KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Belajar Bangun Pagi

Belajar Bangun Pagi
*kepada Padma Kuntjara

Sering kali kita berbicara tentang revolusi...
Tapi benar katamu,
kita berbicara revolusi
sembari mulut kita bau ciu
dan asap cimeng mengepul
hingga mata kita sayu.
Mengangkat arit palu pun tak mampu.

Bagaimana mungkin kita bikin revolusi,
ketika kita tak mampu bangun pagi?

Mungkin baik kalau aku berhenti berhomili tentang revolusi...
sampai aku bisa bangun pagi
dan tak sering mabuk ciu yang dioplos pulpy.

07 Juni 2014
Padmo Adi

Comments