Apa itu Gaudium et Spes?
Gaudium et Spes
lahir dari Schema XIII. Gaudium et Spes merupakan dokumen
konstitusi pastoral yang berisi refleksi atas hubungan Gereja dengan manusia,
masyarakat, dan situasi zaman modern. Dokumen ini terdiri dari dua bagian.
Bagian pertama merupakan bagian yang lebih pastoral. Gereja berusaha
menggembalakan umatnya di tengah zaman modern yang jauh lebih dinamis.
Sedangkan bagian kedua merupakan bagian yang berisi ajaran. Gereja bermaksud
menggunakan wewenang mengajarnya. Gereja ingin menyapa dunia, khususnya menyapa
individu-individu manusia modern yang mulai usang.[2]
Bagian
pertama dokumen ini membahas perspektif Gereja mengenai apa itu manusia dan
dunia yang di dalamnya manusia hidup dan berkembang serta hubungan antara
manusia dengan dunianya itu sendiri. Sedangkan bagian kedua membahas secara
cermat berbagai segi kehidupan serta masalah-masalah sosial masyarakat manusia
modern. Gaudium et Spes tidak hanya
ditujukan kepada anggota Gereja saja, tetapi justru kepada semua manusia yang
ada di muka bumi ini. Gereja merasa senasib dan sepenanggungan dengan
masyarakat modern. Gereja ingin berada di sini dan kini, membuka pintu dan
hadir kepada seluruh manusia modern. Gereja ingin solider dengan manusia
modern. Gereja ingin menegaskan bahwa apa yang dialami oleh manusia dan apa
yang terjadi kepada dunia merupakan apa yang terjadi kepada dan dialami oleh
Gereja pula. “Kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa
saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para
murid Kristus juga” (GS 1).
Gaudium et Spes
secara tersurat membahas atheisme pada GS 19 dan 20. Gaudium et Spes menyadari bahwa atheisme yang lahir bukan saja
merupakan tanggung jawab “mereka yang
dengan sengaja berusaha menjauhkan Tuhan dari hatinya serta menghindari
soal-soal keagamaan” (GS 19) semata. “Kaum
beriman sendiri pun sering memikul tanggung jawab atas kenyataan itu” (GS
19). Kaum beriman acap kali justru menyelubungi wajah Tuhan. Tindakan mereka
atas nama agama acap kali membuat orang justru mengambil jarak terhadap agama,
bahkan melontarkan kritik agama yang canggih. Namun, Gaudium et Spes tidak sekadar berhenti pada ulasan mengenai
atheisme, Gaudium et Spes tidak hanya
berhenti pada sikap mengecam atheisme, tetapi justru mencoba membangun jembatan
dialog dengan semua orang, baik beriman maupun yang atheis, demi tatanan dunia
yang baru pada GS 21.
Pengertian Gaudium et Spes mengenai Atheisme
“Istilah ‘atheisme’ menunjuk kepada
gejala-gejala yang sangat berbeda satu dengan lainnya. Sebab ada kelompok orang
yang benar-benar mengingkari Tuhan; ada juga yang beranggapan bahwa manusia
sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Dia; ada pula yang
menyelidiki persoalan tentang Tuhan dengan metode sedemikian rupa, sehingga
masalah itu nampak kehilangan makna. Banyak orang secara tidak wajar melampaui
batas-batas ilmu-ilmu positif, lalu atau berusaha keras untuk menjelaskan
segala sesuatu dengan cara yang melulu ilmiah itu, atau sebaliknya sudah sama
sekali tidak menerima adanya kebenaran yang mutlak lagi. Ada yang menjunjung
tinggi manusia sedemikian rupa sehingga iman akan Tuhan seolah-olah lemah tak
berdaya; agaknya mereka lebih cenderung untuk mengukuhkan kedudukan manusia
dari pada untuk mengingkari Tuhan. Ada juga yang menggambarkan Tuhan sedemikian
rupa sehingga hasil khayalan yang mereka tolak itu memang sama sekali bukan Tuhan
menurut Injil. Orang-orang lain bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang
Tuhan pun tidak, sebab rupa-rupanya mereka tidak mengalami kegoncangan
keagamaan atau juga tidak menangkap mengapa masih perlu mempedulikan agama... ”
(GS 19).
