KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

EKSISTENSIALISME SARTREAN

EKSISTENSIALISME SARTREAN
-Padmo Adi-




Eksistensialisme
Eksistensialisme menjadi filsafat yang populer di Prancis, bahkan akhirnya di seluruh dunia. Søren Kierkegaard diakui sebagai Bapak Eksistensialisme. Namun, sebenarnya Sartrelah yang memopulerkan istilah “eksistensialisme”. Eksistensialisme memiliki banyak tokoh antara lain: Søren Kierkegaard tentunya, Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Albert Camus, Martin Heidegger, ada yang mengatakan Friedrich Nietzsche juga, Franz Kafka, Miguel de Unamuno, Fydor Dostoievsky, dan tentu Jean-Paul Sartre. Masing-masing tokoh di atas sebenarnya memiliki ide mereka sendiri-sendiri tentang eksistensialisme, maka mustahil merumuskan suatu gambaran umum tentang eksistensialisme yang mencakup seluruh tokoh di atas. Memang dalam beberapa kasus tokoh yang satu memiliki pangaruh pada tokoh yang lain, tetapi akan menjadi lebih jelas jika menelaah eksistensialisme menurut pandangan masing-masing tokoh. Namun, secara umum empat masalah filosofis eksistensialisme adalah eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Eksistensialisme menurut Sartre memiliki dua cabang yaitu Eksistensialisme Kristiani dan Eksistensialisme Atheis. Sartre menyatakan diri sebagai seorang eksistensialis atheis. Dalam bab ini kita akan membahas Eksistensialisme Sartrean.

L’etre-en-soi dan L’etre-pour-soi
Eksistensialisme adalah filsafat yang menelaah tentang cara ada pengada-pengada, khususnya manusia. Menurut Sartre cara ada itu ada dua yaitu l’etre-en-soi (ada-dalam-diri) dan l’etre-pour-soi (berada-untuk-diri). L’etre-en-soi adalah ada yang an sich, ada yang bulat, padat, beku, dan tertutup. Entre-en-soi menaati prinsip it is what it is. Perubahan yang ada pada benda yang ada-dalam-diri itu disebabkan oleh sebab-sebab yang telah ditentukan oleh adanya, maka benda etre-en-soi terdeterminasi, tidak bebas, dan perubahannya memuakkan (nauseant). Benda yang berada-dalam-diri ada di sana tanpa alasan apa pun, tanpa alasan yang kita berikan padanya.


Sedangkan l’etre-pour-soi (mengada-untuk-diri) adalah cara ada yang sadar. Satu-satunya makhluk yang mengada secara sadar adalah manusia. Etre-pour-soi tidak memiliki prinsip identitas karena adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena kesadarannya. Maka, manusia bertanggung jawab atas keberadaanya; bahwa aku adalah frater dan bukan bruder, bahwa aku imam tarekat dan bukan imam diosesan, bahwa aku awam dan bukan klerus, bahwa aku dosen dan bukan mahasiswa, bahwa aku mahasiswa dan bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia bereksistensi.

Kesadaran Prareflektif dan Kesadaran Reflektif
Kesadaran manusia menurut Sartre dibagi menjadi kesadaran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian. Aku bangun pagi, mandi pagi, misa harian, laudes, sarapan, kuliah, on-line facebook, hora media, makan siang, olah raga, mandi sore, vesperae, makan malam, belajar, completorium, dll. Aku mengalami itu semua tanpa kesadaran akan aku mengalami itu. Yang ada dalam obyek kesadaran misalnya adalah jam weker ketika aku bangun, dinginnya air ketika mandi pagi, hosti dan anggur ketika dikonsekrasi, mazmur ketika mendaraskan brevir, nasi dan lauk ketika sarapan, dosen yang menjelaskan di depan kelas ketika kuliah, friends on facebook ketika on-line, bola ketika berolah raga, buku diktat ketika belajar, dll. Menurut Sartre tidak ada “aku” dalam kesadaran prareflektif.


Namun, ketika di malam hari aku mengambil waktu tenang sejenak untuk menulis diary, kemudian mengambil jarak, dan memandang segenap kegiatanku selama sehari itu, memikirkan saat aku hampir terlambat bangun pagi, memikirkan aku kedinginan saat mandi pagi, memikirkan bahwa aku sempat mengantuk waktu misa harian, memikirkan saat aku fals mendaraskan mazmur brevir, memikirkan betapa aku menikmati makananku dan segelas kopi hangat, memikirkan saat aku dan teman-teman tertawa mendengar lelucon dari dosen, memikirkan betapa aku mengagumi kecantikan friends on facebook-ku, memikirkan betapa sakit kakiku saat tertendang kaki lawan, memikirkan saat aku tengah asyik menyelami pemikiran-pemikiran filsafat, pada saat itulah aku mengalami kesadaran reflektif. Pemikiran akan diri sendiri inilah yang Sartre sebut kesadaran reflektif. Selama aku berkonsentrasi dalam kesadaran reflektif, aku menemukan ‘diri’ di dalam kesadaran dan hanya di sini. Ketika konsentrasiku pecah, aku kembali kepada kesadaran prareflektif dan aku tak lagi sadar akan ‘diri’-ku.

