KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

TERKEPUNG KATA-KATA

TERKEPUNG KATA-KATA

Semua orang tengah berbicara.
Semua orang tengah bersuara.
Walau cuma seratus empat puluh karakter,
semua ingin jadi yang paling banter

Jika semua mulut terbuka,
menggonggong bersahut-sahutan,
memberondong kata tanpa jeda,
siapa yang akan mendengarkan?

Semua bilang, "Aku yang paling benar."
Semua mengeklaim ngomong soal realita.
Mereka lupa, kebenaran bisa saja samar.
Mereka lupa, kebenaran sesuai sudut mata.

Suara dan kata-kata mengepung dari tiap penjuru.
Satu kalimat tertulis pun bisa bikin pekak telinga.
Bahkan, gambar-foto diperkosa caption yang menggebu.
Penanda-petanda dirampok untuk dijejali petanda lainnya.

Apa yang bisa kita lakukan untuk bereaksi,
di saat banjir kata bikin telinga dan perasaan tuli?
Kita bisa matikan ponsel-televisi lalu tidak peduli!
Buang jauh perangkat yang bawa segala ngeri!

Namun, sering kita butuh hiburan, haus keributan.
Jika noise itu voice, biar mereka saling argumentasi.
Nikmati saja adu bacot itu, kiranya jual beli pukulan.
Sebab, oleh Yang Maya, Realita telah dimodifikasi.

Tirtonadi Surakarta, 18 Oktober 2018
Padmo Adi

Comments