KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

NARASI KECIL YANG BESAR, Sebuah Catatan Menonton Pertunjukan Realis Keluarga Moechtar – Seriboe Djendela


NARASI KECIL YANG BESAR
Sebuah Catatan Menonton Pertunjukan Realis Keluarga Moechtar – Seriboe Djendela

 
Cover belakang leaflet Keluarga Moechtar - Teater Seriboe Djendela.



Jumat dan Sabtu, 30 November 2018 dan 01 Desember 2018, Teater Seriboe Djendela mempersembahkan Keluarga Moechtar. Sebagai seseorang yang pernah menjadi bagian integral dari Seriboe Djendela pada tahun 2009 hingga 2012, tentu aku sangat penasaran dengan pementasan mereka kali ini. Ada beberapa alasan yang membuat aku mewajibkan diriku sendiri menyaksikan sajian itu. Pertama adalah, Seriboe Djendela pernah mengisahkan sebuah Narasi Besar, yaitu cerita tentang Mataram 1551, dengan konsep kolosal, berbahasa Jawa. Pertunjukan itu diadakan di Auditorium Drijarkara, Universitas Sanata Dharma, yang sangat megah, dan yang secara desain memang dibangun untuk memfasilitasi acara wisuda yang selalu melibatkan ratusan wisudawan/wati. Kini, dengan materi personel yang kurang lebih sama, Seriboe Djendela mengusung Narasi Kecil, kisah tentang sebuah keluarga, dengan setting tempat Jakarta Selatan, tentu dengan bahasa khas Jakselian, bilingual campuran antara Bahasa Indonesia dan English. Aktor yang sama, yang sebelumnya bermain drama kolosal berbahasa Jawa, kini bermain suatu Narasi Kecil dengan bahasa South Jakartan, campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Alasan kedua adalah bahwa, tentu sebagai seorang alumni Seriboe Djendela, aku ingin tahu, sejauh apa capaian Seriboe Djendela sekarang ini. Apakah teman-teman mengalami peningkatan, dekadensi, atau justru stagnan gitu-gitu aja. Apakah teman-teman cuma mengulang-ulang apa yang diajarkan turun-temurun sejak era Mas Doni Agung Setiawan, bahkan jauh lebih kuna dari pada itu, atau dengan kreatif mengembangkan metode-metode warisan leluhur itu dan dengan kreatif pula memodifikasinya dengan pengetahuan teater yang mereka dapatkan dari luar pagar megah Kampus Mrican? Sebenarnya alasan kedua ini tidak obyektif-obyektif amat, sebab di dalam proses panjang Keluarga Moechtar ini, ada satu hari malam di mana aku diminta oleh sang sutradara, David Lewar, untuk melatih vokal para aktor. Sementara, alasan ketiga adalah bahwa aku kangen nonton pentas realis, setelah beberapa kali kecewa dengan pertunjukan realis yang aktingnya sama sekali nggak realis. Kangen itu menjadi-jadi, tatkala pementasan terakhir yang aku sendiri buat adalah sebuah drama musikal yang sama sekali tidak realis. Singkatnya, aku kangen.
Dengan tiga alasan itu, pada Hari Jumat 30 November 2018, aku berangkat dari Solo ke Jogja bersama perempuan yang sudah 9 tahun jadi kekasihku, dan bersama adik perempuanku yang adalah mahasiswi Fakultas Sastra USD itu. Yang perlu kugarisbawahi di dalam tulisan ini adalah bahwa aku datang ke sana dengan disposisi batin sebagai seorang penonton yang haus dan rindu akan sajian realis, terlepas bahwa aku adalah alumni Seriboe Djendela, dan terlepas bahwa aku pernah melatih para aktor itu satu malam. Hal pertama yang aku apresiasi dari sajian Keluarga Moechtar ini adalah tempat pementasannya. Seriboe Djendela menyajikannya di LIP, Sagan. Bukan pada LIP-nya, melainkan pada dimensi ruangnya. Aku pikir, Seriboe Djendela akan blunder ketika menyajikan Narasi Kecil ini di Auditorium Drijarkara USD, atau di Societet Militer TBY, atau di panggung