Le Neant (Ketiadaan) dan Kebebasan
Kesadaran ini membuat aku mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang bisa aku lakukan. Misalnya, ketika aku sadar bahwa aku adalah seorang frater, aku dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang bisa aku lakukan, aku bisa saja berkelakuan baik, menaati jadwal harian, belajar dengan baik sehingga dapat lulus ujian BA serta ujian ad audiendas dan kemudian layak ditahbiskan, lalu ditempatkan pada Paroki Sumber, sebagai pastor mendampingi para petani, misa setiap pagi, dsb. Atau, bisa saja aku membayangkan bahwa aku jatuh cinta dengan salah satu friend on facebook, kopi darat, PDKT, merasa menemukan panggilan yang lain, lalu melepas jubah dan keluar seminari, lulus S1, susah payah mencari pekerjaan, menikah, dsb. Aku kemudian ketakutan dengan apa yang bisa kulakukan itu, aku ketakutan dengan apa yang mungkin terjadi padaku, aku ketakutan kalau-kalau aku melakukan apa yang salah. Menurut Sartre kesadaran adalah “pusaran kemungkinan”. Hal ini hanya menjelaskan bahwa kita benar-benar bebas, kita dikutuk untuk bebas. “Pusaran kemungkinan ini” adalah “kebebasan yang sangat besar” dan sungguh menakutkanku.


Namun, dalam kesadaran dan kebebasan itu aku memilih suatu keputusan. Bahkan, dengan tidak memilih aku telah memilih. Hidupku terdiri dari rentetan-rentetan pilihan yang telah kuputuskan. Pilihan ini mengantarkanku dari masa lalu ke masa kini. Antara masa lalu dan masa kini terdapat jarak. Jarak ini oleh Sartre disebut le neant (ketiadaan). Dengan le neant, Sartre menolak determinisme universal karena tiada lagi kontinuitas antara masa lalu dengan masa kini. Dalam determinisme kebebasan itu mustahil, sedangkan Sartre menekankan kebebasan. Memang ada “faktisitas” pada masa lalu, ada fakta-fakta pada masa lalu yang tak dapat diubah. Bahwa aku dilahirkan sebagai orang Indonesia dan bukan orang Amerika adalah sebuah fakta pada masa laluku. Aku tak dapat berbuat apa-apa untuk mengubah fakta historis itu. Suatu beban sejarah. Namun, tidak ada masa laluku yang dapat membuatku terpaksa memutuskan ini atau itu. Tiada tindakan manusia yang merupakan akibat tak terelakkan dari masa lalu.


Kesadaran selalu membuatku menarik jarak. Dalam kesadaran refleksif aku menarik jarak dengan masa laluku. Aku (di masa lalu) adalah obyek bagi aku (di masa kini yang tengah merefleksikan aku di masa lalu). Karena subyek yang menyadari berbeda dengan obyek yang disadari, aku yang sekarang berbeda dengan aku di masa lalu. Kesadaran memisahkan apa yang semula utuh, membuat apa yang semula padat menjadi tidak padat. Maka, kesadaran meniadakan (neantiser).


Contoh: Memang benar bahwa aku dilahirkan dalam keluarga Katolik dan benar bahwa aku dibaptis sejak bayi. Dua hal itu adalah faktisitas, fakta pada masa laluku yang tak dapat kuubah sama sekali. Namun, dengan kenyataan itu aku tidak serta-merta mengimani Allah Tritunggal dan kemudian masuk seminari. Semua faktisitas pada masa laluku itu adalah tanda. Akulah yang menafsirkan tanda itu, akulah yang memberikan makna dan nilai pada tanda itu. Aku bisa saja memaknai bahwa ajaran Katolik tentang Allah Tritunggal itu isapan jempol belaka, lalu aku meninggalkan imanku dan menjadi imam bagiku tidak ada gunanya. Namun, aku pun juga bisa menentukan makna bahwa ajaran Katolik tentang Allah Tritunggal itu benar lalu aku mengimani-Nya dan bahwa menjadi imam itu berharga.

Tanggung Jawab
Eksistensi mendahului esensi. Tidak ada hakikat pada manusia yang menjadikan dia serta-merta adalah manusia. Manusia bukanlah pengada yang etre-en-soi, melainkan pengada yang etre-pour-soi. Sebagai pengada etre-pour-soi, manusia tidak pernah jadi (be/sein) sebagaimana meja yang adalah meja (etre-en-soi), melainkan menjadi (being/werden). Manusia menjadi manusia sejauh dia menciptakan dirinya. Manusia selalu menciptakan dirinya. Manusia menciptakan diri lewat setiap keputusan yang dia pilih, lewat setiap tindakan-tindakan bebasnya. Maka, manusia bebas menjadi apa yang dia kehendaki. Manusia bukan “apa-apa” sampai dia menjadikan dirinya “apa-apa”.


