MUG YANG KAUDESAIN DENGAN GAMBAR WAJAHKU

MUG YANG KAUDESAIN DENGAN GAMBAR WAJAHKU * kepada @miki_osanai ( 小山内 美喜 )     Lihatlah, Miki... mug yang kaudesain dengan gambar wajahku telah berisi burakku kohi ! Hidup nambah sehari   Apa yang buat orang terus bertahan tetap hidup walau tanpa makna dan nampak sia-sia? Lihat, Shinigami di malam hari terlihat lebih memesona   Bagaimana aku bisa mengajarkan cara berkata ya pada hidup pada semesta raya dengan segenap gairah, tawa, dan air mata, yang disuling jadi aforisma?   Hidup manusia palingan cuma delapan puluh keliling bumi putari matahari selebihnya sunyi hingga tinggal jagad raya menguap sendiri atau koyak-moyak atau balik mampat untuk kemudian mendentum lagi   Kita cukup beruntung boleh mengada pada ruang-waktu lalu berpuisi ada yang menyanyi ada yang menari ada pula melukis sepi tapi jangan mati jangan dulu mati sebelum delapan puluh kali bumi kelilingi matahari atau kala sel-sel

METAFISIKA AL-FARABI

METAFISIKA AL-FARABI
-Padmo Adi-




Pendahuluan
Tidak seperti Al-Kindi yang hanya mengulang filsafat Yunani dalam bahasa Arab, Al-Farabi memiliki kekhasan dan warna tersendiri pada filsafatnya. Dia dinyatakan sebagai sebenar-benarnya filsuf Islam, bahkan dialah yang dikenal sebagai peletak fondasi filsafat Islam. Dia dikenal sebagai al-Mou’allim al-Thani, Sang Guru Kedua. Banyak hal menjadi pokok perenungan filosofis Al-Farabi, salah satunya adalah metafisika. Dalam pembahasan mengenai Al-Farabi dalam kuliah kelompok hanya memberikan ulasan selayang pandang secara garis besar dan kurang mendalam. Maka, saya tertarik untuk mendalami salah satu pokok pemikiran Al-Farabi, Metafisika.

Biografi
Abu Nasr Al-Farabi atau Alpharabius atau lebih dikenal sebagai Abu Nashr atau Abunaser lahir di Wasij, Farab (Transoxania), Turki, 872 M/259 H. Ayahnya, Muhammad Auzlagh, adalah seorang panglima perang Persia. Ibunya orang Turki. Al-Farabi belajar tata bahasa, logika, filsafat, musik, matematika, dan ilmu pengetahuan di Baghdad. Dia menguasai Bahasa Arab, Turki, Kurdi, dan Persia, bahkan Bahasa Yunani dan Siria. Maka, tak heran dia mampu menyelami jiwa Plato dan Aristoteles. Dia belajar logika kepada Abu Basyr Matta bin Yunus di Baghdad. Al-Farabi sangat mahir logika, bahkan lebih mahir dari pada gurunya sendiri. Julukannya al-Mou’allim al-Thani (Guru Kedua); Aristoteles adalah al-Mou’allim al-Awwal (Guru Pertama). Dia lalu belajar kepada seorang Nestorian, Yuhanna bin Haylan, di Harran. Pada tahun 943 M/330 H dia pindah ke Aleppo (Halap).

Al-Farabi adalah seorang filsuf humanis, bukan naturalis; pemikiran-pemikirannya lebih kepada pemikiran tentang manusia dari pada tentang semesta raya. Dia menguasai pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, dan Neo-Platonis. Pemikiran-pemikiran itu dia harmonikan dengan alam pikir Islam (Syi’ah Imamiah) dan Al-Quran. Bahkan, dalam sebuah literatur dikatakan bahwa Al-Farabi memandang Aristoteles dan Plotinos sebagai nabi-nabi yang tidak ditulis dalam Al-Quran sementara ada beberapa orang, termasuk orang zaman post-modern, memandang filsafat menyesatkan.

