KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

HISTERIA LUNA

HISTERIA LUNA
-Padmo Adi-

LunaKharisma harus menampilkan Tugas Akhirnya, sebuah pertunjukan teater, pada tanggal 09 Agustus 2019. Dia masih mengusung reportoar mengenai kehidupan perempuan pasca-perceraian, alias janda. Judul pementasan dia kali ini adalah Di Dalam Rumah 3, kalau saya boleh katakan, merupakan trilogi. Memang saya tidak menyaksikan sendiri Di Dalam Rumah 1 dan Di Dalam Rumah 2, tetapi Luna pernah menceritakan dua pertunjukan itu, sehingga saya bisa sedikit banyak membayangkannya. Lalu, apa yang membedakan dua Di Dalam Rumah itu dengan Di Dalam Rumah 3? Pisau bedahnya. Luna Kharisma menggunakan teori Psikoanalisa Lacanian. Psikoanalisa Lacanian ini Luna pakai sebagai teori untuk menganalisa subyek perempuan pasca-perceraian itu. Dengan teori itu pulalah saya akan menulis mengenai Di Dalam Rumah 3, atau lebih tepatnya Gladi Resik Di Dalam Rumah 3. Ya, sayang sekali saya tidak bisa menyaksikan pertunjukan itu pada Hari H, karena suatu alasan. Meskipun demikian, saya menyaksikan Gladi Resiknya. Tentu ada beberapa hal yang membedakan Gladi Resik Di Dalam Rumah 3 dengan pementasannya, sebab sesaat setelah Gladi Resik tersebut, para dosen Luna memberi masukan dan revisi.
Berangkat dari pengalaman menyaksikan Gladi Resik Di Dalam Rumah 3 itu, saya mencoba menganalisa reportoar Luna tersebut. Teori Empat Wacana Lacanian akan saya gunakan. Tentu saya tidak akan membahas bentuk atau genre teater Luna. Hal itu di luar kemampuan saya. Yang saya bahas pada tulisan ini adalah wacananya, narasinya. Selain itu, saya juga akan menggunakan teori mitos Roland Barthes, sebab di dalam (Gladi Resik) pertunjukan Luna itu, dia membawa nama Calon Arang, lebih spesifik film Ratu Sakti Calon Arang (1985) yang dibintangi Suzanna.
Gladi Resik Di Dalam Rumah 3 diawali dengan adegan sarapan bersama suatu keluarga yang terdiri dari seorang ibu, seorang anak lelaki, dan seorang anak perempuan. Tidak ada sosok ayah di sana. Seiring perkembangan cerita, ketiadaan sosok ayah itu terjelaskan; ibu itu janda. Namun, saya sendiri tidak menangkap petunjuk apakah ketiadaan sosok ayah itu karena cerai hidup atau cerai mati. Ya, memang ada satu dialog yang mengindikasikan bahwa ibu janda itu cerai hidup, hanya tidak verbal saja. Nanti saya tunjukkan dialog yang mana. Entah cerai hidup atau cerai mati, yang jelas Sang Bapa sudah tiada. Perkembangan cerita justru ada pada anak perempuan ibu, si ibu itu sendiri, dan beberapa perempuan lain yang memiliki multiperan terutama sebagai Liyan.

