MARIA GRAVIDA: Merefleksikan Peristiwa Kehamilan Maria, Kala Maria Mengalami Perubahan Radikal pada Tubuhnya
MARIA GRAVIDA
Merefleksikan Peristiwa Kehamilan Maria
Kala Maria Mengalami Perubahan Radikal pada Tubuhnya
![]() |
| Patung Maria Gravida berjudul Humanity of Mary karya Galuh Sekartaji Patung ini sekarang ada di Kapel Kanisius, Jakarta Foto oleh Alexander Koko, S.J. |
Dari
sekian banyak hal yang dapat dilakukan perempuan tanpa dapat dilakukan
laki-laki, salah satunya adalah hamil. Perempuan secara biologis dianugerahi
rahim, tempat tumbuhnya janin selama kurang-lebih 9 bulan. Peristiwa hamil
dapat memiliki beragam makna bagi diri perempuan; bisa positif bisa juga
negatif. Pada umumnya banyak perempuan menanti-nantikan kehamilan ini, bahkan
merawat kehamilan ini dengan sungguh, hingga melahirkan nanti. Walau, dalam
beberapa kasus ada juga kemudian perempuan yang menolak kehamilannya.
Penolakan
kehamilan ini biasanya terjadi karena situasi sosial yang tidak mendukung,
misalnya ketiadaan lelaki—sang suami. Situasi tanpa lelaki (baca: suami) itu
pulalah yang dialami Maria (atau dalam tradisi Islam, Maryam), tatkala hamil
Yesus (Isa). Dalam tradisi Kristiani, Maria dikisahkan hamil oleh karena Roh
Kudus (baca: Roh Allah); di saat dia belum resmi menikah dengan tunangannya
Yosef (Yusuf). Mengetahui tunangannya hamil sebelum mereka resmi menikah, Yosef
sempat ragu-ragu dengan Maria, dan bahkan berencana membatalkan perkawinan
mereka. Namun, dalam mimpinya, malaikat mendatangi dan menguatkan Yosef,
sehingga Yosef melanjutkan perkawinannya dengan Maria. Maria pun merawat
kehamilannya itu, ditemani oleh Yosef, dari Nazareth (sebuah desa di
Galilea—sebelah selatan Lebanon) hingga ke Bethlehem (harafiah: Rumah Roti;
kota ini ada di sebelah selatan Yerusalem, di Palestina). Jarak antara Nazareth
dan Bethlehem kurang lebih 150 km, dan mereka menempuhnya dengan mengendarai
seekor keledai. Di Bethlehem itulah, di sebuah kandang domba, Maria melahirkan
Yesus.
Sementara dalam tradisi Islam, Maryam digambarkan hamil secara mukjizat, tanpa campur tangan lelaki. Maryam dihormati di tengah komunitas Muslim; namanya disebut di dalam Al-Quran, dan bahkan menjadi nama surah. “Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, 'Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam.'”— Ali 'Imran (3): 42. Malaikat Jibril (Gabriel) mewartakan kabar bahwa Maryam akan mengandung walau tanpa suami. Maryam menerima kelahiran itu karena disebutkan bahwa Maryam adalah termasuk min al-qanitin (taat secara spiritual dan agama, hanya taat kepada Allah—bdk. Al-Tahrim 12, An-Nisa 34, dan Al Baqarah 116). Kemudian, ketika Maryam merasakan sakit melahirkan, dia bersandar pada pohon kurma. Allah memperhatikan Maryam dengan mengalirkan anak sungai di bawahnya dan memerintahkannya untuk menggoyang-goyangkan pohon kurma itu hingga jatuh buah kurma baginya. Maryam pun melahirkan Isa di sana.
Baik di dalam tradisi Kristiani (khususnya Katolik dan Orthodox) maupun Islam, Maria diberi tempat yang luhur, melebihi perempuan manapun. Khususnya dalam tradisi Katolik dan Orthodox, Maria diberi gelar Ratu Surga (Regina Caeli). Ikonografi, lukisan, dan patung Maria sebagai Ratu Surga ini senantiasa menggambarkan Maria yang gilang-gemilang, yang bahkan telah berhasil mengalahkan kejahatan. Kakinya sering kali digambarkan tengah menginjak ular (yang dulu menggoda Adam dan Hawa untuk memakan buah terlarang ketika di Firdaus). Busananya sering kali digambarkan berwarna biru: cerah dan mewah. Sering pula Maria digambarkan bertabur bintang, bahkan konstelasi bintang menjadi corak pakaiannya (bdk. lukisan Maria Guadalupe, yang konon dilukis di surga secara mukjizat). Jikapun digambarkan sebagai ibu, Maria digambarkan seperti ibu permaisuri yang tengah menggendong bayi Yesus, sang Raja Semesta Alam—yang memegang dunia dalam genggaman tangan kiri-Nya.
