SECAWAN ANGGUR

  SECAWAN ANGGUR Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga. Dokumen pribadi. Di sini... di kota ini... aku benar-benar disapih dikastrasi dibiarkan mati-hidup sendiri Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama Tidak ada lembut dekap payudara Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata Dijauhkan dari Tanah pusaka tempat moyangku dibumikan Dan kini cuma jadi kerinduan yang kepadanya hasrat mendamba Akan tetapi, keadaan ini justru aku syukuri sebab aku dengan merdeka mengada tanpa perlu alasan yang mengada-ada Aku bebas menciptakan diri bebas mengartikulasikan diri Aku bebas merayakan hidup menari dengan irama degup Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka Apa makna dari membuka mata pagi-pagi, lalu memejamkannya di waktu malam tiba? Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi. Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima! Menerima Mengakui adalah

Bagaimana Jika Tuhan Itu adalah Seorang Pengamen?

Bagaimana Jika Tuhan Itu adalah Seorang Pengamen?

Bagaimana jika Tuhan itu adalah seorang pengamen
yang tiba-tiba berdiri di depan rumahmu
menyanyikan lagu Bapa Kami gaya Kota Baru?

Bagaimana jika Tuhan itu adalah seorang ibu
yang membiayai hidup dan kuliah anak gadisnya
dengan berjualan rica-rica dan sengsu?

Bagaimana jika Tuhan itu adalah seorang asing
yang duduk di sebelahmu pada sebuah warung hik
menyantap sega kucing yang sama denganmu?

Bagaimana jika Tuhan itu adalah seorang LC
yang pada suatu bilik karaoke menemanimu nyanyi
demi anak lelakinya yang masih bayi?

Bagaimana jika Tuhan itu adalah orang tua
yang memohon kepadamu, anaknya
untuk mencoba daftar jadi abdi negara?

Yang jelas,
kita takkan pernah mengenal Tuhan yang tak kelihatan
hanya dengan berteriak-teriak memanggil Nama-Nya

Surakarta Utara, 25 Oktober 2018
Padmo Adi

Comments