prosenium lain di mana terdapat jarak yang cukup jauh antara panggung dan penonton. Syukurlah, mereka telah mengambil keputusan yang tepat ketika menyajikan Keluarga Moechtar di suatu ruangan yang kecil dan dekat. Auditorium LIP itu mereka potong separuh. Dengan ruangan yang kecil, energi dan rasa dari Narasi Kecil yang dimainkan oleh para aktor itu akan lebih mudah sampai kepada penonton. Aku yakin, cerita yang sama, jika dimainkan di Auditorium Drijarkara yang mahaluas itu, energi dan rasa itu akan menguap begitu saja, tidak akan sampai kepada penonton, bahkan yang duduk di barisan depan. Itu keyakinanku.
Harus kuakui, David Lewar, cerdas dalam memilih naskah. Kisah yang ada dalam Keluarga Moechtar sebenarnya sangat sederhana, juga sangat dekat dengan kita, yaitu soal pembagian (dan rebutan) warisan. Tetapi, di dalam kisah sederhana itu, terdapat lapisan-lapisan yang pedih tetapi sekaligus asyik dalam waktu bersamaan. Lapisan-lapisan itu memberi ruang yang sangat luas bagi para aktor untuk mengeksplorasi karakter. Aku kira, justru di sinilah kekuatan naskah Keluarga Moechtar itu, pada lapisan-lapisan tiap karakter yang ada di sana. Lebih asyik lagi, bahwa lapisan-lapisan itu tidak ditunjukkan kepada penonton secara vulgar. Penonton hanya diberi petunjuk-petunjuk, simbol-simbol, penanda-penanda, yang dengannya penonton dapat bermain dengan imajinasi mereka untuk menerka-nerka siapa dan apa yang sebenarnya terjadi dengan masing-masing karakter. Misalnya, apa yang sebenarnya terjadi antara Diana dan Tedi. Benar bahwa mereka memiliki putra bernama Suar. Namun, apakah mereka benar-benar menikah? Apakah mereka benar-benar bercerai? Sejauh apa hubungan Diana dengan Bens? Bagaimana hubungan Diana dengan Pak Moechtar sendiri sehingga Pak Moechtar menaruh perhatian tertentu kepada Diana? Apakah Ical itu queer? Sejauh apa hubungan pribadi antara Ical dengan Noel? Apakah Ical itu mengalami sindrom yang dialami tiap anak kedua? Bahkan, apakah benar lokasi dari peristiwa itu di Jakarta Selatan? Tidak jelas. Tidak dikatakan dengan jelas. Semuanya dibiarkan menjadi enigma begitu saja. Sehingga, sebagai penonton, aku memiliki ruang imajinasi, untuk menyelesaikan dan menjawab enigma itu sendiri. Aku pribadi suka dengan cerita model begini.
Akan tetapi, sejauh aku mengenal naskah ini, ada tantangan–untuk tidak mengatakan ‘bahaya’–dari naskah Keluarga Moechtar ini, yaitu bahwa naskah ini mirip-mirip naskah film. Maksudku, kita bisa mengimajinasikan adegan-adegan itu pada ruang dan tempat yang berbeda dan terpisah. Jika naskah ini diadaptasi menjadi sebuah film, tentu film-maker tidak akan mengalami kesulitan di pemilihan lokasi. Cukup mencari suatu rumah mewah, lalu adegan-adegan itu bisa di-take di beberapa sudut rumah itu. Masalahnya adalah, David Lewar bersama segenap Seriboe Djendela tidak sedang membikin film. Mereka sedang membuat suatu pertunjukan teater. Maka, mau tidak mau, mereka harus menerjemahkan naskah itu agar cukup untuk dimasukkan ke dalam satu panggung yang sama, supaya penonton tidak perlu mengangkat pantat untuk mengikuti para aktor berganti setting seperti pada umumnya drama visualisasi Penyaliban Yesus itu. Cukup tricky. Syukurlah, tim setting Seriboe Djendela, menurutku, cukup bisa mengatasi permasalahan itu. Dan, David Lewar berhasil mengomposisi blocking yang cukup ok, sehingga masih cukup masuk akal (logis)–tidak menjadi sureal, serta tidak membosankan. Walaupun, soal setting-properti, ada sedikit catatan.

