang kami ambil tidak jarang berbeda. Akan tetapi, kami selalu duduk bersama, bertukar pengalaman, bertukar pandangan, berdiskusi. Walau berbeda, kami tetap saudara. Peristiwa "Babi di Kauman" itu akan selalu kukenang... dan akan selalu kurefleksikan ketika harus berpikir tentang Indonesia... Bhinneka Tunggal Ika.

Kini, Padma Kuntjara ada di Sulawesi. Aku selalu rindu untuk mengulang kembali membaca puisi di tepi jalan raya bersama dengan dia... lagi... dan lagi.

8.             A-Mrican English... :) So, let me speak English in a "medhok" way, may I :)

9.             Hujan malam ini
Cahaya lilin menari
Orphaned-Land bernyanyi Sapari
(burjo Banteng, 111113)

10.         Seorang penyair itu memiliki beban tanggung jawab yang tidak main-main. Sebagai penyair, dia adalah ‘nabi’. Dia memiliki tanggung jawab profetis untuk menyuarakan kebenaran, membahasakan yang tak terperikan, dan menarasikan kenyataan... bahkan bernubuat!

Memang mungkin pada awalnya dia memakai puisi sekadar untuk menyalurkan renjana. Akan tetapi, ketika berhenti melulu di sana saja, dia tak ubahnya seorang penyabun yang gemar merancap.

Seorang penyair itu harus mampu di saat yang bersamaan menjadi seorang Salomo sekaligus seorang Amos.

11.         Baru saja aku memahami mengapa Nietzsche menarasikan pemikiran filosofisnya melalui aforisme-aforisme justru setelah aku membaca Dhammapada.

12.         tu kan... apa aku bilang...
cinta yang abadi adalah yang tragedi

13.         Sinisme dan kenaifan...
ada gak sih cara lain untuk menelan hidup yang pahit selain dua cara di atas?

14.         Keadaan sosial-masyarakat kita bisa kita lihat dari kesenian (sastra)-nya. Ya, di sana ada sinetron, ada dagelan OVJ yang memandang mengepruk teman itu lucu, ada goyang caesar, ada lagu-lagu dangndut dengan liriknya yang mengangkat tema semacam "Cinta Satu Malam"... .

Lalu Pramoedya? Lalu Chairil Anwar? Lalu Rendra?
Siapakah yang membaca mereka? Buku-buku mereka menjadi semacam Alkitab yang hanya dibaca elit-elit tertentu saja. Makanan keseharian masyarakat kita adalah "Goyang Itik"... bahkan "Suster Keramas" dan "Sumpah Pocong". Akui saja.

15.         Waktu itu aku kelas 3 Jurusan Bahasa SMA. Saat itu Guru Bahasa Indonesia kami mengangkat diskusi tentang Kebudayaan. Tiba-tiba saja, salah satu teman kami, Ko Bo Chan (Bayu), berpendapat bahwa KORUPSI itu adalah KEBUDAYAAN Bangsa Indonesia karena sudah dilakukan oleh banyak kalangan. Guru Bahasa Indonesia itu menyanggah. Intinya adalah, bahwa kebudayaan itu adalah yang adiluhung.

Waktu itu aku hanya diam. Aku tak paham. Tujuh-delapan tahun kemudian baru aku memahami paradigma berpikir temanku tersebut. Aku terlambat tujuh-delapan tahun.

16.         Hm... ini nih... yang bikin imaji Oedipus Complex dibatinkan -_-'
"Bibi Lung Complex" :P

17.         O... jadi ini ya masalahnya... mengapa aku selalu ketiduran sewaktu misa. Bahwa misa hanya berhenti pada "yang simbolis" saja, dan belum mampu untuk membawaku sampai kepada "penyaluran renjana".

Sik... sik... . Sebenarnya aku enggan berbicara tentang hal ini. Akan menjadi paradoks yang lucu jika aku berbicara tentang hal ini. Alih-alih mengkritisi para pastor yang hanya mampu membawa misa ke ranah "yang simbolis" saja, aku justru jadi ingin menertawakan diriku sendiri.

Satu-satunya calon pastor yang aku kenal baik dan memiliki cita-cita untuk membawa misa sampai kepada ranah "penyaluran renjana" itu pun kini sudah menjadi ateis... atau setidaknya enggan berbicara serius tentang hal ini.

O... jadi 2009 yang lalu itu alasannya ini ya... jouissance lacanian... .

18.         Mengapa saya berbicara dengan Bahasa Indonesia, ora nganggo Basa Jawa (punapa malih Basa Krama), not even in English, walaupun mahir menggunakan ketiganya?

19.         berangkat dari cinta...
melalui puisi...
menuju revolusi...

20.         rambut kriwil itu...
(kini sudah direbonding!)
menghantu!

21.         Wong Mardika ingkang Marsudi Kasusastran Jawi ing Surakarta itu sudah tiada. Walau, tidak sulit untuk mengakses karya-karyanya. Cukup untuk membayar beberapa ribu (kalau tidak salah hanya Rp 2.000,00) untuk biaya masuk Radya Pustaka. Mungkin yang bikin sulit adalah kebanyakan tulisan Wong Mardika ingkang Marsudi Kasusastran Jawi ing Surakarta itu dia tulis dalam aksara Carakan, walau bahasanya ngoko.