“Sering pula atheisme modern mengenakan
bentuk sistematis. Terlepas dari sebab musabab lainnya, atheisme sistematis itu
mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian jauh sehingga menimbulkan
kesulitan terhadap sikap tergantung dari Tuhan yang mana pun juga. Mereka yang
menyatakan diri penganut atheisme semacam ini mempertahankan bahwa kebebasan
berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri; ialah satu-satunya
perancang dan pelaksana riwayatnya sendiri... . Di antara bentuk-bentuk
atheisme zaman sekarang janganlah dilewatkan bentuk, yang mendambakan
pembebasan manusia terutama pembebasannya di bidang ekonomi dan sosial. Bentuk
atheisme itu mempertahankan bahwa agama pada hakikatnya merintangi kebebasan
itu... ” (GS 20).
Berdasarkan
uraian Gaudium et Spes di atas,
atheisme di mata Gaudium et Spes bisa
sangat luas jangkauannya, mulai dari atheisme fundamentalis di mana mereka
benar-benar menolak eksistensi dan paham Tuhan bagaimanapun dan apapun,
agnostisme di mana orang enggan berbicara mengenai Tuhan dan agama, hingga para
filsuf yang memiliki paham mereka sendiri tentang Tuhan yang berbeda dari paham
Tuhan Injili. Pada umumnya mereka menolak Tuhan demi mengiyakan manusia atau
demi menyadarkan manusia dari impian kehidupan di alam sana agar lebih memperjuangkan
hidupnya di dunia ini. Dengan pengertian yang seperti ini maka mulai dari
pribadi seperti Feuerbach, Nietzsche, Marx, Sartre, Spinoza, Jaspers, hingga
Gabriel Marcel (yang katolik itu) pun dapat dimasukkan ke dalam golongan
atheis. Pribadi sereligius Baruch Espinoza, Karl Jaspers, dan Gabriel Marcel
dapat masuk ke dalam golongan atheis menurut Gaudium et Spes karena mereka berusaha menyelami eksistensi Tuhan
di luar Injil, sehingga ada kemungkinan paham Tuhan yang mereka imani sangat
berbeda dengan Tuhan Kitab Suci.
Kini
telah jelas siapa saja yang dipandang atheis menurut Gaudium et Spes. Maka, kita akan melangkah lebih lanjut pada
pembahasan selanjutnya. Kita akan menyelami pemikiran tokoh-tokoh yang namanya disebutkan
sebagai contoh di atas. Nama-nama itu mewakili setiap pengertian atheisme
seperti yang dipaparkan Gaudium et Spes di
atas. Selain nama-nama di atas, kita juga akan melihat fenomena atheisme di dalam negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia. Dengan mempelajari pemikiran dan paham Tuhan mereka, kita bisa memetakan
sejauh apa atheisme merongrong martabat kemanusiaan.
Ludwig Feuerbach - Sebuah Anthropotheisme, Homo Homini Deus
|
Ludwig Andreas Feuerbach |
Atheisme
Feuerbach adalah sebuah gerakan penolakan Tuhan untuk mengiyakan manusia.
Atheisme Feuerbach merupakan suatu anthroposentrisme. Kata-katanya yang
terkenal adalah homo homini Deus
(manusia adalah Tuhan bagi sesamanya). Menurut Feuerbach “Tuhan tidak lain adalah cita-cita, ideal manusia” (VIII 90). “Tuhan tidak lain dari pada ideal hakikat
manusia, namun ia dianggap sebagai hakikat yang berdiri sendiri secara riil”
(VII 264). Maka Tuhan “hanya ada di dalam
gagasan, dalam fantasi, namun tidak ada sama sekali dalam realitas dan
kenyataan” (VII 289). Hal ini sama dengan penolakan terhadap eksistensi
riil Tuhan.
