Memperlawankan
Puisi Fadli Zon dengan Puisi Fitri Nganthi Wani
Analisa
Dua Puisi dengan Critical Discourse
Analysis
oleh
Yohanes Padmo Adi Nugroho (136322009)
Sajak Orang Hilang
orang hilang tak tentu rimba
lenyap seperti ditelan bumi
berbaris nama setiap masa
merajut duka tiada henti
ribuan orang hilang di Madiun sembilan
belas empat delapan
ratusan ribu orang hilang dalam
revolusi sembilan belas enam puluhan
ribuan orang hilang ditembak misterius
sembilan belas delapan puluhan
belasan orang hilang sembilan belas
sembilan belas sembilan delapan
orang-orang hilang berbaris sepanjang
zaman
orang hilang tak pernah pulang
dinanti keluarga setiap hari
air mata beku kering kerontang
tak jelas nasib hingga kini
orang hilang di mana-mana
di pasar-pasar becek tempat belanja
di mal-mal mewah setiap kota
di sekolah sampai tempat ibadah
di gang sempit hingga jalan-jalan raya
orang hilang dimana-mana
orang hilang harus dicari
jangan cuma jadi komoditi
orang hilang harus disidik
jangan disulap alat politik
Fadli Zon, 9 Mei 2014
Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot
Dia yang tak berjenggot
Kebakaran jenggot
Pelaku teriak pelaku
Lucu lucu lucu
Dia yang tak berjenggot
Kebakaran jenggot
Terbatas merdekanya
Maju kena mundur kena
Dia yang tak berjenggot
Kebakaran jenggot
Jungkir balik jilat pantat si bos
Menculik dan membunuh nuraninya sendiri
Kemarilah kawan
Aku ingin jadi temanmu
Kita harus jujur
Atas hati masing-masing
Di sini kamu akan nyaman
Bukan karena uang, bukan..
Tapi karena kebenaran
Tapi sayang beribu sayang
Bagimu aku bukan levelmu
Yang mumpuni soal politik
Segalanya kau sebut politik
Bahkan perjuangan tulus
Seorang anak
Yang mencari bapaknya
Dia yang tak berjenggot
Kebakaran jenggot
Kasihan betul!
Ruang mata kosong melompong
Mayat hidup,
Bukan manusia
10 Mei 2014
Fitri Nganthi Wani
Pengantar
Di atas adalah dua puisi dari Fadli Zon dan Fitri
Nganthi Wani. Fadli Zon adalah seorang politikus dari Partai Gerindra (dipimpin
oleh Prabowo Subianto) yang menulis puisi berjudul “Sajak Orang Hilang”. Fitri
Nganthi Wani adalah anak dari Wiji Thukul (penyair dan aktivis yang hilang
sejak 1998). Puisi “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot” tersebut merupakan
tanggapan dan jawabannya atas puisi Fadli Zon. Saya hendak menganalisa dua
puisi yang memiliki kaitan intertekstualitas yang sangat erat itu dengan
menggunakan CDA (Critical Discourse
Analysis).
Fadli Zon dan Gerindra
Fadli Zon sendiri adalah seorang politikus dari
Partai Gerindra. Partai Gerindra mengusung ketua umumnya, yaitu Prabowo
Subianto, menjadi calon presiden Republik Indonesia. Langkah Prabowo Subianto
dalam menjadi calon presiden Republik Indonesia banyak menerima kritik. Salah
satu kritik yang paling gencar adalah keterlibatan dia dalam peristiwa 1998.
Dia dituduh sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas tewas dan hilangnya
beberapa mahasiswa serta aktivis, termasuk penyair Wiji Thukul. Menanggapi
tuduhan itu, Fadli Zon menulis puisi “Sajak Orang Hilang” tersebut. Fadli Zon
sendiri adalah seseorang yang “mendadak penyair”. Saya pribadi belum pernah
mendengar dia menulis puisi sebelumnya. Semua puisi Fadli Zon yang saya baca
dan simpan sebagai arsip ditulis pada tahun 2014, antara bulan Maret hingga
Mei. Semua puisi itu berisi ironi dan sindiran terhadap Partai Demokrasi
Indonesia - Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dan Joko Widodo. Puisi-puisinya
memang ditulis di dalam latar belakang pemilihan umum 2014. Saya tidak tahu
apakah dia menulis puisi sebelumnya. Mungkin puisi-puisi dia sebelumnya memang
tidak diterbitkan, atau saya yang kurang informasi. Fadli Zon sendiri masih
berkerabat dengan Taufiq Ismail, penyair Manikebu.