Masih di usia muda Al-Farabi, yang adalah seorang Islam Syiah Imamiah, memiliki kehidupan spiritual dan dia mempraktikkan sufisme. Ia adalah ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan sekaligus komponis. Musiknya masih dapat didengarkan dalam musik sufi India. Maulawiyah dari Anatolia masih memainkan komposisinya sampai sekarang. Pengetahuan estetika Al-Farabi berjalan seiring dengan pengetahuan logika.

Dia hidup di tengah pergolakan sosial-politik Islam. Meski menulis tentang dan mewariskan karya monumental pada bidang politik, Al-Farabi menjauhi dunia itu. Dia lebih membaktikan diri pada kontemplasi dan renungan filosofis. Dia adalah ahli metafisika Islam yang pertama terkemuka.
Di Aleppo (Halab) dia diangkat oleh Gubernur Aleppo, Saifuddaulah Al-Hamdani, menjadi ulama istana. Namun, kota favoritnya adalah Damaskus (Damsyik). Setelah diajak Sang Gubernur merebut kota itu, Al-Farabi menetap di sana. Dia menghabiskan hari-harinya di sebuah kebun di pinggir kota untuk merenungkan perenungan-perenungan filosofis. Pemikirannya mempengaruhi pemikiran filsuf-filsuf Islam sesudah dia seperti Ibn Sinna dan Ibn Rusyd. Al-Farabi dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, Masysyai (Peripaterik) filsuf-keilmuan. Pada tahun 950 M dia meninggal pada usia 80 tahun.

Karya-karya Al-Farabi
Karya Al-Farabi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu karya yang membahas masalah logika dan karya yang membahas masalah lain. Al-Farabi berpendapat bahwa filsafat (penggunaan akal) ada lebih dulu dari pada agama. Bangsa Babilonia dan Mesir kuno, jauh sebelum nabi Ibrahim (Abraham) dan Musa mewahyukan kebenaran, telah menggunakan akal-budi mereka untuk menyingkapkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat (akal-budi) dan kebenaran agama (wahyu) bagi Al-Farabi pada hakikatnya sama dan satu. Maka, dia berusaha mengharmonikan filsafat dan agama.

Karya-karya Al-Farabi antara lain adalah sebagai berikut:
1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
2. Ihsha’ al-Ulum
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat

Metafisika Al-Farabi
Sejak kuno para filsuf mencari hakikat kebenaran (arkhe). Thales mengatakan bahwa arkhe (prinsip dasariah) adalah air. Anaximenes mengatakan udara. Anaximandros mengatakan arkhe adalah to apeiron (yang tak terbatas); to apeiron bersifat ilahi, tidak dapat diamati panca indera, tak terbatas, tak bergerak, tak terselami, tak tercipta, dan merupakan keadilan total yang menyatukan dan mengarahkan segala sesuatu. Pembicaraan mengenai arkhe kemudian berkembang mengenai pembicaraan antara yang tetap dan yang berubah. Heraklitos menyatakan bahwa hakikat kenyataan adalah Yang Berubah. Parmenides membantahnya, hakikat kenyataan menurutnya adalah Yang Tetap. Plato menyintesiskan dua pendapat ini dengan membagi dua dunia: yang tetap (dunia idea) dan yang berubah (dunia nyata) dengan titik berat pada yang tetap (dunia idea). Aristoteles mengikuti Plato dengan membagi: yang tetap (forma) dan yang berubah (materia) dengan titik berat pada yang berubah; 12 kategori Aristoteles terdiri dari esensi (1 kategori) dan aksidensi (11 kategori).