Tuhan
merupakan gambaran manusia yang ingin menjadi sempurna. Maka, bukan Tuhan yang
menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sesuai dengan Kitab Suci
(Kejadian 1:26), melainkan manusialah yang menciptakan Tuhan menurut gambar dan
rupanya. Akan tetapi, proyeksi diri itu dijauhkan sedemikian rupa sehingga
menjadi entitas tersendiri. Akhirnya, manusia menyembah-Nya karena kagum dengan
pada-Nya. Manusia lupa bahwa yang dia sembah sebenarnya tak lain adalah
proyeksi dirinya sendiri (dan Trinitas itu tak lain adalah ideal manusia akan
budi, kehendak, dan cinta). Tuhan
tak lain adalah diri manusia yang terasing. Maka, Feuerbach dengan sadar mau
menjadi seorang atheis, walau sebenarnya dia lebih senang dipandang sebagai
penganut anthropotheisme.
Friedrich Nietzsche - Nihilisme,
Sikap Tidak Percaya Baik pada Tuhan Maupun juga pada Ketiadaan Tuhan
|
Friedrich Nietzsche |
Terminologi
“Tuhan” bagi Nietzsche tidak hanya menunjuk pada Tuhan Kristiani yang agamanya
dia kritik habis-habisan, tetapi juga menunjuk pada segala sesuatu yang manusia
namakan “Tuhan”, menunjuk segala hal yang dituhankan manusia. “Manusia adalah binatang pemuja,” kata
Nietsche di dalam The Gay Science 346.
Manusia butuh untuk memuja. Manusia membutuhkan sesuatu untuk dijadikan
pegangan di dalam hidupnya. Ketika Tuhan yang dijadikan pujaan manusia mati,
manusia akan menciptakan pujaan-pujaan yang lain, bahkan dia akan menjadikan
dirinya sendiri obyek pujaan, atau dia akan menjadikan “ketiadaan-tuhan”
menjadi credo baru. Manusia akan
menjadikan atheisme “agama” barunya. Dia akan mengimani “ketiadaan-tuhan”
dengan sepenuh hati. “Ada kepercayaan
baru saat ini yang namanya ketidakpercayaan,” kata Nietzsche di dalam The Gay Science 347.
Proklamasi
kematian Tuhan yang diserukan Nietzsche tidak hanya merupakan proklamasi
kematian Tuhan Kristiani, tetapi justru proklamasi kematian segala hal yang
kita maksudkan sebagai Tuhan, segala hal yang kita sembah sebagai Tuhan, segala
sesuatu yang kita jadikan nilai kebenaran mutlak (kebenaran ilmu pengetahuan,
keyakinan akan ketiadaan Tuhan, kebenaran filosofis, klaim kebenaran agama,
dll.). Lalu, apa jadinya jika kebenaran mutlak itu hancur dan mati? Nihilisme!
Manusia akan bergumul di dalam situasi nihilisme ini dan manusia akan memenangkan
pergumulan itu. Akan tetapi, manusia akan menggulati situasi nihilisme itu
dengan dua cara: secara pasif dan secara aktif.
Manusia
yang menggulati nihilisme secara pasif akan terlihat pesimis. Contoh manusia
yang menggulati nihilisme secara pasif adalah Jean-Paul Sartre dan Michel
Foucault. Kematian Tuhan adalah fakta yang harus diterima begitu saja.
Kesalahan pertama mereka adalah tidak terlebih dahulu mengurai dan
mengintrogasi fakta kematian Tuhan ini. Akan tetapi, kedua filsuf ini menarik
kesimpulan yang sangat berbeda dari fakta kematian Tuhan itu. Jean-Paul Sartre
begitu percaya kepada kemampuan manusia yang bisa mengambil alih tugas Tuhan,
sedangkan Michel Foucault justru melihat ketiadaan manusia (keterserakan
subyek). Akan tetapi, kedua kesimpulan yang berbeda itu tetap memberi kesan
yang sama: pesimis.
Kita tidak akan membahas Jean-Paul Sartre lebih lanjut di sini karena kita akan
membahasnya secara terpisah pada pokok pembicaraan setelah ini.
