KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Dua Puluh Satu

Dua Puluh Satu
*untuk para pemuda Sanata Dharma

Pada sebuah senja panghabisan
Seorang pemuda duduk di pinggir jalan
Matanya menerawang
Hatinya tidak tenang
Gemuruh gelombang hidup menggentarkannya
Kematian yang gelap dan pekat menghantuinya

Masa depan yang entah bagaimana
Masa lalu yang belum juga menjadi legenda
Tiba-tiba saja melankolia itu menyelimuti
Mendekap erat, mencekik setengah mati
“Mengapa aku ada
dan bukannya tiada?
Mengapa aku beranjak dewasa
dan bukannya tetap kanak-kanak saja?
Mengapa aku hidup
jika terbatas pada kematian?”

Di pinggir jalan itu diamatinya manusia-manusia
Mereka berlalu-lalang
Sadarkah akan hidupnya?
Sadarkah pula akan kematian yang bisa datang tiba-tiba?

Diliriknya jam tangan
delapan belas tiga puluh
Senja semakin keriput
Kurang dari enam jam lagi usianya bertambah
dua puluh satu
Usia yang menuntutnya untuk berdiri sendiri
Sebentar lagi dia bukan lagi seorang remaja
dua puluh satu


Senja penghabisan telah merayap menjadi malam
Sebuah malam terakhirnya sebagai seorang remaja
Esok dia akan terbangun sebagai pemuda dewasa
Yang sah di bawah hukum negara
Yang legal menenggak bir atau vodka
Yang bebas menikah dengan siapa saja yang disuka
Yang merdeka bahkan untuk mengubah haluan agama

Justru inilah ketakutan terbesarnya
Berenang di lautan kebebasan sejati
Sebagai seorang manusia
dewasa
dua puluh satu
Yang tidak lagi memerlukan restu orang tua
untuk melakukan semua yang disuka
hingga kematian mengunjunginya

Digigitnya roti yang dibeli sore tadi
Waktu semakin merayap
dua puluh dua lima belas
Semakin dekat saat itu
Dia tak ingin terlelap malam ini
untuk terbangun esok sebagai pemuda dewasa

“Bagaimana jika tepat esok hari orang tuaku tiada?
Bagaimana jika aku tak dapat menghidupi hidupku sendiri?
Bagaimana jika tiada yang sudi kuajak kawin?
Bagaimana jika tiada pekerjaan yang layak untukku?”

Dia harus berdiri sendiri
dua puluh satu
dua puluh satu
dua puluh satu
Di depan mata
dua puluh satu
dua puluh satu
dua puluh satu
Sebentar lagi


dua puluh tiga lima puluh delapan
Ditatapnya langit mendung malam itu
Berdiri dia tegap
Dikepalkannya tinju
Dipukulnya langit seraya berkata
“Hidup itu di sini dan kini!
Majulah, akan kusongsong kau, wahai hidup!
Akan kurayakan hidup,
selayaknya menyambut hari kematian!
Kukatakan ‘ya’ pada hidup
Peduli setan dengan surga
Peduli malaikat dengan neraka
Di sini dan kini... aku hidup
Kukatakan ‘ya’ pada kebebasanku
Kukatakan ‘ya’ pada gemuruh yang menggentarkan itu
Kukatakan ‘ya’ pada hidup dengan kematian yang mengekornya
Kusongsong, kusambut, dan kurayakan hidupku, segenap kebebasanku
Aku ada!”

tepi Jakal, 06 Desember 2011
Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments