CATATAN PROSES BERTEATER - NYANYIAN RIMBAYANA
TENTANG MENJADI MANUSIA
Padmo Adi, Sutradara
*Tulisan ini pertama kali dimuat dalam booklet drama musikal Nyanyian Rimbayana, yang dipentaskan oleh siswa-siswi XII Jurusan Bahasa SMA PL St. Yosef Surakarta.
“Berikanlah
kepada negara, apa yang menjadi hak negara. Dan, kepada siswa, apa yang menjadi
hak siswa,” Y.B. Mangunwijaya, dalam hal pendidikan yang memerdekakan. Dalam
proses ini, saya tidak boleh lupa, bahwa konteksnya adalah mata pelajaran
sastra, ya pendidikan itu sendiri. Masalahnya adalah, mengajari itu mudah,
mendidik yang susah.
Mengapa
kita belajar sastra? Supaya kita bisa lebih menghargai kemanusiaan. Manusia.
Manusia itu bukan sesuatu yang abstrak. Manusia itu real, yaitu tetanggamu satu
RT, tetanggamu satu RW, orang yang serumah denganmu, orang yang berbagi
pengalaman hidup yang sama denganmu. Manusia itu real, sereal seorang petani
yang menangisi tanaman cabainya yang digilas ekskavator. Penghargaan terhadap
manusia, dengan segenap pandangan, cara pikir, kisah, dan sejarahnya ini
penting. Makin penting di tengah zaman edan yang semuanya didegradasi menjadi
perihal "kemakmuran ekonomi", uang semata. Makin penting, sebab kita
semua telah habis diburit oleh kapitalisme. Penghargaan terhadap manusia ini
penting, sebab ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang! Apa saja hal-hal
yang tidak bisa dibeli dengan uang? Paling sederhana adalah memori, nilai
sejarah, dan keyakinan. Kapitalisme dewasa ini telah berhasil membuat segala
sesuatunya dipandang hanya dari nilai uangnya, nilai ekonomisnya,
untung-ruginya. Kita jadi fetis. Semua boleh, selama bikin dapat banyak duit.
Padahal, ada hal-hal dalam diri manusia yang tidak hanya melulu perkara
untung-rugi. Sayangnya, biasanya hal-hal macam itu hanya menjadi narasi-narasi
kecil yang tertelan narasi-narasi besar. Apa itu narasi besar? Wacana
pembangunan demi kesejahteraan ekonomi, misalnya. Agama dan politik adalah
contoh lainnya. Itu semua narasi besar yang kerap kali menelan narasi-narasi
kecil. Justru pada narasi kecil itulah seorang manusia nampak manusiawinya.
Mengapa kita belajar sastra? Agar supaya kita mampu menghargai, memberi empati,
bahkan menarasikan kembali narasi-narasi kecil tersebut. Sastra adalah bagian
dari humaniora. Humaniora ... Human ... yang membuat kita menjadi human,
MANUSIA. Saya menyebutnya dengan istilah "Manifestasi Kemanusiaan".
Hidup yang pahit ini memang perlu dinarasikan. Seperti pare yang dioseng-oseng.
Seperti kopi yang di-V60. Tapi ... itu tidak mudah. Sebab (maha)siswa belajar
supaya dapat lekas jadi sekrup sistem yang ada.
Untunglah saya
pernah bertemu dengan seseorang bernama Doni Agung Setiawan. Doni Novi nama
facebooknya. Dia yang melatihku teater di Teater Seriboe Djendela. Aku masih
ingat betul apa yang diajarkannya dulu, soal menjadi aktor, menjadi manusia.
Bahwa, manusialah yang bisa bergerak, kursi tidak. Maka, ketika seorang aktor
teater terhalang kursi, kursi itu tidak akan jadi penghalang, tetapi bisa
direspon. Bisa disingkirkan, bisa diinjak, bisa dilompati, bahkan bisa jadi
mobil. Hal sederhana itu yang membuatku luwes dalam berproses teater. Sebab,
manusia bisa merespon keadaan, kursi tidak.
Dalam proses
ini, karena konteksnya adalah pendidikan, saya mencoba untuk tidak terlalu
banyak memakai Wacana Tuan. Saya mencoba memakai Wacana Histeria, supaya para
siswa benar-benar menjadi subyek, bukan boneka. Saya mencoba menciptakan
kesempatan bagi mereka untuk menemukan “hal itu” sendiri. Beberapa kali saya
ingin memakai Wacana Analis, tapi selalu banyak gagalnya. Mungkin karena
adik-adik kelas saya ini masih remaja. Dan, akhirnya, dalam beberapa kesempatan
yang genting, saya pun memakai Wacana Tuan itu. Proses pendidikan dengan
memakai teori Empat Wacana ini (wacana keempat adalah Wacana Universitas),
ternyata sangat menyenangkan. Kita adalah subyek-subyek lack yang sama-sama ambyar, dan kemudian sama-sama menemukan “hal
itu”. Semoga “hal itu” yang kami temukan ini dapat benar-benar kami narasikan
dalam sajian pementasan Sabtu, 28 Juli 2018 ini.
O iya ... by the way ... saya harus meminta maaf
kepada Ahmad Jalidu, sebab hepiending-nya saya bikin sedih. Saya ingin ini jadi
tragedi. Walaupun demikian, terima kasih kepada Ahmad Jalidu, sebab boleh
memainkan naskahnya.
mantap. jos. berhadapan dg generasi hasil rekayasa kapitalisme, seringnya sbg pendidik hrs sering menjadi tuan, haha
ReplyDeletePendidikan yang memerdekakan :) "Memanusiakan manusia muda," kata Drijarkara :D
DeleteNice share ):
ReplyDeleteThank you, Grace :)
DeleteWaw
ReplyDeleteWew :D
Delete