Al-Farabi yang terpengaruh Aristoteles membedakan materia dan forma (bentuk). Materia adalah potentia, sedangkan forma adalah actus, misalnya kayu adalah materia, maka meja, kursi, lemari adalah forma. Apa yang dibahas Al-Farabi dalam metafisikanya sama dengan apa yang dibahas oleh filsuf-filsuf (Yunani) sebelum dia, bagaimana menjelaskan Yang Esa dan Yang Plural dan bagaimana hubungan antara Yang Esa dengan Yang Plural itu. Para filsuf Yunani seperti Plato menjawab itu dengan Ide Tertinggi, Aristoteles dengan Causa Prima, sedangkan Plotionos dengan To Hen (Yang Mahasatu). Al-Farabi mengambil ide-ide itu dan dengan mudah mengidentikkan dengan Allah meski Plato, Aristoteles, dan Plotinos tidak berpikir ke sana.

Perenungan dan sintesis filosofisnya akan hakikat kebenaran mengantar dia pada persoalan bagaimana eksistensi dan hakikat Tuhan dijelaskan. Namun, sebelum membicarakan Tuhan, dia terlebih dulu membagi wujud dalam dua bagian.

Wujud mumkin, wujud yang nyata karena ada yang lainnya (wajib-ul-wujud li ghairihi). Wujud mumkin adalah sesuatu yang mendapatkan adanya berkat ada yang lain. Contohnya adalah cahaya matahari. Cahaya tidak ada jika tidak ada matahari (atau benda berpijar lainnya). Cahaya sendiri menurut tabiatnya (hakikatnya) bisa merupakan wujud dan bisa bukan wujud. Karena matahari telah merupakan wujud, cahaya menjadi wujud yang nyata (wajib). Wujud mumkin tersebut menjadi dasar pemikiran adanya Causa Prima yang oleh Al-Farabi sangat mudah diidentikkan dengan Allah. Segala yang mumkin harus berakhir pada sesuatu yang pertama kali ada, yang ada pada dirinya sendiri. Sepanjang apapun rangkaian kausalitas wujud mumkin itu, wujud mumkin tetap membutuhkan wujud yang memberi ada kepadanya sebab wujud mumkin tidak dapat ada pada dirinya sendiri.

Wujud yang nyata dengan sendirinya (wajib-ul-wujud li dhatihi). Wajibul-wujud li dhatihi adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya (Ada yang pertama). Wujud yang ada pada dirinya sendiri. Jika wujud ini tidak ada, maka yang ada hanyalah kemuslihatan. Sebab, jika wujud ini tidak ada, yang lain pun tidak akan ada sama sekali. Wujud ini menjadi dasar bagi wujud-wujud mumkin. Wujud ini adalah Causa Prima, Sang Ada Yang Pertama. Al-Farabi dengan mudah menamainya Tuhan (Allah).
Menurut Al-Farabi Tuhan/Ada yang Pertama (Al-Awwal) adalah penyebab dari segala ada. Tuhan adalah sebab yang tidak disebabkan, bebas dari materia dan tanpa forma –karena forma hanya dapat ada dalam materia– dan Ada-Nya tidak memiliki tujuan atau akhir diluar Diri-Nya sendiri sebab Tuhan adalah sempurna dan mahaesa. Tuhan adalah Zat asali, tanpa permulaan, dan yang selalu ada. Karena Tuhan adalah tunggal, sifat Tuhan tidak berbeda dari Zat-Nya. Maka, Tuhan ada pada Diri-Nya sendiri. Karena tidak membutuhkan benda (selain Diri-Nya sendiri) untuk mengada, Tuhan adalah akal/fikiran/rasio murni (‘aql bi’l-fi’l).

Tuhan, tidak seperti wujud-wujud mumkin, tidak terdiri dari zat dan bentuk. Tuhan adalah substansi yang tiada bermula, asali, sudah ada dengan sendirinya, dan akan ada untuk selamanya. Esensi Tuhan begitu sederhana dan tak dapat dibagi. Substansi-Nya sendiri telah cukup menjadi sebab Ada-Nya yang kekal. Karena Tuhan adalah Causa Prima yang ada pada Diri-Nya sendiri, Tuhan mahasempurna. Maka, tiada yang menyamai kesempurnaan-Nya sebab jika ada-Nya ada pada sesuatu selain Tuhan, sesuatu itu adalah sekutu-Nya (partner – sharik) atau bahkan rival-Nya.