![]() |
| Patung Maria Gravida, milik koleksi pribadi. |
Namun,
jarang sekali Maria digambarkan sebagai seorang perempuan yang tengah hamil
tua, lengkap dengan segala penderitaan-tapi penuh harap, sakit-namun mendamba,
yang pada umumnya dirasakan oleh perempuan-perempuan hamil. Perasaan paradoks
derita—penuh harap dan sakit—mendamba itu pun muncul dalam kisah yang
diceritakan oleh 3 orang narasumber (Mbak Nabila, Bu Nudya, dan Mbak Antonietta
Galuh) dan sharing autoetnografi oleh Bu Mayang (anggota peneliti). Kami
mencoba membayangkan manusia Maria yang tengah hamil tua itu; pasti secara manusiawi pula sebagai
perempuan merasakan hal-hal tersebut. Apalagi, secara adikodrati, ada kesadaran
dalam dirinya bahwa Anak yang tengah dikandungnya ini adalah sangat spesial,
yang ditakdirkan akan membawa perubahan besar dalam sejarah umat manusia!
Secara
historis, usia Maria ketika hamil Yesus adalah 14 tahun. Ya, memang kalau
dilihat dengan kaca mata sekarang, dia seusia anak SMP kelas IX atau SMA kelas
X. Namun, justru kalau kita lihat dengan kaca mata sekarang, bahwa Maria hamil
ketika dia masih remaja, kita bisa membayangkan betapa semakin gawat dan
beresikonya kehamilan itu! Tubuh perawannya berkembang dan berubah. Payudaranya
mengembang, siap untuk menyusui bayinya kelak. Perutnya semakin membesar
seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Tubuhnya berubah dan takkan pernah
kembali sama lagi. Jelas, dia mengalami gelora perasaan yang paradoks, sama
seperti yang dialami perempuan hamil pada umumnya, setidaknya seperti yang
dialami para perempuan
narasumber tersebut. Terjadi perubahan
kebertubuhan dari tubuh seorang perawan (bahkan remaja!) menjadi tubuh ibu—yang
siap memberi kehidupan baru. Apa yang akan terjadi kelak pasca-melahirkan, apa
yang terjadi kemarin sebelum kehamilan, semuanya menjadi senyap sejenak
berhadapan dengan perasaan paradoks tatkala hamil tua itu.
Memang
secara Adikodrati Maria menjalani kehamilannya itu dengan penuh iman, dengan
penuh “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.” Namun, dari sisi manusiawi
kondisi mental dan psikis Maria tentu saja tidak mudah. Justru yang Ilahi itu
mendapatkan maknanya dari penghayatan yang sungguh manusiawi, yang spiritual
dan suci menjadi penuh makna dalam pengalaman yang sangat profan, yang
transenden menjadi dapat dipahami dalam pengalaman yang imanen. Dari sana, kita
tidak bisa tidak membayangkan kecamuk perasaan Maria tatkala hamil tua!
Apalagi, mengetahui bahwa Yosef, tunangannya, yang usianya jauh lebih tua
daripada Maria (dalam banyak tradisi Orthodox, Yosef
digambarkan sebagai lelaki tua), berencana membatalkan perkawinan mereka, walau
pada akhirnya Yosef menunjukkan kesetiaannya dengan menikahi dan menemani Maria
hingga melahirkan di Bethlehem, bahkan melarikan diri dari kejaran Raja Herodes
(yang tengah membunuh semua bayi yang baru lahir) hingga ke negeri Mesir,
hingga pada akhirnya mereka bertiga dapat kembali hidup sederhana di Nazareth.
Maria seutuhnya manusia, perempuan yang tengah mengalami perubahan radikal pada tubuhnya, yang tengah hamil tua, mendekati hari-hari melahirkan, yang mengalami perasaan paradoks—derita tapi penuh harap, dan sakit tapi sungguh mendamba, serta manusiawi tapi sekaligus Adikodrati, pun profan tapi sekaligus sakral.
Malang, 10 Desember 2025
Padmo Adi
Mayang Anggrian
A. Syariffudin Rohman


Comments
Post a Comment