Mitos
Para perempuan lain itulah yang kemudian mendefinisikan si ibu itu dan memberi judgement pada keluarga itu. Satu hal negatif yang disematkan pada sosok ibu itu, bahwa dia janda! Janda menjadi penanda yang mendapatkan petanda negatif. Banyak nama janda yang disebutkan, mulai dari nama para aktris dan selebritis, hingga nama dari cerita rakyat Bali: Calon Arang—seorang perempuan, janda, sekaligus penyihir! Kehadiran nama Calon Arang ini diharapkan dapat menegaskan bahwa perempuan tanpa suami itu jelek, bahkan jahat!
Akan tetapi, Luna Kharisma terlihat mengalami kesulitan dalam menempatkan sosok Calon Arang ini. Pilihan yang dia ambil adalah menghadirkannya melalui layar televisi (harafiah), dengan menampilkan adegan-adegan dalam film Ratu Sakti Calon Arang yang menampilkan Suzanna sebagai Calon Arang. Di dalam pertunjukan Luna ini memang sosok bapak manusiawi tidak hadir, tetapi Nama Sang Bapa yang begitu kuat malah hadir. Nama Sang Bapa yang sangat kuat itu adalah film Ratu Sakti Calon Arang, nama Calon Arang itu sendiri, bahkan juga nama Suzanna sebagai persona.
Alih-alih meng-casting seorang aktris untuk menghadirkan sosok Calon Arang, atau untuk menarasikan apa dan siapa itu Calon Arang, Luna memilih untuk menghadirkan sebuah film jadi, yang dirilis pada tahun 1985. Luna menggunakan properti televisi untuk menghadirkan Calon Arang itu. Keputusan ini, saya kira, merupakan wujud dari kebingungan Luna. Mau diapakan “Calon Arang” yang sudah jadi itu? Sebagai cerita legenda, Calon Arang sudah jadi. Sebagai film yang rilis tahun 1985, Ratu Sakti Calon Arang pun sudah jadi. Bahkan, kehadiran Suzanna di sana pun juga membuat tambah runyam, sebab sosok Suzanna pun juga sudah jadi, dan kuat. Apa yang akan Luna lakukan pada Calon Arang ini, berkaitan dengan isu janda yang dia bawa?
Meraba dari perkembangan adegan yang Luna bangun, kisah Calon Arang itu dia gunakan untuk mendekosntruksi wacana janda, yang distereotipekan negatif. Luna, sebagaimana yang pernah dia ceritakan pada saya, sedang bermain dengan konsep mitos a la Roland Barthes di sana. Akan tetapi, seberapa berhasil? Mitos, menurut Roland Barthes, adalah sebuah tanda yang dirampok. Tanda terdiri dari penanda dan petanda. Penanda adalah wujudnya. Sementara, petanda adalah apa yang ada dalam benak kita mengenai suatu wujud itu. Misalnya penanda “berondong”, bisa mendapatkan petanda “pop-corn”, bisa mendapatkan petanda “lelaki muda”, atau juga bisa mendapatkan petanda “tembak beruntun”. Banyaknya petanda itu tergantung pada pra-pemahaman seseorang dan juga konteks. Ketika penanda “berondong” itu bertemu dengan petanda “pop-corn” (atau “lelaki muda”, atau “tembak beruntun”), lahirlah tanda. Mitos adalah sistem tanda tingkat kedua. Tanda yang sudah jadi itu kemudian dijadikan penanda baru, untuk diberi petanda lain. Contoh, misalnya foto Soekarno sedang berdiri berpidato sembari tangannya teracung. Sebagai tanda tingkat pertama, foto itu sudah jadi, bahwa itu adalah foto Soekarno sedang berpidato dengan berapi-api. Akan tetapi, ketika foto itu ada pada spanduk seorang caleg PDI-P, orang tidak akan lagi memaknai foto itu sebagai foto Soekarno yang berpidato dengan berapi-api, tetapi yang tertangkap adalah bahwa caleg PDI-P yang ada di spanduk itu seolah-olah mewarisi semangat nasionalisme dan marhaenisme Soekarno.
Juga demikian pula yang terjadi dengan nama “Calon Arang”; penanda itu mendapatkan petanda “perempuan”, “janda”, “penyihir”, dan “kejam”. Nama “Calon Arang” kemudian dibaca sebagai “perempuan janda yang adalah penyihir kejam”. Seperti itulah secara mainstream kita memaknai kisah Calon Arang. Kemudian, tanda “Calon Arang” yang sudah jadi itu berusaha dirampok oleh Luna, untuk diberi petanda baru. Tanda (yang terdiri dari penanda dan petanda) itu kemudian dijadikan penanda baru. Penanda baru ini oleh Luna hendak diberi petanda baru, yaitu “perempuan yang mandiri dan kuat, sehingga ditakuti oleh musuh-musuhnya”. Bagaimana Luna mencoba memberi petanda baru itu? Dengan “menyandingkan” Calon Arang-nya Suzanna itu dengan tokoh ibu dalam (Gladi Resik) pertunjukan Luna. Akan tetapi, seberapa berhasil?
Yang terjadi adalah Luna terbata-bata dalam menata dan meletakkan Calon Arang (baca: perempuan janda, penyihir kejam) di antara kisah dan kehadiran tokoh ibu (baca: perempuan janda yang mandiri dan kuat). Mengapa Luna tidak bisa leluasa dalam memainkan penanda Calon Arang ini? Bisa jadi memang penanda Calon Arang ini enggak Luna banget. Penanda Calon Arang tidak berhasil terintegrasi di dalam keseluruhan wacana yang Luna bawa, mulai dari prosesnya hingga Gladi Resiknya yang saya lihat itu, (dan mungkin juga pada Hari H pementasan?). Walaupun demikian, ada satu upaya Luna yang saya kira berhasil berkaitan dengan Calon Arang ini, yaitu bahwa Luna berhasil “membunuh”-nya. Upaya itu ada pada adegan tokoh ibu mematikan televisi yang sedang menampilkan adegan film Ratu Sakti Calon Arang. Dengan mematikan tayangan film Calon Arang itu seakan-akan Luna ingin berkata bahwa “janda yang kejam dan melulu negatif itu” sudah mati, digantikan dengan “janda baik hati yang mencintai keluarganya, ‘rumah’-nya”. Tokoh ibu itu seakan-akan hendak membungkam mulut Liyan, yang bersuara dengan sangat lantang juga melalui media (televisi). Tokoh ibu itu menolak untuk dibahasakan oleh Liyan, sehingga dia bisa membahasakan dirinya sendiri, bahwa dia adalah perempuan, janda, cerai, dan memilih bersatu dengan anak-anaknya, keluarganya, ‘rumah’-nya.

