SECAWAN ANGGUR

  SECAWAN ANGGUR Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga. Dokumen pribadi. Di sini... di kota ini... aku benar-benar disapih dikastrasi dibiarkan mati-hidup sendiri Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama Tidak ada lembut dekap payudara Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata Dijauhkan dari Tanah pusaka tempat moyangku dibumikan Dan kini cuma jadi kerinduan yang kepadanya hasrat mendamba Akan tetapi, keadaan ini justru aku syukuri sebab aku dengan merdeka mengada tanpa perlu alasan yang mengada-ada Aku bebas menciptakan diri bebas mengartikulasikan diri Aku bebas merayakan hidup menari dengan irama degup Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka Apa makna dari membuka mata pagi-pagi, lalu memejamkannya di waktu malam tiba? Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi. Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima! Menerima Mengakui adalah

Kepada Kartika di Jakarta

Kepada Kartika di Jakarta

Sudah lama kita tidak duduk berdua dipayungi gemintang dan diselimuti dingin hawa Salatiga. Aku rindu saat-saat itu, saat di mana aku tak mempedulikan dunia, juga Tuhan, terkecuali kamu. Lalu kubisikkan sebuah puisi tentang kita, lembut, pada telingamu.

Aku mencari-cari aroma tubuhmu... tapi di sini, di Jogja ini, hanya bau aroma asap rokok dan apek tubuhku yang kudapati. Sedang kauberada jauh...tenggelam di antara lautan beton-baja.

Kita membicarakan Tuhan yang sama, tetapi dengan pemahaman yang berbeda. Kita membicarakan cinta yang sama, tetapi dengan pengertian yang tak serupa. Tuhan dan cinta adalah dua kata yang kosong. Kita bisa mengisinya sesuka kita. Celakanya, kita tak sama... tak pernah sama.

Sebab itulah sering kali aku diam. Hanya saja, malam ini aku rindu... rindu pada saat-saat di mana kita duduk berdua dipayungi gemintang dan diselimuti dingin hawa Salatiga.

06 Juni 2014
Padmo Adi

Comments