KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

AKU RELA MENINGGALKAN AGAMAKU DEMI CINTAKU PADAMU

AKU RELA MENINGGALKAN AGAMAKU DEMI CINTAKU PADAMU*

Pada suatu masa di suatu tempat, alkisah terdapat sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara. Mereka berencana untuk menikah. Akan tetapi, mereka berbeda agama. Yang perempuan beragama Katolik, sementara yang lelaki beragama Islam.

Sebenarnya, di dalam Gereja Katolik perkawinan beda agama itu dilarang, tetapi... ya... namanya cinta... kalau nggak sama dia, ogah kawin... akhirnya Gereja Katolik membuat sebuah sistem, yaitu Surat Dispensasi, yang bisa diminta di Pastor Kevikepan setempat. Dengan Surat Dispensasi tersebut, mereka bisa menikah di Gereja dan diberkati Pastor, bisa mencatatkan perkawinan mereka itu di catatan sipil, walaupun tidak sakramen, karena yang Katolik tetap Katolik, sedangkan yang non-Katolik ya akan tetap non-Katolik.

Namun, yang namanya kawin-mawin di Indonesia itu bukan hanya urusan dua sejoli yang saling mencintai ternyata. Biasanya yang paling rempong dan paling bawel itu justru keluarga... kalau nggak bapaknya, ya ibunya... kalau nggak orang tuanya, ya paman-tantenya. Nah, begitu juga dengan pasangan muda-mudi kita tadi. Ibu si perempuan itu adalah seorang wanita Katolik yang cekek, yang ndeles, yang kalau misa harus duduk di kursi yang paling dekat dengan altar -minimal baris ketiga-, yang selalu datang misa 30 menit sebelum perarakan masuk, yang kalau misa selalu pakai kerudung a la Bunda Maria, yang adalah pengurus WKRI, yang adalah anggota dewan paroki. Nah... si ibu perempuan ini tadi sebenarnya suka dengan kekasih anak gadisnya itu, kecuali bahwa si lelaki itu beragama Islam. Si ibu ini mau-mau saja merestui perkawinan anak gadisnya itu dengan kekasihnya... asal si lelaki tadi mau bertobat, dibaptis, dan menjadi Katolik. Si ibu mau pernikahan putrinya itu adalah pernikahan yang sakramental, ratum et sacramentum, sah di mata Gereja dan Negara, serta consumatum est, dan tak terceraikan.

Oleh karena cintanya kepada kekasihnya yang Katolik itu, si lelaki tadi rela meninggalkan imannya yang lama. Akhirnya sebelum menjalani KPP (Kursus Persiapan Perkawinan), si lelaki tadi mendaftar menjadi calon baptis. Tentu dibaptis di dalam Gereja Katolik tidaklah mudah. Si lelaki tadi harus mengikuti pelajaran baptis, menjadi katekumen, bahkan mengikuti beberapa ujian sebelum dibaptis. Akhirnya dia dibaptis dengan nama baptis yang dipilihkan si ibu calon mertua. Tidak cukup hanya itu, si lelaki bahkan mengikuti pelajaran komuni pertama dan juga pelajaran krisma. Nah... setelah menerima komuni pertama dan menerima minyak krisma dari Bapa Uskup, tentu saja si lelaki ini sudah siap menjalani KPP bersama kekasihnya yang jelita itu.

Akan tetapi... beberapa hari menjelang mereka KPP, si anak gadis itu menangis sejadi-jadinya... seakan hancur hatinya berkeping-keping... sia-sia hidup, cinta, dan pengharapannya. Dia pun menghadap ibunya, mendekapnya, dan menangis di pelukan sang ibu.
“Ada apa ta, Wuk... anakku, Ngger, Cah Ayu? Kok kamu menangis ini seperti habis patah cinta saja?” tanya si ibu.
“Iya, Bu... pacarku itu... huwhuwhuw...” si gadis mengadu.
Lho... kenapa dengan pacarmu? Bukankah dia sekarang sudah menjadi Katolik? Lalu, sebentar lagi kalian KPP? Dan, pernikahanmu kelak akan menjadi pernikahan yang sakramen?”
“Justru itu, Bu... justru karena dia sekarang menjadi Katolik... .”
Lho? Kenapa dengan dia sekarang yang menjadi Katolik, Cah Ayu?” tanya si ibu keheranan.
“Justru karena dia sekarang menjadi Katolik, mendalami ajaran iman Katolik, dan beriman kepada Yesus Kristus... DIA KINI MAU JADI IMAM... MAU MASUK SEMINARI!!!”
Ealah, Ngger... .” si ibu lalu kena serangan jantung dan dilarikan ke RS Brayat Minulya.

*Diceritakan kembali dan didramatisasikan oleh

Padmo Adi

Comments

  1. haha ceritanya kini berubah sang calon suami lebih cinta kepada Yesus. Great story anyway mas... Pax Christi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha... aku hanya menceritakan ulang dengan sedikit bumbu dramatisasi saja :P hehehe...

      Terima kasih. Berkah Dalem.

      Delete
  2. Haha.....ealahhhhh.....sipppp...kenal mas Krist jadi terpukau.....

    ReplyDelete
  3. Haha....ealaaahhhh...kenal mas Krist jadi terpukau....sippp.....bisa buat sharing pas ibadat....makasih mas prater...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha :D Silakan, Om Tanto.
      Ini aku juga hanya menceritakan kembali kok :P
      Ini dulu yang menceritakan pertama kali dosenku.
      Lalu, aku modifikasi dan kudramatisasi XD wakakakakakakakaka... Bisa buat gojeg pas homili :P

      Delete
  4. Kok.... Brayat Minulya..? Cedak omahku kuwi, Mo...

    ReplyDelete
  5. Kok.... Brayat Minulya..? Cedak omahku kuwi, Mo...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahahaha...... iya, tapi fiksi kok ini :P
      Ya kalau di Solo, Brayat Minulya. Kalau setting-nya diganti di Jogja, ya mungkin Panti Rapih, hehe

      Delete

Post a Comment