Adegan pembacaan Surat Wasiat alm. Pak Moechtar. Dari kiri: Tedi, Bens, Ical, dan Diana. Ibu di kamar, sakit tua.

Aku bukan merupakan sutradara yang baik, sebab aku selalu lebih mementingkan aktor dari pada elemen estetis lainnya, seperti lampu dan setting-properti. Aku selalu membutuhkan orang yang mahir di bidang lighting, setting, dan musik agar bisa melihat keseluruhan sajian secara holistik. Dengan latar belakang seperti itulah aku mencoba mencerna setting ruangan yang jadi rumah dari Keluarga Moechtar. Dan, benar, aku luput di beberapa hal. Febrianus “Gedhek” Sudibyo memberiku pencerahan ketika kami mengadakan diskusi pascapentas, yang kami adakan secara spontan di suatu kedai makan. Gedhek adalah seorang alumni Seriboe Djendela yang selalu menjadi kru setting-properti, yang memiliki jam terbang cukup tinggi dan pengalaman kerja hingga ke luar negeri. Dia mengatakan bahwa setting Keluarga Moechtar Seriboe Djendela kurang menghadirkan simbol-simbol, penanda-penanda, yang bisa menjadi petunjuk tentang siapa itu Keluarga Moechtar, agamanya apa, seberapa taat mereka beragama, lokasi kisah mereka di mana, seberapa kaya mereka, dll. Mereka yang pernah mendengar dramatic-reading dan menghadiri diskusi atas naskah ini mengatakan bahwa Keluarga Moechtar adalah sebuah keluarga muslim yang cukup taat. Keislaman keluarga ini kemudian kontras dengan kisah-kisah masing-masing karakter yang hadir di sana. Kontras ini sebenarnya menarik. Akan tetapi, dari segi setting, setting Keluarga Moechtar versi Seriboe Djendela kurang memberi petunjuk. Hanya ada dua kaligrafi kecil, yaitu kaligrafi Allah dan kaligrafi Muhammad, yang dipasang di sisi kanan panggung, hampir-hampir tidak terlihat. Aku membayangkan bahwa sebenarnya tim setting bisa saja menghadirkan foto Ka’bah, foto yang hampir selalu ada di dalam keluarga muslim. Stereotipe memang, tetapi bukankah naskah ini telah cukup banyak cuma menghadirkan enigma tanpa bertele-tele menjelaskan? Itu baru satu layer, yaitu agama. Kita belum bicara tentang layer strata sosial mereka. Hampir tidak terasa bahwa mereka adalah orang-orang yang tinggal di daerah elit Jakarta Selatan. Bahwa rumah Keluarga Moechtar Seriboe Djendela itu terasa gede, iya. Tedi datang ke rumah itu naik mobil, langsung masuk melalui pintu belakang, pintu yang sama yang dipakai oleh Ical untuk masuk, dan pintu yang sama yang dipakai oleh Bens mengantar Ibu masuk ke kamarnya, yaitu exit di belakang-tengah. Lalu, bisa dibayangkan ada dapur dan ruang lainnya di balik exit sebelah kanan. Sementara, Diana, yang hampir tidak lagi memiliki hubungan dengan keluarga itu, masuk sebagai tamu, lewat pintu depan, yaitu exit sebelah kiri. Hanya itu. Lainnya tidak. Pada tulisan ini, aku tidak akan membahas soal lampu dan make up-kostum. Just fine by me.
Properti tricky lain yang mereka pakai adalah jam dinding, sebuah jam klasik yang akan berdentang tiap 30 menit. Bagi aku sendiri, kehadiran jam ini menjadi penting. Dia benar-benar menghadirkan waktu, Waktu Indonesia bagian Keluarga Moechtar. Pada saat pentas mulai, jam menunjukkan pukul 18.00, sehingga suara adzan maghrib yang dihadirkan oleh tim musik menjadi masuk akal. Suara adzan maghrib dan jam pukul 18.00 itu segera membangun waktu, bahwa peristiwa itu terjadi di suatu sore, di suatu tempat, bukan terjadi pada pukul 19.30, Jumat 30 November 2018. Kehadiran jam itu juga menjadi semakin realis ketika tim musik menghadirkan suara detik jam, yang mereka pakai untuk mengisi adegan-adegan diam dan peristiwa-peristiwa canggung yang terjadi dari pertemuan dua karakter yang sudah tidak lagi dekat. Sungguh, detik jarum jam itu membuat peristiwa menjadi semakin canggung, dan pada beberapa adegan membuat peristiwa menjadi semakin mencekam.
