AWAL DARI KISAH YANG LAIN

AWAL DARI KISAH YANG LAIN Desain cover oleh Daniela Triani   Kata Pengantar Kisah-kisah Problematika Gender yang Manga-esque   Buku ini adalah ruang-waktu yang kami ciptakan supaya teman-teman mahasiswa Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, yang terlibat di dalamnya memiliki kesempatan untuk berkarya mengartikulasikan pengalaman dan pemahaman mereka akan gender dan problematika yang ada tentang gender tersebut. Tentu teori-teori gender itu mereka dapatkan di dalam kelas. Dalam kesempatan ini, diharapkan para mahasiswa mampu mem- break down dan mengartikulasikan teori tersebut melalui sebuah kisah (fiksi) yang lebih dekat dengan mereka. Tentu saja pembahasan mengenai gender ini selalu menarik dan selalu terbuka akan berbagai macam kemungkinan. Kisah tentang gender yang dihadirkan oleh teman-teman mahasiswa Sastra Jepang ini sungguh menarik; ada kisah yang menelusuri problematika gender itu di ranah yang paling privat—ketika seseorang mempertanyakan identitas gende

SOSIALISME ADALAH KONSEKUENSI LOGIS EKSISTENSIALISME

SOSIALISME ADALAH KONSEKUENSI LOGIS EKSISTENSIALISME

Abstrak
Manusia pasti mati. Sebelum mati manusia hidup. Kematian adalah kristalisasi kehidupan. Maka, setiap manusia memiliki tujuan dalam hidupnya, kebahagiaan. Kebahagiaan ini dapat diartikan bermacam-macam sesuai dengan pemahaman dan perjuangan masing-masing individu. Demi menggapainya, manusia memaknai hidupnya dengan segenap kekuatannya, bahkan menghalalkan segala cara. Dinamika ini menjadi inti kehidupan. Karena diartikan bermacam-macam, tidak mustahil seorang individu hanya mengartikan kebahagiaan itu dalam ranah yang lebih sempit (kekuasaan misalnya) sehingga seorang individu tega menindas individu lainnya. Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi liyan. Ingin menggapai kebahagiaan maksudnya, tapi justru menindas kemanusiaan di mana tertanam benih-benih kebahagiaan itu sendiri. Lalu, bagaimana seorang individu berotonomi dalam korelasinya dengan kumpulan individu, bahwa pada hakikatnya homo homini socius, manusia adalah rekan bagi liyan? Manusia dalam kesatuan badan-jiwa sebagai pribadi yang otonom sekaligus bersosial dalam usaha menggapai kebahagiaan.

Otonomi Individu
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bebas, kata Sartre, dengan pilihan bebas ini manusia mewujudkan dirinya dalam merealisasikan suatu jenis kemanusiaan tertentu. Dinamika ini adalah dinamika penggapaian kebahagiaan. Pada saat manusia mengaktualisasikan diri, segenap potensi yang ada terungkapkan. Hal itu ada dalam kesatuan badan-jiwa; jiwa mempribadi dan badan membudayakan kepribadian itu. Ketika seorang individu mencapai aktualisasi diri, hidupnya akan mencapai kepenuhan dan dia mencecap kebahagiaan itu. Dan, pengungkapan potensi ini terjadi lewat pilihan-pilihan yang dibuat.

Seorang individu menyadari dirinya ada. Dia adalah tuan atas nasibnya sendiri. Dia adalah seorang yang bebas dan otonom. Inilah kegelisahan individu, kata Sartre, bahwa dia mengetahui dia hidup. Apa hidup jika akhirnya mati? Maka, manusia mencari makna. Dalam setiap pilihan hidupnya yang bebas dan mandiri, individu selain menstrukturasi diri juga sekaligus memberi makna. Hidup itu adalah memilih, bertanggung jawab atas pilihan itu dengan menanggung segala konsekuensi, dan jangan sesali. Dalam memilih, seorang individu memiliki kedaulatan yang absolut. Orang lain boleh memberi saran, tapi keputusan terakhir selalu ada di tangan sang individu. Ketika sang individu memilih tidak sesuai dengan kemanusiaan yang tertanam dalam dirinya, dia akan mengalami alienasi, jauh dari gambaran diri sejatinya, bahkan jauh dari gambaran kemanusiaan itu sendiri.

