SECAWAN ANGGUR

  SECAWAN ANGGUR Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga. Dokumen pribadi. Di sini... di kota ini... aku benar-benar disapih dikastrasi dibiarkan mati-hidup sendiri Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama Tidak ada lembut dekap payudara Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata Dijauhkan dari Tanah pusaka tempat moyangku dibumikan Dan kini cuma jadi kerinduan yang kepadanya hasrat mendamba Akan tetapi, keadaan ini justru aku syukuri sebab aku dengan merdeka mengada tanpa perlu alasan yang mengada-ada Aku bebas menciptakan diri bebas mengartikulasikan diri Aku bebas merayakan hidup menari dengan irama degup Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka Apa makna dari membuka mata pagi-pagi, lalu memejamkannya di waktu malam tiba? Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi. Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima! Menerima Mengakui adalah

Sayang, Kamu Tidak Keberatan, ‘Kan?

Sayang, Kamu Tidak Keberatan, ‘Kan?

Kamu tahu, Sayang?
Setiap malam hampir dini hari
ketika aku melembur menulis puisi
aku kelaparan.
Namun, tidak ada yang bisa kumakan
kecuali nasi telur di burjo itu.
Tidak ada pilihan.
Dan, kamu tahu, Sayang?
Setiap kali aku memesan telur yang digoreng
yang kupesan adalah telur ceplok mata sapi setengah matang.
Jadi, setiap kali aku makan, mata itu akan menatapku...
dan setiap kali aku mengirisnya,
cairan kuning itu akan mendelewer.
Itulah tatapan orang-orang yang tanahnya direnggut
demi minyak untuk menggoreng telurku itu tadi.
Itulah darah mendelewer orang-orang yang tanahnya direnggut
demi minyak untuk menggoreng telurku itu tadi.
Kamu tidak keberatan, ‘kan, Sayang,
punya kekasih seorang pembunuh?

tepi Jakal, 08 Januari 2014
Padmo Adi (@KalongGedhe)

Comments