KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

DARI PIDATO 1 JUNI 1945 HINGGA PANCASILA KITA



DARI PIDATO 1 JUNI 1945 HINGGA PANCASILA KITA

Bung Hatta: “[...] Bung Karnolah satu-satunya yang tegas-tegas mengungkapkan philosofische grondslag untuk negara yang akan dibentuk, yaitu lima sila yang disebut Pancasila, hanya urutannya sila ke-Tuhanan ada di bawah... .” (Mohammad Hatta dkk., 1977: 74-75, sebagaimana dikutip oleh P.J. Suwarno dalam P.J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2015, 52.)

Pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno secara eksplisit merumuskan Pancasila sebagai weltanschauung Negara Indonesia dalam sebuah pidato di dalam rapat BPUPKI. Pidato Muhammad Yamin dan Supomo sebelumnya telah memberi masukan pula terhadap pidato Soekarno tersebut. Soekarno sendiri mengatakan bahwa dia tidak menciptakan Pancasila, melainkan menggalinya. Walaupun demikian, Soekarnolah yang secara eksplisit memberi nama “Pancasila” dan nama itu diterima oleh semua peserta sidang BPUPKI. Pancasila itu sendiri merupakan nilai-nilai Bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu oleh Yamin didekati secara historis-yuridis, oleh Supomo didekati secara filosofis-kenegaraan, dan oleh Soekarno didekati secara sosio-politis.

Dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat, ketua sidang BPUPKI, mengangkat suatu panitia kecil yang mewadahi semua aliran: Islam, Kristen, dan mereka yang dianggap ahli konstitusi untuk merumuskan kembali Pidato Soekarno 1 Juni 1945 tersebut. Anggota dari Panitia Kecil itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Haji Wakhid Hasyim, Muhammad Yamin, Sutardjo, Maramis, Oto Iskandardinata, Mohammad Hatta, dan Soekarno sebagai ketuanya. Panitia Kecil tersebut mendapatkan masalah tentang hubungan agama dan negara. Maka, Panitia Kecil tersebut menunjuk sembilan orang untuk merumuskan kembali Pidato Soekarno tersebut. Panitia Sembilan itu terdiri dari Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Subardjo, Maramis, Soekarno, Kyai Abdul Kahar Muzakir, Wakhid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, dan Haji Agus Salim. Dalam rapat Panitia Sembilan tersebut dirumuskan suatu modus/persetujuan antara pihak Islam dan pihak Nasionalis, yang diberi nama Piagam Jakarta. Modus kompromi antara golongan Islam dan golongan Nasionalis itu tampak pada rumusan sila I, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Rumusan sila I tersebut tidak diterima begitu saja oleh semua anggota sidang BPUPKI. Tercatat setidaknya ada 3 kali perdebatan di dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan rumusan sila I tersebut. Yang pertama adalah Latuharhary (11 Juli 1945) yang berkeberatan. Latuharhary didukung oleh Wongsonegoro dan Husein Jayadiningrat, tetapi dibantah secara moderat oleh Agus Salim dan Wakhid Hasyim. Keberatan yang kedua terjadi pada rapat pleno BPUPKI 14 Juli 1945. Hadikusumo berpendapat agar 7 kata dalam sila I itu dihilangkan saja. Pendapat ini untuk memperkuat pendapat Kyai Sanusi. Pendapat ini ditolak oleh Panitia Perancang UUD. Perdebatan soal sila I dan pasal-pasal terkait hadir kembali pada sidang BPUPKI 15 Juli 1945.

Tugas BPUPKI selesai pada tanggal 16 Juli 1945 setelah rancangan Pernyataan Kemerdekaan, Pembukaan (di dalamnya tercantum Pancasila) dan UUD diterima secara bulat oleh rapat pleno BPUPKI. Pada tanggal 7 Agustus 1945 Jepang mengumumkan bahwa Bangsa Indonesia telah diperbolehkan untuk membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI beranggotakan 21 orang termasuk ketua dan wakilnya, yaitu Soekarno dan Hatta.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi menjelang siang Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada hari yang sama, sore harinya, Hatta ditemui oleh seorang opsir Kaigun (AL). Utusan tersebut menerangkan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah yang dikuasai oleh AL Jepang sangat keberatan terhadap 7 kata dalam sila I. Dengan adanya 7 kata tersebut berarti sila I itu tidak mengikat mereka, sebab hanya mengikat rakyat yang beragama Islam saja. Lebih jauh, karena rumusan sila I dengan 7 kata itu tercantum bahkan menjadi pokok UUD, terdapat diskriminasi terhadap kaum minoritas. Jika 7 kata itu tetap dipertahankan, bahkan disahkan, berarti diskriminasi itu legal, sehingga golongan minoritas tersebut lebih suka merdeka sendiri di luar Republik Indonesia. Hatta menyadari bahwa perjuangan lebih dari 25 tahun, bahkan dengan keluar-masuk penjara dan pembuangan, demi kemerdekaan Indonesia akan menjadi sia-sia jika Indonesia terpecah karena diskriminasi 7 kata. Pada tanggal 18 Agustus, sebelum sidang PPKI dibuka, Mohammad Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wakhid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan mengadakan rapat pendahuluan untuk membahas perkara tersebut. Rapat pendahuluan tersebut mencapai kesepakatan bulat, bahwa demi keutuhan Bangsa Indonesia 7 kata diskriminatif tersebut dihapus dan diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Setelah sidang PPKI dibuka oleh Soekarno, Mohammad Hatta mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan beberapa perubahan dalam rancangan Pembukaan UUD. Dengan demikian, pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila sebagaimana yang kita kenal sekarang ini telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 secara formal.

(P.J. Suwarno, 2015, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 52-77)

Comments