Tuhan itu mahaesa, maka Dia sama sekali tidak dapat diberikan definisi-definisi sebab hal itu dapat mereduksi keesaan-Nya. Definisi adalah penggambaran yang berarti pembatasan. Pembatasan berarti suatu penyusunan dengan memakai species dan differentia (an-nau wal-fasl) atau dengan hule dan forma yang hanya dapat diberikan kepada wujud mumkin, padahal semua itu mustahil bagi Tuhan. Jika Tuhan dapat dirumuskan atau didefinisikan sebagaimana makhluk, maka substansi Tuhan terbatas. Jika substansi Tuhan terbatas, Tuhan bukan lagi Yang Mahasempurna dan Yang Mahaesa.

Emanasi (al-faidl)
Al-Farabi mengatakan bahwa ada Hierarki wujud. Hierarki wujud itu adalah sebagai berikut:
• Allah Sang Causa Prima – rasio murni
• para malaikat dengan wujud yang imaterial
• benda-benada langit (celestial)
• benda-benda bumi (terestial)
Dengan hierarki tersebut Al-Farabi hendak melanjutkan Status Questionis metafisika para filsuf (Yunani Klasik) sebelumnya, bagaimana menjembatani Ada Yang Rohani (Intelligible) dengan ada-ada yang material, bagaimana Ada Yang Tunggal itu (dalam bahasa Plotinos To Hen) menjadi ada-ada yang plural, dan bagaimana Ada Yang Kekal (tak berubah) menjadi ada-ada yang temporal (berubah). Dia memakai teori emanasi Plotinos untuk menjawab hal tersebut. Namun, Al-Farabi menambah beberapa hal dalam teori tersebut sehingga teori emanasi Al-Farabi memiliki ciri khasnya sendiri dan pula uraian Al-Farabi lebih ilmiah.


Tuhan adalah Causa Prima dan Tuhan adalah rasio murni. Tuhan adalah esa, maka Tuhan hanya memerlukan Zat/Substansi-Nya sendiri untuk mengetahui Diri-Nya sendiri. Emanasi itu timbul karena pengetahuan Tuhan terhadap Zat/Substansi-Nya yang tunggal itu. Dasar emanasi tersebut adalah karena dalam pemikiran Tuhan (dan pemikiran akal-akal tersebut) terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan, seperti halnya manusia yang berpikir akan menciptakan sesuatu lalu tergerak untuk mewujudnyatakan idenya itu.
• Tuhan adalah Wujud I (wajib-ul wujud li dhatihi) dan dari Wujud I timbul Akal I (al-aql al-awwal).
• Akal I adalah Wujud II, darinya timbul akal II yang memantulkan falak aqsa, dari akal I timbul langit I
• Akal II adalah Wujud III, darinya timbul akal III yang memantulkan bintang tetap (al-kawatib at-tsabitah)
• Akal III adalah Wujud IV, darinya timbul akal IV dan memunculkan Planet Saturnus (Zuhl)
• Akal IV adalah Wujud V, darinya timbul akal V dan memunculkan Planet Yupiter (Mushtari)
• Akal V adalah Wujud VI, darinya timbul akal VI dan memunculkan Planet Mars (Marish)
• Akal VI adalah Wujud VII, darinya muncul akal VII dan memunculkan matahari (Shams)
• Akal VII adalah Wujud VIII, darinya muncul akal VIII dan memunculkan Planet Venus (Zuhrah)
• Akal VIII adalah Wujud IX, darinya muncul akal IX dan memunculkan Planet Merkurius (Utharid)
• Akal IX adalah Wujud X, darinya muncul akal X dan memunculkan Bulan (Qamar)
• Akal X memunculkan manusia, wujud yang mumkin.