Sebagai seseorang yang memiliki pengalaman empiris sebuah peristiwa pembagian warisan, aku tahu betul ketegangan dan kecamuk hati yang dialami orang per orang yang hadir dalam acara bagi-bagi warisan itu. Ada yang dengan ringan hati setuju penjualan properti untuk kemudian dibagi-bagikan, ada yang dengan berat hati dan penuh pertimbangan ideologis menentang–tetapi kemudian tanpa daya menerima keputusan aklamasi, dan lain sebagainya. Jadi, secara subyektif, aku berada dekat dengan peristiwa Keluarga Moechtar ini. Mungkin hal inilah yang membuat aku sempat menangis pada satu adegan, sebab aku mengingat kisahku sendiri. Tetapi, bukankah kisah yang asyik adalah yang berhasil membuat pembaca/penontonnya menemukan dirinya sendiri di sana, menemukan kisahnya sendiri di sana, sehingga dia bisa mencari inspirasi hidup, atau sekadar katarsis? Secara lacanian, aku akan mengatakan bahwa, sebagai subyek lack, aku menemukan objet petit a-ku pada kisah Keluarga Moechtar itu. Atau, dengan mencoba sedikit lebih obyektif, aku akan mengatakan bahwa para aktor Seriboe Djendela berhasil memainkan lapisan-lapisan karakter Keluarga Moechtar dengan begitu dahsyat.
Mayoritas pemain Keluarga Moechtar,  jika aku tidak keliru, adalah pemain yang sama yang juga bermain dalam drama kolosal 1551. Kukira, hanya aktris yang memerankan Ibu saja yang adalah pemain baru (junior). Secara umum, aktor-aktor itu berhasil lepas dari 1551. Drama kolosal berbahasa Jawa 1551 bisa kukatakan sebagai drama yang berhasil. Aktingnya, akrobatiknya, artistiknya, secara umum kukatakan berhasil. Tidak mudah bagi seorang aktor amatir untuk bisa lepas begitu saja dari sebuah pertunjukkannya yang berhasil. Ada banyak kasus aktor amatir yang terjebak dalam satu karakter yang berhasil, sehingga karakter itu akan muncul lagi di reportase-reportase lainnya. Akan tetapi, malam itu aku tidak melihat para aktor 1551 jatuh dalam jebakan yang sama, ketika mereka memainkan Keluarga Moechtar. Mereka benar-benar menjadi karakter yang baru, dengan rasa yang baru, dengan penghayatan yang baru. Mereka berhasil melompat dari Bahasa Jawa dengan latar belakang Mataram Islamnya, ke Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang dicampur dengan latar belakang South Jakartan-nya. Walaupun, drama Bahasa Inggris yang dimainkan oleh Bangsa Pascakolonial selalu memiliki catatannya sendiri. Tentu dalam tulisan ini aku tidak akan terlalu jauh membahas soal bahasa ini.
Hentakan pertama dalam peristiwa malam hari itu justru datang dari aktris pendatang baru yang memerankan Ibu. Adegan dia mengecapi dan mengusap-usap kecap pada adult diaper untuk kemudian akan dimakan sebagai roti itu sungguh mencuri fokus. Adegan itu menjadi penanda bahwa karakter ibu adalah benar-benar begitu sepuh dan pikun. Kemudian hadir karakter Ical, yang sepanjang pertunjukkan selalu menjadi tokoh kunci yang memainkan tempo keseluruhan pertunjukan. Kalau aku boleh bilang, karakter Ical ini adalah leading-role pertunjukan ini. Dia selalu berjalan ke sana kemari dari sudut panggung satu ke sudut panggung lain. Juga ada karakter Tedi yang berlapis-lapis. Kalau aku boleh membikin ranking capaian, aktor pemeran Icallah yang memiliki capaian terbaik malam hari itu, disusul aktor pemeran Tedi dan Diana yang kurang lebih seimbang, lalu di posisi keempat ada aktris pemeran Ibu. Not bad for a beginner. Aktor pemeran Bens sudah cukup, tetapi dia kurang bisa mengekplorasi layer-layer yang dimiliki oleh karakter Bens ini. Dari awal hingga akhir pertunjukkan, aktor pemeran Bens ini hanya menampilkan satu lapisan saja, padahal kalau kita simak latar belakang kehidupan Bens, dia juga tidak kalah ruwet-nya dibanding kedua kakaknya. Bahwa dia ternyata ada something dengan Diana, tidak terlalu berhasil ditampakkan oleh si aktor. Ya, ada dua petunjuk sebenarnya, hanya rasanya kurang saja.