Fitri Nganthi Wani, Penyair yang
Terus Mencari Bapaknya
Saya pribadi belum pernah berbicara langsung dengan
Fitri Nganthi Wani. Perbincangan kami hanya melalui facebook. Saya tidak mengenal secara pribadi. Perjumpaan pertama
dengan dia adalah pada saat lomba menulis puisi di Gramedia, Solo, ketika saya
kelas 3 SMA (2005/2006). Selain itu, walau jurusan dan fakultas kami berbeda,
kami sama-sama pernah mengenyam pendidikan di Universitas Sanata Dharma. Puisi itu
saya ambil atas izin Fitri Nganthi Wani. Setidaknya sudah sejak SMA Fitri
Nganthi Wani menulis puisi. Dia memang penyair, sama seperti bapaknya. Ketika
kuliah, dia mengambil Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Di sana dia
aktif menulis puisi dan akhirnya menerbitkan buku puisinya. Beberapa puisi dan
status facebook-nya berisi gugatan
atas keberadaan bapaknya yang hingga kini masih belum jelas.
Menganalisa “Sajak Orang Hilang”
Semua puisi Fadli Zon tidak saya dapatkan dari orang
pertama. Puisi-puisinya saya dapatkan dari situs-situs berita internet.
Puisi-puisinya biasanya hanya dijadikan lampiran dari sebuah berita yang
berbicara mengenai kritik-kritik Gerindra terhadap PDI-P. Biasanya, situs-situs
berita internet itu akan memberitakan bahwa Fadli Zon, politisi Partai Gerindra
itu, mengkritik kebijakan-kebijakan PDI-P (misalnya, keputusan Megawati
Soekarnoputri memberi mandat kepada Joko Widodo sebagai calon presiden dari
PDI-P) melalui puisi, lalu di akhir berita puisi itu dilampirkan baik secara
langsung maupun menggunakan tautan (link).
Fadli Zon memang tidak secara terang-terangan menuliskan di dalam puisi-puisinya
kepada siapa itu ditujukan, akan tetapi media memberitakan bahwa puisi-puisinya
tersebut merupakan sindiran terhadap PDI-P (Megawati Soekarnoputri dan Joko
Widodo).
Puisi “Sajak Orang Hilang” ini sedikit berbeda
dengan puisi-puisi Fadli Zon yang lain. Puisi yang ditulis pada tanggal 9 Mei
2014 itu dikirim lewat pesan singkat (pesan berantai di blackberry messenger) pada hari dan tanggal yang sama (ke redaksi
detik.com?). “Sajak Orang Hilang” tidak saja dimuat oleh detik.com (Jumat, 9
Mei 2014, pk. 20.20 WIB), tetapi juga merdeka.com (Jumat, 9 Mei 20014, pk.
20.42 WIB), beritasatu.com (Sabtu, 10 Mei 2014, pk. 00.15 WIB). Tidak seperti
puisi-puisi dia sebelumnya yang hanya menyindir PDI-P (Megawati
Soekarnoputri dan Joko Widodo), “Sajak
Orang Hilang” sepertinya dibuat secara khusus untuk menjawab tuduhan yang
disampaikan oleh banyak pihak atas keterlibatan Prabowo Subianto dalam kasus
penculikan beberapa orang pada tahun 1998.
Fadli Zon melalui “Sajak Orang Hilang” bercerita
bahwa yang namanya orang hilang itu sudah terjadi sejak dahulu kala. Yang
namanya orang hilang itu sudah terjadi sejak “sembilan belas empat delapan”.
