ANTHROPOLOGI-METAFISIS PANCASILA
Pancasila dari Sudut Pandang Eksistensialisme Drijarkara
-Padmo Adi-
Drijarkara
bertanya tentang apa dan bagaimana itu Pancasila berangkat dari pertanyaan
tentang apa dan bagaimana itu manusia. Drijarkara mengutip pertanyaan Max
Scheller, “Apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas?”
(sebagaimana dikutip oleh P.J. Suwarno, 2015, 89). Subyek manusia berangkat
dari pertanyaan mengenai dirinya sendiri, tentang keberadaannya, tentang
kehadirannya, tentang being-nya. Di
manakah sekarang aku berada? Saya tengah berada di ruang kuliah Akademi Bahasa
Asing St. Pignatelli. Di manakah ABA St. Pignatelli itu? Di ujung barat Kota
Surakarta. Di manakah Surakarta itu? Di Pulau Jawa bagian tengah. Di manakah
Pulau Jawa itu? Di gugusan kepulauan yang bernama Indonesia. Di manakah
Indonesia itu? Di Asia. Di manakah Asia itu? Di Planet Bumi. Ada dimensi ruang
dan waktu di mana aku mengada. Jadi, aku itu mengada di dunia secara jasmaniah.
Aku memasuki dunia jasmani (material) itu dan menjadikannya bagian dari diriku.
Aku memanusia dan memanusiakan dunia jasmani tersebut. Proses aku menjadikan
yang jasmani (material) menjadi bagian diriku itulah yang disebut proses
membudaya. Proses membudaya inilah yang kemudian melahirkan kebudayaan. Hanya
dengan cara membudayakan yang jasmani (material), manusia bisa membudayakan
dirinya sendiri. Sila-sila Pancasila itu sebenarnya tidak lain adalah hasil
pembudayaan manusia (khususnya manusia Indonesia), hasil manusia (Indonesia)
memanusiakan diri, dan hasil dari manusia (Indonesia) memanusiakan dunia
jasmani tersebut.
Kesadaran
akan eksistensiku (kehadiranku di tengah dunia jasmani) di dalam ruang dan
waktu tersebut ternyata membawaku kepada kesadaran akan eksistensi liyan (others). Ada subyek lain selain aku yang
juga ada dan hadir bersama-sama dengan kehadiranku di dunia jasmani ini. Sebab,
kesadaran itu selalu kesadaran intensional, kesadaran itu selalu kesadaran
keluar diri. Maka, kesadaran akan adanya aku mengandaikan bahwa aku memiliki
kesadaran akan adanya kamu. Misalnya, aku tahu bahwa aku Jawa justru setelah
bertemu dengan kamu yang adalah Cina. Tidak pernah akan ada aku tanpa adanya
kamu. Yang menghubungkan aku dan kamu adalah bahasa. Maka, Drijarkara
berpendapat, bahwa meng-aku sekaligus meng-kamu dalam situasi dialog. Di dalam
situasi dialog tersebut meng-aku dan meng-kamu menjadi meng-kita. Jadi, adaku
itu ada bersama ada liyan yang didasarkan pada hubungan cinta-kasih. Aku dan
kamu ada bersama di dalam cinta-kasih (liebendes
Miteinandersein). Lalu bagaimana dengan benci? Menurut Drijarkara, benci
adalah bentuk negatif dari cinta-kasih. Cinta-kasih inilah yang disebut
Drijarkara sebagai kemanusiaan.
Ketika perikemanusiaan (baca: cinta-kasih) ini menjiwai seluruh bidang
kehidupan manusia, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, keadilan sosial akan tercipta. Ketika perikemanusiaan
ini menjiwai kehidupan sosial-politik, di mana setiap subjek dihargai, demokrasi lahir. Ketika perikemanusiaan
ini menjiwai kehidupan komunitas, bahkan menjiwai komunitas besar, rasa kebangsaan (nasionalisme) akan lahir. Di
dalam perikemanusiaan (cinta-kasih) tersebut, aku sadar bahwa aku tidak bisa
hidup tanpa kamu. Adaku bergantung dengan adamu. Begitu juga sebaliknya, adamu
bergantung dengan adaku. Kita sama-sama saling bergantung. Dan, akhirnya adaku
yang tak mungkin berdiri sendiri dan menjadi penyebab bagi dirinya sendiri itu
tergantung kepada apa yang disebut Liyan Besar, Kamu Besar, Tuhan. Jadi, cinta-kasih
(perikemanusiaan) yang terbatas antara aku dan kamu itu berasal Tuhan, yang tak
terbatas.
(P.J. Suwarno, 2015, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 89-90)
Comments
Post a Comment