Adegan antara Diana dengan Tedi. Tidak jelas, apakah mereka pernah menikah, sudah cerai, atau bagaimana. Yang jelas adalah bahwa dari hubungan mereka, mereka memiliki anak bernama Suar, dan alm. Pak Moechtar memberi Suar bagian warisan melalui Diana. Juga tidak jelas sejauh apa perhatian Pak Moechtar terhadap Diana.

Ada sedikit catatan untuk blocking pada pementasan malam hari itu; mungkin ini catatan untuk sutradara, David Lewar. Beberapa kali panggung dibiarkan kosong. Panggung kosong itu terjadi ketika Ical harus membuang sampah, sebuah adegan yang terlalu sederhana untuk harus meninggalkan panggung dalam kondisi kosong. Mungkin tim properti perlu menyediakan satu tong sampah yang cukup merepresentasikan kelas sosial Keluarga Moechtar, untuk diletakkan di satu sudut. Ada dua sudut sebenarnya di mana mereka bisa meletakkan tong sampah itu: di belakang meja telepon dekat exit sebelah kanan, atau di dekat meja kopi di sudut sebelah kiri. Terlepas dari itu, terlepas dari beberapa masalah teknis seperti teknik blocking dan pelafalan, kelima aktor Keluarga Moechtar itu telah berhasil menyuguhkan suatu pertunjukan “ansambel” yang berasa. Jika drama adalah play, mereka telah berhasil “bermain”. Jual-beli akting mereka telah menghasilkan suatu rasa, dan rasa itu sungguh sampai kepada penonton. Sangat intens. Tidak hanya business-acts yang besar, tetapi juga akting-akting kecil mereka sangat natural. Tidak ada akting yang “neiyater”. Semuanya natural, realis, dan, menurutku, bisa begitu saja dipindah ke medium film. Maksudku, tidak ada ham-acting di dalam pertunjukan Hari Jumat itu. Semuanya pas sesuai takaran. Adegan kecil yang tidak bisa kulupakan adalah adegan Tedi, dalam suasana awkward yang “krik-krik”, bermain-main dengan kacamatanya, membuka dan menutupnya. Itu hanya satu contoh dari banyak.
Selesai pertunjukan, aku membawa pulang suatu perasaan-pascapentas, suatu perasaan gembira-lega, suatu katarsis. Memang Keluarga Moechtar masih menyisakan enigma dalam ending-nya. Namun, justru ending yang tidak jelas itulah yang aku suka dari suatu cerita, sebab pembaca/penonton memiliki ruang luas untuk menyelesaikan sendiri di dalam imajinasi mereka. Yang jelas, peristiwa Keluarga Moechtar menyisakan perasaan itu dalam hatiku. Sudah cukup lama aku tidak pulang selepas pementasan dengan rasa seperti itu, bahkan dalam pertunjukan yang aku buat sendiri pun. Perasaan ini bahkan membuatku penasaran, seperti apa metode latihan para aktor itu? Penasaran itu membuatku merasa bahwa aku perlu belajar lagi, juga dari Seriboe Djendela yang sekarang.
