TUANG AIR MATAMU SECUKUPNYA

TUANG AIR MATAMU SECUKUPNYA   Seorang lelaki mengenakan kostum Garuda tengah beristirahat dengan sebat. Kepada para lelaki, menangislah jika harus menangis, sebab hidup ini sering kali tragis. Tuang air matamu secukupnya, lalu kemasi dirimu kembali, selesaikanlah hidupmu lagi.   Kehilangan demi kehilangan, kekalahan demi kekalahan, dari satu luka ke luka lain, kita telan kepedihan-kepedihan. Sering kali tak tertahankan. Sering kali menghancurkan.   Letakkan. Lepaskan. Ungkapkan. Tidak semua harus dipanggul! Pilihlah yang berharga. Pilihlah yang bermakna.   Lewat derita kita rangkai kata jadi cerita balada legenda abadi bersama semesta!   Malang, 04 Oktober 2024 Padmo “Kalong Gedhe” Adi

KLECA


Kleca

Kleca... Kleca...
sungguh aku ingin menangis menatapmu.
Akan tetapi, air mataku terlanjur kering,
membatu, dan mengganjal hatiku.

Masihkah ada Tuhan yang tersalib di rahimmu?
Sementara kausibuk bersolek diri,
memulas dengan gincu yang sebenarnya wagu,
perlahan kaukehilangan hangat keibuanmu.

Di manakah batu-batu kali itu?
Mungkin sudah kaugunakan
untuk merajam kecompang-campingan.
Kini bergemerlapanlah ‘kau. Megah nian.
Namun, anak-anakmu berserakan.

Kleca... Kleca...
Ingin rasanya aku mengumpulkan anak-anakmu,
tapi ‘kautendang-singkirkan buah rahimmu sendiri!
Hanya karena mereka begitu berisik mencintaimu,
“Jangan terlena bergincu. Tetap bersahajalah seperti dulu.”
O... Kleca... kemegahanmu sungguh sepi.

Begitu jor-joran kautampilkan wajah megahmu,
sementara anak-anakmu yang tersisa keleleran.
Ada yang bingung mau ke mana dan bagaimana.
Ada pula yang mengeluh, kauhisap tiap Minggu.
Tidakkah kaudengarkan jeritan sunyi mereka?

Kleca... Kleca...
Lihatlah patung yang tersalib
dari tembaga dalam ronggamu itu.
Kurus kering, cokelat kemerahan.
Namun, begitu jauh. Begitu asing.
Juga empat patung raksasa yang mendampinginya.
Temanku mengira itu bukan Maria, tetapi Jenova.

Masihkah ada Tuhan di dalam kemegahanmu itu?
Tuhan yang lahir di dalam kandang domba.
Tuhan yang berselimutkan kecompang-campingan.
Tuhan yang tak punya tempat untuk meletakkan kepala.
Tuhan yang mati hina, didera dan disalib, tanpa busana.

Jalan Ruwet Duwet, Karangasem, 08 Desember 2016
Padmo Adi (@KalongGedhe)

Comments