Korelasi Antarindividu
Aku akan menjadi aku yang sejati berkat adanya kamu, kata Feuerbach, hakikat manusia itu terdapat hanya di dalam kebersamaan, dalam persatuan manusia dengan manusia lain. Setiap individu selalu bereksistensi di dalam koeksistensi dengan individu lainnya. Ketika aku menyadari bahwa aku ada, bahwa diriku berharga, dan bahwa aku adalah subyek yang otonom, aku pun menyadari bahwa liyan ada, bahwa liyan juga berharga, dan bahwa liyan adalah pula subyek yang otonom sebab mustahil aku menyadari keadaan ini tanpa kehadiran liyan. Kesadaran ini akan membuat aku tidak hanya bertanggung jawab atas diriku sendiri, tetapi juga bertanggung jawab atas liyan. Sebab tanpa ‘kamu’, takkan ada ‘aku’.

Adalah sia-sia ketika sang individu berhasil menggapai kebahagiaan (sesuai dengan apa yang dia terjemahkan) tanpa ada seorang pun dengannya dia berbagi. Dia akan mengalami suatu involusi. Pada hakikatnya manusia adalah homo homini socius. Dalam kebersamaan manusia dapat saling berbagi kehidupan, berbagi nilai-nilai yang diperjuangkan, berbagi kebahagiaan, berbagi perjuangan itu sendiri, saling mereproduksi (baik biologis maupun nilai), saling mengoreksi. Dengan demikian kehidupan akan berjalan dengan dinamis.

Namun, karena tidak pernah merasakan cinta seorang individu dapat menjadi orang yang egois. Egois tidak sama dengan mencintai diri sendiri, kata Louis Leahy, orang yang egois justru orang yang mencintai diri secara buruk. Karena tidak mampu mencintai diri sendiri, dia takkan mampu mencintai liyan dengannya dia berkorelasi. Cinta adalah inti dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Ketidakmampuan untuk mencintai (dan dicintai) ini akan membuat sang individu semakin asing dari kemanusiaannya sendiri. Orang yang terasing dari kemanusiaannya sendiri ini dapat menerjemahkan kebahagiaan dalam ranah yang lebih sempit (kekuasaan, kepemilikan, ketenaran). Dia ingin menelan kebahagiaan itu sendiri. Ketiadaan cinta membuat hatinya hampa. Ketika dia menelan semuanya itu, semuanya itu akan lenyap pula dengan segera sehingga dia melakukan segala cara untuk dapat memenuhi kehampaan hatinya dengan kebahagiaan itu. Orientasinya adalah diri sendiri sehingga tidak masalah jika dia harus menindas, mengeksploitasi, menginjak-injak liyan (bahkan dunia seisinya). Homo homini lupus. Contoh-contoh nyata dapat kita lihat dalam wajah keseharian bangsa kita.

Kesimpulan
Ketika sang individu menjadi homo homini lupus, sebenarnya dia tidak mengalami aktualisasi diri, kemanusiaannya yang tertanam dalam kediriannya tidak termanifestasikan, dia tidak bereksistensi sesuai esensi. Dan, ketika sang individu menjadi homo homini socius, dia telah dan sedang mengaktualisasi diri, telah dan sedang memanifestasikan kemanusiaannya, dan dia sedang bereksistensi sesuai esensi. Maka, sosialisme (atau dengan nama apapun kita menamai koeksistensi ini) adalah konsekuensi logis eksistensialisme (atau dengan nama apapun kita menamai eksistensi ini). Sedikit catatan, sosialisme tidak sama dengan komunisme. Komunisme, menurut Y. B. Mangunwijaya, pada hakikatnya sama dengan kapitalisme, kanan, yaitu eksploitasi orang banyak oleh sekelompok kecil orang. Sedangkan sosialisme, menurut Sutan Sjahrir, adalah emansipasi rakyat, atau dapat diterjemahkan emansipasi masing-masing individu untuk memanifestasikan kemanusiaannya.

Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments

Post a Comment