Yang namanya orang hilang itu pun terjadi pada “revolusi sembilan belas
enampuluhan”, ketika ada penembakan “misterius sembilan belas delapanpuluhan”, dan
ketika “sembilan belas sembilan belas sembilan
delapan”. Yang namanya orang hilang itu ada “di mana-mana”, “pasar-pasar becek tempat belanja”, “di mal-mal mewah setiap kota”, “di sekolah sampai tempat ibadah”, “di gang sempit hingga jalan-jalan raya”. Dia
bahkan sampai mengulang “orang hilang di mana-mana” dua kali. Fadli Zon berkata
bahwa yang namanya orang hilang itu sudah ada sejak dahulu kala dan terjadi di
mana-mana, maka “jangan disulap” jadi “alat politik”. Apakah Fadli Zon hendak
mengatakan bahwa yang namanya orang hilang itu sudah lumrah dan biasa?
“[R]ibuan orang hilang di
Madiun sembilan belas empat delapan”.
“[R]atusan ribu orang hilang dalam
revolusi sembilan belas enam puluhan”.
“[R]ibuan orang hilang ditembak
misterius sembilan belas delapan puluhan”.
“[B]elasan orang hilang sembilan belas
sembilan belas sembilan delapan”. Demikian Fadli Zon menulis. Jadi, kira-kira
Fadli Zon hendak berkata, jika dibandingkan dengan peristiwa Madiun 1948 di
mana ribuan orang hilang, tragedi 1960-an di mana ratusan ribu
orang hilang, dan kejadian penembakan misterius tahun 1980-an di mana ribuan
orang hilang, peristiwa 1998 (peristiwa di mana Prabowo Subianto dituding
sebagai dalang penculikan) di mana orang yang hilang hanya belasan
adalah hal yang kecil dan lumrah, sehingga tidak perlu “dikomoditi” dan “disulap
(jadi) alat politik”. Fadli Zon mengatakan bahwa mereka, orang-orang hilang
itu, “harus dicari” dan “harus disidik”.
Fadli Zon menanggapi
kritik dan tuduhan yang dialamatkan kepada Prabowo Subianto, calon presiden
dari Gerindra, tidak dengan memberikan pernyataan langsung, melainkan dengan
puisi. Tidak semua puisi memakai bahasa lugas. Puisi pamflet Rendra yang
“lugas” itu pun masih memiliki metafora. Puisi dengan bahasa yang terlalu lugas
hanya akan menjadi puisi yang kering. Hampir semua puisi memakai gaya bahasa
(majas) dan permainan bahasa. Terkadang gaya bahasa itu dipakai justru untuk
menyembunyikan maksud tertentu dari penulis. Maka, kita bisa bertanya, mengapa
Fadli Zon, yang berposisi sebagai politisi aktif di Gerindra, bukan sebagai
seniman/penyair, justru menanggapi tuduhan-tuduhan itu dengan puisi? Kalau
memang puisi tersebut dimaksudkan sebagai puisi pamflet atau realisme-sosialis a
la puisi-puisi Lekra, yang membawa puisi ke ranah sosial-politik, mengapa
dia tidak memilih gaya bahasa yang lebih lugas, bahkan spesifik? Alih-alih
menjawab tuduhan, Fadli Zon seakan-akan hendak menutupi sesuatu dan menggiring
wacana. Frase “orang hilang” yang dipakainya itu apersonal, sebab frase itu
terlalu umum. Dia menyamakan begitu saja Wiji Thukul dan Petrus Bima Anugrah
dengan para preman yang di-“petrus”-kan. Dia menyamakan begitu saja Herman
Hendrawan dan Suyat dengan para korban pembantaian 1965. Mereka semua memang
sama-sama korban, akan tetapi kasusnya lain, konteksnya lain, dan tidak dapat
dipukul rata sama begitu saja. Dalam alam bawah sadar Fadli Zon, dan
sebagaimana yang ditulis di dalam puisinya tersebut, dia menyamakan “diculik”
dengan “ditembak” (dibunuh). Mungkin dia sebenarnya tahu bahwa mereka yang
diculik itu akhirnya ditembak (dibunuh), lalu (di-)hilang(-kan jejaknya).
