SECAWAN ANGGUR

  SECAWAN ANGGUR Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga. Dokumen pribadi. Di sini... di kota ini... aku benar-benar disapih dikastrasi dibiarkan mati-hidup sendiri Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama Tidak ada lembut dekap payudara Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata Dijauhkan dari Tanah pusaka tempat moyangku dibumikan Dan kini cuma jadi kerinduan yang kepadanya hasrat mendamba Akan tetapi, keadaan ini justru aku syukuri sebab aku dengan merdeka mengada tanpa perlu alasan yang mengada-ada Aku bebas menciptakan diri bebas mengartikulasikan diri Aku bebas merayakan hidup menari dengan irama degup Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka Apa makna dari membuka mata pagi-pagi, lalu memejamkannya di waktu malam tiba? Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi. Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima! Menerima Mengakui adalah

Dua Wajah


Dua Wajah

Kalau kausimpan sejenak motormu,
lalu berjalan kaki, menyusuri jalan,
perempatan kota, dan tikungan di pedalaman,
atau sekadar naik bus, angkot, dan kereta
kauakan menjumpai barisan wajah-wajah

Ada cerita di balik wajah itu.
Ada drama, ada tragedi.
Ada romantika, ada komedi.
Wajah itu memiliki kisah sendiri-sendiri.

Namun, tak jarang kisah itu sembunyi
di balik roman muka dingin tanpa emosi.
Seakan tak ada yang terjadi
dan akan baik-baik sajalah esok hari.
Padahal, ketika kautatap wajah itu dengan jeli,
ada sebuah garis besar pemiskinan di negeri ini.

Namun, di sisi lain, pada suatu titik tertentu
kita perlu melampaui struktur, dan melihat pribadi.

Masih ada mental inlander yang bikin minder.
Hanya berhenti pada menjual iba kepada sesama.
“Seikhlasnya,” begitu pintanya.
Dan, ketika “seikhlasnya” itu diberikan,
bukan senyum ramah seperti sewaktu meminta,
melainkan sebuah gerutu kekecewaan.

Itulah dua wajah kemiskinan kita.
Satu sisi kita memang dipermiskin keadaan.
Namun, di sisi lain kita malah manja dalam kemiskinan
menjual-jual iba
tapi enggan bersyukur
juga lupa semboyan “berdikari”!

Berdikari itu memang menguras daya, Bung.

Malang, 30 November 2013
Padmo Adi (@KalongGedhe)

Comments