Menghadapi
nihilisme secara aktif adalah sebagaimana yang ditawarkan Nietsche sendiri,
yaitu membebaskan diri dari segala bentuk kepercayaan, termasuk kepercayaan
akan ketiadaan Tuhan (atheisme). Kematian Tuhan tidak sama dengan kebangkitan
kepercayaan baru, atau lahirnya pujaan baru, yaitu manusia. Kematian Tuhan bisa
jadi merupakan kematian manusia pula. Nietzsche mengusulkan suatu sosok manusia
yang menghadapi nihilisme secara aktif, yang menjadi penebak enigma, yang tidak
khawatir dengan terbenamnya satu-satunya
matahari tersebut. Pencarian matahari yang lain hanyalah sublimasi dari
kebutuhan untuk percaya. Manusia nietzschean yang menghadapi nihilisme secara
aktif ini merupakan sesosok roh bebas yang tidak butuh lagi untuk percaya.
Nietzsche memperkenalkan manusia baru itu sebagai sang Adimanusia. Sang
Adimanusia adalah manusia yang bebas dan sadar. Dia bermain-main di antara
nihilisme tersebut. Sang Adimanusia ini mentransvaluasi nilai-nilai baru di
dalam dirinya sendiri sebab nilai-nilai lama telah mati dan terbenam. Sang
Adimanusia adalah manusia yang begitu bebas dari dominasi eksternal, percaya
diri, dan mengemansipasi diri.
Nietzsche
adalah sesosok manusia yang menetak segala bentuk kepercayaan, dia membunuh
segala Tuhan, bahkan dia pun membuang kepercayaan akan ketiadaan Tuhan. Dia
menunjukkan kepada kita suatu keadaan pasca-kematian Tuhan, nihilisme. Dia pun
memperkenalkan sesosok manusia yang menghadai nihilisme secara aktif, Sang
Adimanusia. Kemudian, Nietzsche menantang kita: beranikah kita menari tanpa
alasan mengapa dan untuk apa? Beranikah kita berlayar ke lautan lepas tanpa
horizon? Beranikah kita melampaui diri kita sendiri? Beranikah kita mengarungi
hidup tanpa satu kepastian pun?
“Marx menemukan fakta yang sederhana bahwa
umat manusia pertama-tama harus makan, minum, memiliki tempat berteduh, dan
berpakaian sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni, dan agama,” Friederich
Engels, “Speech at the Graveside of Karl
Marx”. Marx memberi kita suatu pandangan baru mengenai realita. Realita
menurut Marx terdiri dari dua hal: suprastruktur dan infrastruktur.
Suprastruktur adalah sesuatu yang terlihat, jelas, besar, dan menonjol,
seperti: ideologi, ilmu, filsafat, politik, seni, agama, dll. Sedangkan
infrastruktur adalah sesuatu yang mendasari realita tersebut di atas, adalah
sesuatu yang laten dan tersembunyi, yaitu ekonomi atau uang. Atheisme Marx
adalah pereduksian idealisme kepada materialisme.
Marx
mengambil motto pahlawan Yunani, Prometheus, “Aku benci semua dewa.” sebab dewa-dewa itu “tidak mengetahui-kesadaran diri manusia sebagai ketuhanan yang paling
tinggi.”
Akan tetapi, Marx tidak pernah mengkritik Tuhan an sich, dia semata tidak mempercayai Tuhan, kritik Marx justru
adalah pada agama-agama. Atheismenya dia ambil dari Feuerbach, walaupun dia
memutuskan menjadi atheis sejak masa mudanya. Ketidakpercayaannya kepada Tuhan
itu satu hal, sedangkan kritik agamanya itu hal yang lain. Agama, kata Marx,
adalah ilusi dengan konsekuensi amat sangat jahat, suatu ideologi ekstrem yang
tujuan utamanya hanyalah untuk memberikan legitimasi kepada para penindas untuk
mempertahankan status quo.
Karl
Marx melihat keterkaitan erat antara aktivitas sosio-ekonomi dengan aktivitas
agama. Benang merah yang menghubungkan keduanya adalah alienasi. Alienasi yang
kita lihat di dalam agama sebenarnya selalu merupakan ekspresi dari
ketidakbahagiaan yang lebih besar, yang selalu bersifat ekonomi.