Aku memang tidak menyaksikan pertunjukan hari kedua, Sabtu 01 Desember 2018. Aku merasa tidak perlu, sebab bukankah peristiwa teater itu adalah peristiwa di sini dan kini? Sehingga, bagiku, dalam mengapresiasi karya orang lain, selalu cukup untuk menyaksikan satu pertunjukan saja, entah hari pertama, entah hari kedua, atau ketika gladi resik atau gladi kotor. Sebab, secara subyektif, didasari pada kepercayaan bahwa drama adalah play (to play), aku lebih menitikberatkan pada permainan aktor. Jika aktor itu berhasil meresonansikan rasa kepada penonton, sehingga penonton memiliki perasaan tertentu pasca-pertunjukan, itu sudah lebih dari cukup untukku. Itulah yang paling berharga untukku. Biarlah perkara setting, properti, make-up, kostum, lighting, dan musik menjadi concern mereka yang memang memfokuskan diri di bidang itu. Dan, sutradara, adalah orang yang harus hadir untuk berdialektika dengan semua elemen artistik, juga dengan elemen-elemen non-artistik termasuk budgeting, untuk mendapatkan harmoni yang paling mungkin dari suatu pertunjukan. Ya, apalagi ini adalah pertunjukan realis, yang tidak murah.
Untuk mengakhiri tulisan ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa Seriboe Djendela telah berhasil membangun peristiwa Keluarga Moechtar dengan baik, setidaknya pada Jumat malam tanggal 30 November 2018, di LIP. Para aktor secara umum telah berhasil menyuguhkan lapisan-lapisan kisah para tokoh yang ada di sana; mereka telah bermain dengan sangat oke. Apalagi, mereka tidak terjebak di dalam keberhasilan 1551. Musik sudah sangat baik, mampu mengisi panggung yang sempat kosong beberapa kali dan mengiringi suasana. Setting-properti, lampu, dan bahkan make-up kostum masih bisa dikejar lagi, bisa dijadikan evaluasi untuk sajian Seriboe Djendela lainnya di waktu mendatang. Kepada David Lewar, sebagai sutradara, aku mengucapkan selamat. Pemilihan naskahmu sungguh sangat tepat. Pemilihan aktormu juga sangat baik. Kamu pakai metode apa sih? Kepo deh aku ni ... . Dan, kepada Seriboe Djendela, dahsyat! Sungguh terbukti bahwa Seriboe Djendela tidak hanya bisa menghadirkan Narasi Besar seperti Lapak Tilas, Jaga Ndaru, dan 1551, tetapi juga bisa menghadirkan Narasi Kecil seperti kisah Keluarga Moechtar ini. Proviciat!!!
 
Dua MC.

Surakarta Utara, 03 Desember 2018
Padmo Adi

Comments

Post a Comment