SECAWAN ANGGUR

  SECAWAN ANGGUR Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga. Dokumen pribadi. Di sini... di kota ini... aku benar-benar disapih dikastrasi dibiarkan mati-hidup sendiri Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama Tidak ada lembut dekap payudara Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata Dijauhkan dari Tanah pusaka tempat moyangku dibumikan Dan kini cuma jadi kerinduan yang kepadanya hasrat mendamba Akan tetapi, keadaan ini justru aku syukuri sebab aku dengan merdeka mengada tanpa perlu alasan yang mengada-ada Aku bebas menciptakan diri bebas mengartikulasikan diri Aku bebas merayakan hidup menari dengan irama degup Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka Apa makna dari membuka mata pagi-pagi, lalu memejamkannya di waktu malam tiba? Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi. Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima! Menerima Mengakui adalah

KLECA


Kleca

Kleca... Kleca...
sungguh aku ingin menangis menatapmu.
Akan tetapi, air mataku terlanjur kering,
membatu, dan mengganjal hatiku.

Masihkah ada Tuhan yang tersalib di rahimmu?
Sementara kausibuk bersolek diri,
memulas dengan gincu yang sebenarnya wagu,
perlahan kaukehilangan hangat keibuanmu.

Di manakah batu-batu kali itu?
Mungkin sudah kaugunakan
untuk merajam kecompang-campingan.
Kini bergemerlapanlah ‘kau. Megah nian.
Namun, anak-anakmu berserakan.

Kleca... Kleca...
Ingin rasanya aku mengumpulkan anak-anakmu,
tapi ‘kautendang-singkirkan buah rahimmu sendiri!
Hanya karena mereka begitu berisik mencintaimu,
“Jangan terlena bergincu. Tetap bersahajalah seperti dulu.”
O... Kleca... kemegahanmu sungguh sepi.

Begitu jor-joran kautampilkan wajah megahmu,
sementara anak-anakmu yang tersisa keleleran.
Ada yang bingung mau ke mana dan bagaimana.
Ada pula yang mengeluh, kauhisap tiap Minggu.
Tidakkah kaudengarkan jeritan sunyi mereka?

Kleca... Kleca...
Lihatlah patung yang tersalib
dari tembaga dalam ronggamu itu.
Kurus kering, cokelat kemerahan.
Namun, begitu jauh. Begitu asing.
Juga empat patung raksasa yang mendampinginya.
Temanku mengira itu bukan Maria, tetapi Jenova.

Masihkah ada Tuhan di dalam kemegahanmu itu?
Tuhan yang lahir di dalam kandang domba.
Tuhan yang berselimutkan kecompang-campingan.
Tuhan yang tak punya tempat untuk meletakkan kepala.
Tuhan yang mati hina, didera dan disalib, tanpa busana.

Jalan Ruwet Duwet, Karangasem, 08 Desember 2016
Padmo Adi (@KalongGedhe)

Comments