Pengada yang etre-en-soi ada begitu saja, tidak memiliki makna dan nilai. Manusia dengan kesadaran dan kebebasannya dapat memberikan makna dan nilai pada dirinya. Nilai itu diberikan manusia pada saat dia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan atau pada saat dia memilih. Pilihan ini mengandaikan tanggung jawab. Tanggung jawab ini tidak hanya tanggung jawab atas diri kita sendiri atau hanya tanggung jawab atas pilihan kita sendiri, tetapi adalah tanggung jawab atas seluruh umat manusia di dunia karena setiap pilihan yang kita buat memiliki implikasi terhadap orang lain juga, setidaknya orang-orang di sekitar kita.


“Apabila kita mengatakan manusia memilih dirinya sendiri, ini tidak berarti bahwa setiap orang dari antara kita harus memilih dirinya sendiri, tetapi juga bahwa dalam memilih untuk diri sendiri, manusia memilih untuk semua. Karena, efek dari tindakan-tindakan yang ia pilih untuk menciptakan dirinya,” kata Sartre,”Memilih keputusan ini atau itu pada saat yang sama adalah penegasan nilai yang kita pilih, karena kita tidak pernah memilih pilihan yang paling buruk. Apa yang kita pilih selalu pilihan yang paling baik; dan tidak ada satu pilihan pun yang lebih baik bagi kita kecuali pilihan-pilihan yang lebih baik bagi sesama manusia. Labih jauh lagi, jika eksistensi mendahului esensi dan kita ingin mengada dan pada saat yang sama mewujudkan citra kita, citra tersebut valid untuk semua manusia dan semua zaman di mana kita hidup.”


Tanggung jawabku menyangkut semua umat manusia. Apa yang kunyatakan baik bagiku secara logis harus kukatakan baik bagi semua orang. Hal ini mirip dengan “imperatif kategoris” Immanuel Kant. Kant berkata,”Bertindaklah sehingga maksim dari tindakanmu diterima sebagai hukum universal.” Namun, ketika pernyataan ini ditarik sampai ke pada batas oleh Sartre, bahwa ketika aku menghendaki kebebasanku maka aku pun menghendaki kebebasan orang lain, dia mendapati situasi konflik yang tak terpecahkan. Kebebasanmu membatasi kebebasanku.

Hell is Others
Kebebasan orang lain tidak meneguhkan kebebasanku. Contoh: aku tengah duduk-duduk di taman menikmati suasana senja dengan bebas. Pohon-pohon, rerumputan, bebatuan, kursi-kursi, lampu-lampu, suasana senja di taman adalah obyek bagiku. Aku mengada bebas pada duniaku itu. Tiba-tiba datang orang lain mengamatiku. Aku menjadi obyek baginya. Serta-merta duniaku tersedot dunianya. Dia merenggut kebebasanku. Namun, dia tak sepenuhnya mengobyekkanku. Ketika aku menatap balik dia, dia dan segenap dunianya menjadi obyek bagiku. Aku (dan mungkin juga orang lain itu) mungkin merasa malu. Dalam rasa malu aku mengetahui sebuah aspek dari keberadaanku. Aku mendapati diriku sebagai obyek yang diciptakan oleh tatapan orang lain. Sartre menyebut ini “berada-bagi-orang-lain”. Aku dipaksa untuk memberikan penilaian atas diriku sendiri sebagai suatu obyek. Ketika aku menjadi obyek tatapan orang, aku bukan lagi etre-pour-soi, melainkan etre-en-soi. Aku dipaksa bertanggung jawab atas diriku yang sudah dinyatakan padaku oleh tatapan orang lain.

Nasihat Sartre
Dalam hidup kita menemui banyak sekali pilihan. Terkadang pilihan itu sebegitu dilematis sehingga kita mengalami kesulitan untuk membuat keputusan. Seperti kisah nyata seorang pemuda, murid Sartre, yang dicontohkannya dalam Eksistensialisme dan Humansime. Lalu, apa yang dinasihatkan Sartre kepada pemuda tadi? “Kamu bebas, memiliki kebebasan, maka tentukanlah pilihanmu, temukanlah pilihanmu sendiri,” kata Sartre,”Pilihlah, yaitu, ciptakan!” Dalam setiap pilihan akan ada penderitaan, tetapi juga ada penciptaan dunia!


Bibliografi
Hadiwijono, Harun, 2010, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius

Martin, Vincent, 2003, Filsafat Eksistensialisme, Kierkegaard, Sartre, Camus, terj. Taufiqurrohman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Palmer, Donald D., 2007, Sartre untuk Pemula, terj. B. Dwianta Edi Prakosa dan Stepanus Wakidi, Yogyakarta: Kanisius

Sartre, Jean-Paul, 2002, Eksistensialisme dan Humanisme, terj. Yudhi Murtanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Comments