Salah satu adegan di dalam Gladi Resik Di Dalam Rumah 3


Empat Wacana
Selain bermain dengan konsep mitos Roland Barthes, Luna Kharisma bercerita kepada saya bahwa dia juga bermain dengan Teori Empat Wacana Psikoanalisa Lacanian. Maka, dengan teori itu pulalah saya melihat dan membahas (Gladi Resik) pertunjukan Di Dalam Rumah 3 itu.  Ada empat wacana dalam teori itu: (1) Wacana Tuan, (2) Wacana Histeria, (3) Wacana Analisa, dan (4) Wacana Universitas. Di dalam tulisan singkat ini saya tidak akan membahas diagram-diagramnya secara detail.
Yang jelas, di dalam (Gladi Resik) Di Dalam Rumah 3 itu saya melihat dialektika keempat wacana tersebut dimainkan oleh Luna. Sebenarnya, tentu saja, Di Dalam Rumah 3 itu hadir untuk memaknai ulang tentang perkawinan, keluarga, hingga akhirnya memaknai ulang tentang janda. Maka, diharapkan bahwa Luna berhasil menghadirkan Wacana Analisa juga bahkan Wacana Universitas. Sejauh apa Luna berhasil bermain dengan Empat Wacana ini?
Wacana Tuan adalah wacana yang pertama. Wacana ini hadir pertama kali untuk mengkastrasi individu menjadi subjek. Wacana Tuan ini tidak lain adalah Nama Sang Bapa, bisa berupa hukum, adat istiadat, sistem sosial, masyarakat, juga agama. Dengan pengertian tersebut, kita bisa melihat bahwa Wacana Tuan banyak terserak pada (Gladi Resik) pertunjukan Luna itu. Wacana Tuan itu ada pada suara lelaki (Liyan Besar) yang bertanya dan mendebat kepada karakter ibu. Secara teknis, suara di mana penuturnya tidak hadir itu disebut V.O., atau “Sound of God”. Suara lelaki (suara Tuhan—Sang Mahaliyan?) itu bahkan mengutip ayat Alkitab: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia,” (Matius 19:6). Wacana Tuan itu ada pada karakter-karakter perempuan lain (baca: masyarakat). Lewat karakter-karakter perempuan lain ini Luna memaparkan stereotipe-stereotipe negatif tentang janda. Wacana Tuan juga hadir dalam film Ratu Sakti Calon Arang dengan bintangnya Suzanna itu.
Wacana Tuan itulah yang hendak digugat oleh Luna Kharisma. Gugatan itu muncul pertama-tama lewat pertanyaan yang dilontarkan oleh karakter perempuan-perempuan lain, “Kamu itu dongeng bukan?” Tentu saya segera berasumsi bahwa kata “dongeng” di sini berkaitan erat dengan “Calon Arang”, janda dengan segala predikatnya, itu. Kalimat tanya itu sebenarnya mewarnai keseluruhan pertunjukan Luna, sebab tidak hanya sekali ditanyakan. Kalimat tanya itu menjadi kuat sebab seakan-akan perkembangan adegan dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan itu akhirnya tidak lagi dijawab oleh Calon Arang, melainkan oleh tokoh ibu. Selain itu, gugatan-gugatan terhadap Wacana Tuan itu juga muncul lewat dialog-dialog ibu. Namun, saya melihat bahwa gugatan-gugatan tokoh ibu itu hanya merupakan Wacana Histeria, sebab dialog-dialog ibu didominasi oleh ungkapan protes. Protes terhadap apa? Protes terhadap stereotipe negatif yang disematkan kepada status janda, terlebih lagi janda cerai! Memang tidak ada dialog verbal yang menyatakan bahwa tokoh ibu itu adalah janda cerai. Namun, dialog suara lelaki yang mengutip “... apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” itu menyiratkan bahwa si ibu ini adalah janda karena perceraian, cerai hidup. Sebenarnya tokoh ibu itu tidak hanya melampiaskan gugatan, tetapi juga mencoba menawarkan gagasan baru akan kehidupan perkawinan, atas definisi keluarga (komunitas yang hadir dengan kehadiran lembaga perkawinan).