Jumlah akal dibatasi sepuluh karena ada sembilan bintang. Diperlukan satu planet untuk masing-masing akal, kecuali akal pertama yang tak disertai suatu planet pun ketika keluar dari Tuhan. Al-Farabi berpendapat bahwa jumlah bintang ada sembilan. Menurut Aristoteles jumlah benda angkasa ada tujuh. Al-Farabi menambah lagi dua benda langit yaitu benda langit terjauh (al-falak al-aqsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawatib at-tsabitah) berdasarkan teori Ptolomaeus, seorang ahli astronomi dan ilmu bumi Mesir pada abad II Masehi. Sembilan dari sepuluh akal tersebut mengurus kesembilan benda langit, sedangkan akal X (akal Bulan/Qamar) mengawasi dan mengurangi kehidupan di bumi. Berbeda dari Tuhan yang hanya memiliki satu obyek pemikiran (Zat-Nya sendiri), akal-akal tersebut memiliki dua obyek pemikiran yaitu Tuhan (Zat wajib-ul wujud) dan diri akal-akal itu sendiri.

Dengan teori emanasi secara sistematis dan logis Al-Farabi menjelaskan bagaimana semesta ini (memperoleh) ada. Yang benar-benar ada adalah Tuhan (wajib-ul wujud li dhatihi), sedangkan yang lain mendapat ada dari Sang Ada. Uraian Al-Farabi ini berbeda dengan paham penciptaan tradisional, penciptaan melalui Kun Fayakun (Creatio ex Nihilo).

Penutup
Al-Farabi berkeyakinan bahwa kebenaran filsafat (akal budi) dan wahyu sebenarnya adalah sama. Maka, dia berusaha menyelaraskan keduanya. Dia membahasakan kebenaran wahyu secara rasional dan mengharmonikan kebenaran filsafat dengan wahyu (Al-Quran). Al-Farabi dengan teorinya telah berhasil mempertanggungjawabkan secara rasional ajaran Islam tentang keesaan Allah. Bahkan, dia telah berhasil menyelaraskan pemikiran-pemikiran para filsuf Yunani Klasik. Dia berhasil secara sistematis membangun tonggak-tonggak filsafat Islam. Emanasi Al-Farabi kemudian diteruskan oleh Ibn Sinna. Teori pengetahuan, filsafat manusia, serta filsafat kenabian diturunkan pula dari teori emanasi ini.

Namun, Al-Farabi tidak merasa puas. Untuk lebih menjembatani akal budi dan wahyu, dia memakai Tasawwuf/Sufisme. Bagi Al-Farabi, sebagaimana Plato, Kebenaran Utama tidak terperikan dan hanya dapat dijangkau dengan ketajaman batin dan dengan renungan seorang filsuf.


Pemikirannya tentang emanasi dapat menjadi pintu dialog bagi iman Kristiani untuk menjelaskan esensi Yesus (sebagai Firman Allah). Namun, perlu disadari sebelumnya bahwa pemikirannya tak lain adalah pembahasaan secara rasional aliran Islam Syi’ah Imamiah. Sehingga, teori emanasi Al-Farabi baru menjadi batu loncatan pertama dialog sebab aliran Islam mayoritas di Indonesia adalah Sunni.

Bibliografi
Al-Ahwani, Ahmad Fuad
1993 FILSAFAT ISLAM, Jakarta: Pustaka Firdaus

Fakhry, Majid
2002 AL-FARABI, Founder of Islamic Neoplatonism, His Life, Works and Influence, Oxford: Oneworld

Heru Prakosa, J. B. & J. Hadiwikarto
1997 FILSAFAT–TEOLOGI ISLAM, Yogyakarta: Fakultas Teologi USD

Nober, Antonius, dkk.
2009 FILSAFAT ISLAM – Al-Kindi, Al-Farabi, Abu Bkr Al-Razi, Yogyakarta: Fakultas Teologi USD

Nurisman
2004 DINIKA Vol. 3 Januari, Pemikiran Metafisika Al-Farabi, 83-100

Sudarsono
2004 FILSAFAT ISLAM, Jakarta: Rineka Cipta

Comments