Ya, tentu dia adalah anak zamannya (lahir pada tanggal 20 April 1843 di Sraten Surakarta, meninggal pada 01 Februari 1926). Seorang priyayi Jawa keturunan ningrat, murid Ranggawarsita, yang lahir, besar, dan hidup di dalam nuansa feodalisme Jawa. Yang membuat dia menjadi "Wong Mardika" adalah dia berani menulis di luar pakem sastra yang ada. Alih-alih menulis macapat yang penuh aturan itu, dia menulis geguritan, cerita-cerita carangan, bahkan cerita tentang Kancil! Pernah aku membaca karyanya tentang manusia. Mungkin aku terlalu muluk berharap, sebab ternyata yang kudapati adalah "katuranggan". Dan, tulisannya tentang perjalanan hidup manusia (Jawa) itu sungguh mencekam. Mencekam, karena kalau dipraktekkan di zaman sekarang, aku tidak bisa membayangkan berapa rupiah harus dikeluarkan demi setia terhadap tradisi tersebut.

Tapi, satu hal yang patut jadi perhatian, bahwa Wong Mardika ingkang Marsudi Kasusastran Jawi ing Surakarta itu benar-benar membebaskan Sastra Jawa dari aturan-aturan pakem yang ketat dan membawanya keluar dari tembok kraton yang wingit. Dan... setidaknya eksistensinya menegasi statement Benedict Anderson yang mengatakan bahwa Sastrawan Jawa ditutup pada tahun 1873.

Memang benar, banyak Sastrawan (yang berasal dari) Jawa menggunakan sastra (baca: pers) untuk melawan kekuasaan. Wong Mardika ingkang Marsudi Kasusastran Jawi ing Surakarta itu pun turut pula terlibat aktif di dalam pers. Hanya saja, ini asumsi saya, kesan yang ada pada waktu itu, sama seperti yang terjadi sekarang, berbicara dengan bahasa daerah di dalam konteks masa pergerakan itu berarti semata hanya melokalisasikan diri di dalam sudut sempit Nusantara. Itulah mengapa banyak Sastrawan (yang berasal dari) Jawa meninggalkan Bahasa Jawa (bahkan yang ngoko sekalipun), dan mulai menggunakan Bahasa Melayu (yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia itu). Dan, bisa jadi konteks inilah yang membuat Benedict Anderson membaca bahwa (seolah-olah) Sastra Jawa itu habis di tangan Ranggawarsita. Lagi pula, saya tidak yakin Wong Mardika ingkang Marsudi Kasusastran Jawi ing Surakarta itu juga bersemangat menggunakan Bahasa Indonesia, setidaknya karena saya belum pernah menemukan karyanya yang dia tulis sendiri di dalam Bahasa Indonesia.

Eksistensinya cukup menginspirasi, walau membutuhkan ketekunan tersendiri untuk secara serius mengaji karya-karyanya di Radya Pustaka agar inspirasinya semakin berdasar. Sebuah ketekunan yang terbengkalai oleh karena ketidakmampuan saya pada banyak kesempatan waktu itu bangun pagi. Setidaknya, tokoh itu menginspirasi Hampir Mati Berlayar Karam dan Wong Kiwa Mardika... meskipun dua orang itu sudah tidak menulis dengan Bahasa Jawa lagi.

22.         O... jadi...

Marhaenisme adalah versi lokal dari Marxisme oleh Soekarno.
Sedangkan Soekarnoisme itu merupakan versi lokal dari Marxisme oleh Njoto.

(Dan, dua orang itu pun sudah terlebih dulu (di-)mati(-kan) berpuluh-puluh tahun jauh sebelum RUU Antimarxisme itu diwacanakan.)

23.         If you can speak in English, then... what will you say? What will you be talking about? And, why must you talk it in English, instead of your mother tongue?

24.         Benar kata Rm. Patrisius Mutiara Andalas beberapa tahun lalu di kelas... . Kita tidak miskin. Kita DIPERMISKIN.

25.         "Tidak, Nak... aku tidak ingin kamu menjadi seorang Katolik yang sungguh-sungguh. Begitu kamu menjadi seorang Katolik yang sungguh-sungguh, bisa jadi kamu akan dihilangkan seperti Mas Petrus Bima Anugerah ini. Tidak, Nak... jangan sekali-kali jadi seorang Katolik sejati."

26.         Wong Ayu... aja nesu... bengi iki aku maca geguritan meneh. Pangapuramu, aku mengko bali lingsir wengi. Nalika awake dhewe ketemu, aku janji, bakal maca geguritan lirih ing sandhingmu... amung kanggo sliramu.

27.         Sebagai seorang penyair, kita harus turba (turun ke bawah).
Gagasan ini pertama kali bukan aku pelajari dari membaca Lekra,
tetapi justru dari pendidikan seminari.
Bahwa, khotbah-khotbah yang tidak membumi, yang jauh di menara gading,
hanyalah meninabobokan.
Dan, ya, gagasan bahwa penyair itu adalah "nabi"
serta memiliki "tanggung jawab profetis" pun berasal dari seminari.

November 2013
Padmo Adi
(Wong Kiwa Mardika)

Comments