Apakah dengan berakhirnya lembaga perkawinan melalui perceraian kemudian komunitas keluarga itu selesai? Tokoh ibu itu menjawab, kurang lebih, “Aku bersatu dengan anak-anakku. Aku berkeluarga dengan anak-anakku.” Kurang lebih begitulah jawaban ibu kepada suara laki-laki itu; demikianlah yang saya ingat, mungkin tidak begitu tepat, mohon maaf. Intinya, Luna lewat mulut tokoh ibu ingin berkata bahwa apa yang disebut “berkeluarga” itu tidak harus terdiri dari seorang suami dan seorang istri; seorang perempuan (mantan istri) dengan anak-anaknya pun juga adalah “berkeluarga”. Di sinilah letak Wacana Analisa itu. Luna sedang memaknai ulang konsep “keluarga”, dan kata “rumah” (home—yang lebih bernuansa “keluarga”) menjadi metafora yang penting dalam pertunjukan Di Dalam Rumah 3 ini.
Dengan kata “rumah” ini pulalah Luna mencoba membuat wacana janda ini move on. “Rumah baru” adalah hal yang kemudian dicari oleh si ibu dan kedua anaknya. “Rumah baru”, “makna baru”, “lembaran hidup baru”, lepas dari segala stereotipe negatif tentang janda sebagaimana dinyatakan oleh Liyan, sehingga dapat mendefinisikan dirinya sendiri secara bebas. Si ibu dan kedua anaknya itu pindah ke “rumah baru” melalui adegan mendorong koper-koper hitam dari suatu sudut belakang panggung ke suatu sudut di depan panggung. Di depan panggung itu, pada momentum itu, “rumah baru” itu pun ditata kembali. Televisi dinyalakan kembali. Masih muncul adegan film Ratu Sakti Calon Arang. Si ibu perlahan mendekat ke televisi itu, lalu mematikannya. Pada momentum itu, saya merasa lega, wacana janda telah selesai, sudah move on. Ternyata saya salah. Perempuan-perempuan lain itu masuk kembali ke dalam panggung, kemudian mereka berteriak, “Kamu itu dongeng bukan?” Segera saja seakan-akan saya merasa diseret kembali ke dalam histeria Luna itu... histeria yang saya kira telah selesai dengan menemukan “rumah baru” (metafora baru) dan dengan membunuh Calon Arang (hegemonis). Ternyata histeria Luna belum berakhir. Wacana Universitas belum juga dibicarakan.

Epilog
Saya tidak tahu apa yang terjadi pada pementasan Hari H dan juga apa yang terjadi di ruang sidang ketika Luna mempertahankan tesisnya itu. Mungkin Wacana Universitas itu ada pada tesis tersebut, atau mungkin juga ada pada pementasan Hari H, sebab saya dengar bahwa ada banyak revisi atas pertunjukan Gladi Resik Di Dalam Rumah 3 itu. Saya tidak bisa datang pada saat Hari H. Yang jelas, jika suatu hari nanti Luna membuat Di Dalam Rumah 4, itu berarti masih ada yang belum selesai, Wacana Universitas belum hadir. Atau, bisa jadi... Di Dalam Rumah 4 itu menghadirkan metafora baru atas janda?

Malang, 11 September 2019


Daftar Bacaan
St. Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal
P. Verhaeghe. From Impossibility to Inability. Lacan’s Theory on the Four Discourses.

Comments