Tanggapan
Spontan dari Putri Wiji Thukul
Puisi Fadli Zon tersebut
di atas segera mendapat tanggapan dari putri Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani,
sehari setelahnya. Pada tanggal 10 Mei 2014 dia mengirim tautan berita tentang
puisi Fadli Zon tersebut di atas pada dinding facebook-nya sembari
menulis, “Nyuruh nyari doang t[a]p[i] g[a]k bantuin ya percuma dong cin... [.]
T[a]p[i] k[a]y[a]knya lo j[u]g[a] g[a]k mungkin deh berani bantuin kita2, orang
y[an]g ngilangin salah satunya juga bos lo sendiri. Jebreeetttt! :D”
Setelah itu dia menulis puisi berjudul “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot” pada
status facebook-nya.
Judul puisi Fitri Nganthi
Wani adalah “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot”. Fadli Zon sendiri memang tak
memiliki jenggot, brewok, bahkan kumispun tidak. Karena puisi “Tak Berjenggot
Kebakaran Jenggot” ditulis pada status facebook sehari (bahkan beberapa
jam) setelah puisi Fadli Zon dimuat di situs berita internet, kita bisa
membayangkan betapa Fitri Nganthi Wani secara spontan menanggapi. Spontanitas
ini bisa kita artikan bahwa “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot” lahir dari perasaan
dan kehidupan sehari-hari yang dijalani oleh Fitri Nganthi Wani dan keluarga,
kehilangan sosok bapak. Kita bisa membayangkan betapa perasaan Fitri Nganthi
Wani sedemikian tersinggung karena kasus bapaknya (dan orang-orang yang
dihilangkan pada tahun 1998 lainnya) digeneralisasi begitu saja dengan mudah
oleh Fadli Zon, sehingga seolah-olah itu kasus yang wajar dan lumrah terjadi di
dalam sejarah Indonesia. Namun, pada bait pertama Fitri Nganthi Wani justru
menertawakan Fadli Zon, “Dia yang tak berjenggot / Kebakaran
jenggot / Pelaku teriak pelaku / Lucu lucu lucu[.]”
Fitri Nganthi Wani bisa membaca arah maksud puisi
Fadli Zon. Fadli Zon ingin membela “bos”-nya, ketua dan calon presiden dari
Partai Gerindra, yaitu Prabowo Subianto. “Dia yang tak berjenggot / Kebakaran
jenggot / Jungkir balik jilat pantat si bos[,]” kata Fitri Nganthi Wani. Fadli
Zon tiba-tiba saja “mendadak penyair” dan melakukan segala macam cara untuk
membela dan mendukung Prabowo Subianto (mencalonkan diri menjadi presiden
Republik Indonesia), terlepas dari apakah Prabowo Subianto telah terbukti
bersalah atau tidak atas kasus penculikan 1998. Tokoh “dia” pada puisi Fitri
Nganthi Wani pun digambarkan tengah menculik dan membunuh. Akan tetapi, yang
diculik dan dibunuh adalah “nuraninya sendiri”. Fadli Zon gambarkan sebagai
seorang yang tak memiliki hati nurani.
Fitri Nganthi Wani pun mengajak Fadli Zon untuk
duduk berbincang dari hati ke hati. Dia memanggil Fadli Zon dengan sebutan
“kawan”. Bahkan, Fitri Nganthi Wani ingin jadi “teman”-nya. Akan tetapi, Fitri
Nganthi Wani merasa bahwa ajakannya itu akan sia-sia belaka. Fitri Nganthi Wani
merasa bahwa bagi Fadli Zon, Fitri Nganthi Wani “bukan level”-nya. Fadli Zon
lebih “mumpuni soal politik”, sampai-sampai segalanya disebut politik, termasuk
juga “perjuangan tulus / Seorang anak / Yang mencari bapaknya”. Di sini Fitri
Nganthi Wani kembali menggugat ketumpulan nurani Fadli Zon. Ketika Fadli Zon
berkata bahwa orang hilang “jangan disulap alat politik”, Fitri Nganthi Wani
menggugat! Tuntutannya untuk menyelesaikan kasus hilangnya Wiji Thukul bukanlah
“alat politik” untuk menghalang-halangi Prabowo Subianto mencalonkan diri
sebagai presiden Republik Indonesia, tetapi merupakan sebuah “perjuangan tulus”
seorang anak yang kehilangan bapak. Fadli Zon tidak memiliki empati. Mungkin
Fadli Zon tidak paham bagaimana rasanya kehilangan seorang figur bapak, apa
lagi ketika masih kanak-kanak. Saat itu Fitri Nganthi Wani masih SD. Wiji
Thukul dan beberapa orang yang diculik pada tahun 1998 itu pun hingga saat ini
masih tidak diketahui di mana rimbanya. Kalau masih hidup, tinggal di mana?
