SECAWAN ANGGUR

  SECAWAN ANGGUR Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga. Dokumen pribadi. Di sini... di kota ini... aku benar-benar disapih dikastrasi dibiarkan mati-hidup sendiri Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama Tidak ada lembut dekap payudara Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata Dijauhkan dari Tanah pusaka tempat moyangku dibumikan Dan kini cuma jadi kerinduan yang kepadanya hasrat mendamba Akan tetapi, keadaan ini justru aku syukuri sebab aku dengan merdeka mengada tanpa perlu alasan yang mengada-ada Aku bebas menciptakan diri bebas mengartikulasikan diri Aku bebas merayakan hidup menari dengan irama degup Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka Apa makna dari membuka mata pagi-pagi, lalu memejamkannya di waktu malam tiba? Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi. Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima! Menerima Mengakui adalah

SEBAB KITA MAKAN ANAK DOMBA YANG SAMA

SEBAB KITA MAKAN ANAK DOMBA YANG SAMA
*kepada Prativi, Karna, dan Sena

Dua bocah lelaki menetek dalam dekapan ibu
tanpa bapa.
Sebab lelaki yang mereka panggil bapa
hampir tidak pernah ada di sana.
Tiga ratus kilometer membentang
hutan lembah gunung menjulang
memisahkan mereka.

Lelaki itu dulu pergi bertapa
mencari bapanya yang telah tiada.
Di kaki Merbabu dia melihat cahaya,
memancar dari seekor yuyu, lalu bercinta.
Dari rahim yuyu itu lahirlah dua bocah lanang,
yang satu methakil seperti Hanuman
yang satu sumega seperti Werkudara.
Namun, mereka tak bisa bersama-sama.
Si lelaki harus menjalani dharmanya,
bersama Sastra Legawa dia berjalan ke Timur,
menembus hutan
menapaki lembah
melompati gunung
hingga tibalah dia di Negeri Ibu segala Raja Jawa.

Dalam lindungan ibunya, Mataram Merah
yuyu dan dua bocah lelaki itu dititipkan.
Jarak berubah menjadi kerinduan,
rindu berubah menjadi puisi,
puisi berubah menjadi doa.
Lelaki itu pergi ke Rumah Bapa,
yang rongganya seperti garba ibunya.
Di sanalah upacara pengorbanan Anak Domba.
Tubuh-Nya dipecah-pecahkan lalu dibagi.
Si lelaki memakannya, penuh kerinduan.

[...] yang rongganya seperti garba ibunya. Dokumen pribadi.

“Istriku, anak-anakku...
jika kalian rindukan aku,
makanlah daging Anak Domba,
maka kita akan bersatu,
sebab kita makan Anak Domba yang sama,
di bumi seperti di dalam surga.”

Malang, 10 November 2019
Padmo Adi

Comments