Kalau sudah meninggal, dikuburkan di mana? Pada bait terakhir Fitri Nganthi
Wani kembali menggugat Fadli Zon yang tak memiliki hati nurani itu, “Kasihan
betul! / Ruang mata kosong melompong / Mayat hidup, / Bukan manusia[.]”
Puisi “Tak Berjenggot Kebakaran Jenggot” terdiri
dari enam bait. Fitri Nganthi Wani mengulang “Dia yang tak berjenggot /
Kebakaran jenggot” hingga empat kali pada bait pertama, kedua, ketiga, dan
keenam. Bait keempat berisi ajakan untuk berbicara jujur dari hati. Sedangkan,
bait kelima berisi gugatan bahwa perjuangan tulus seorang anak yang mencari
bapaknya itu bukanlah demi kepentingan politik. Fitri Nganthi Wani menilai
bahwa Fadli Zon adalah politisi yang dibutakan oleh uang sehingga dia mengajak
politisi Gerindra itu untuk berbicara “karena kebenaran”, “Bukan karena uang,
bukan... [.]”
Penutup
Fadli Zon lewat puisinya “Sajak Orang Hilang” mengajak
kita semua untuk tidak mempolitisasi kasus-kasus orang hilang. Kasus orang
hilang dan ditembak (dibunuh) sudah ada sejak dulu dalam sejarah Indonesia. Dia
pun mengajak untuk mencari dan menyidik kasus orang hilang ini. Akan tetapi,
sebagai seseorang dengan kapasitas politikus partai politik, dan bukan (semata)
penyair, puisinya belum cukup. Puisinya tidak memadai untuk membela “bos”-nya,
Prabowo Subianto. Dia harus melakukan pernyataan resmi bahwa “bos”-nya itu
tidak bersalah, dan bahwa dia mengajak serta berinisiatif untuk mencari dan
menyidik kasus orang hilang tersebut sebagai upaya untuk membuktikan bahwa
“bos”-nya tidak bersalah. Puisi Fadli Zon “Sajak Orang Hilang” adalah usaha dia
untuk membela dan menutupi sesuatu yang terjadi pada Prabowo Subianto. Bahkan,
puisi itu hendak menggiring wacana, bahwa, selain 1998, sebelumnya sudah ada
banyak kasus penculikan, orang hilang, dan penembakan (pembunuhan) misterius
yang hingga kini belum jelas. Lewat “Sajak Orang Hilang” Fadli Zon ingin
berkata bahwa kita tidak perlu mempolitisasi kasus orang hilang, sehingga
Prabowo Subianto tidak perlu dituduh bertanggung jawab atas kasus 1998 dan
dapat mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia dengan tangan yang
bersih.
Puisi Fadli Zon tersebut tidak memiliki aspek illocutionary di mata Fitri Nganthi
Wani. “Nyuruh nyari doang tapi gak bantuin ya percuma dong, Cin...” kata Fitri
Nganthi Wani. Dia bahkan pesimis Fadli Zon akan berani berinisiatif untuk
membongkar kasus itu, sebab kasus itu akan menyeret “bos” Fadli Zon yang tengah
mencalonkan diri sebagai presiden Rebulik Indonesia. Puisi “Sajak Orang Hilang”
di mata Fitri Nganthi Wani tak lebih sebagai siasat “jungkir balik” seorang
bawahan untuk men-“jilat pantat si bos”. Puisi itu lahir dari seseorang yang
tidak memiliki hati nurani, tidak mampu berempati, tidak ma(mp)u mengerti
bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai dan berharga. Di mata
Fitri Nganthi Wani, Fadli Zon adalah seorang “Mayat hidup, / Bukan manusia”.
Comments
Post a Comment