Kebutuhan ekonomi itu selalu terkait dengan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
(misalnya: sandang, pangan, dan papan). Fenomena agama, menurut Marx, baiknya
dipandang sebagai fenomena yang sebenarnya jauh lebih bersifat ekonomi dan
material dari pada spiritual. Kita dapat mengambil contoh nyata di dalam
kehidupan beragama di Indonesia. Kerukunan hidup beragama di Indonesia yang
menyedihkan dewasa ini dapat kita pandang sebagai ekspresi ketidakmerataan
kesejahteraan ekonomi dan kepemilikan modal. Mereka yang rela maju
menghancurkan, menganiaya, bahkan membunuh sesama warga sebangsa dan setanah
air dalam nama Tuhan itu sebenarnya adalah mereka yang memiliki latar belakang
pendidikan menyedihkan dan kesulitan secara ekonomi. Memang seolah-olah mereka
begitu setia membela agamanya, rela mati demi agamanya, rela maju berperang
dalam nama Tuhan, akan tetapi pengangguran mana yang tidak tergiur tawaran Rp
100.000,00 hingga Rp 150.000,00 sekali sweeping?
Alienasi di dalam bidang ekonomi mereka ekspresikan di dalam sikap yang seakan-akan
begitu militan dan beriman terhadap klaim kebenaran agamanya.
Lagi
pula, agama menyediakan tawaran yang sangat menggiurkan bagi mereka yang telah
kalah secara ekonomi. Agama menyajikan kebahagiaan di masa depan, pada
kehidupan setelah kematian. Agama menawarkan pembalasan atas kepahitan hidup
yang mereka alami di dunia ini. Agama menyediakan pelepasan beban yang semu
sehingga manusia yang kalah ini bisa sejenak terlena dan melupakan kekalahan
hidupnya. Agama menjadi tempat pengungsian dan perlindungan yang sempurna dari
kehidupan nyata yang begitu pahit, getir, dan bahkan tanpa makna sama sekali.
Marx berkata, “Penderitaan agama pada
saat yang sama merupakan ekspresi
penderitaan ekonomi yang nyata dan protes melawan penderitaan yang nyata. Agama adalah keluh kesah makhluk yang
tertindas, hati dunia yang tak berhati, sebagaimana ia adalah roh dari suatu
keadaan yang tak memiliki roh. Agama adalah candu bagi masyarakat.”
Lebih jauh Marx berkata, “Penghapusan
agama karena dianggap kebahagiaan yang ilusi dari orang menjadi syarat bagi kebahagiaan yang nyata. Tuntutan untuk
meninggalkan ilusi mengenai keadaan merupakan tuntutan untuk meninggalkan
suatu kondisi yang membutuhkan ilusi.”
Bagi Karl Marx, menjadi religius tiada bedanya dari seorang pecandu narkotika.
Agama merupakan kekuatan yang benar-benar merusak dunia nyata ini. Bukannya
membangun dunia nyata ini, manusia justru melarikan diri kepada iming-iming
kehidupan di alam sana yang belum tentu ada, atau bahkan malah turut serta
semakin merusak kebudayaan dunia nyata ini oleh karena janji surga itu. Agama
menghalau pandangan mereka terhadap realita ketidakadilan fisik dan materi
kepada pandangan indah tentang surga dan Tuhan. Lebih parah lagi, ilusi agama
itu bukan hanya sekadar ilusi fatamorgana, melainkan suatu ilusi yang
melumpuhkan seluruh daya kreatif kemanusiaan kita.
Jean-Paul
Sartre, filsuf eksistensialis itu dan dramawan, begitu menekankan kebebasan
manusia. Manusia adalah kebebasan itu sendiri, bahkan manusia dikutuk untuk
bebas. Akan tetapi, dogma etika eksistensialisme sartrean mengajarkan bahwa
kebebasan orang lain membatasi kebebasanku. Etika eksistensial mengikuti etika
Immanuel Kant. Imperatif kategoris Immanuel Kant mengajarkan kepada kita untuk
bertindak sehingga maksim dari tindakan kita diterima sebagai hukum universal.
Secara sederhana, kita diminta melakukan sesuatu sebagaimana kita menghendaki
semua orang di seluruh dunia bertindak. Kita tidak akan berbohong sebab kita
ingin semua manusia di seluruh dunia jujur. Namun, ketika Sartre mengikuti
hukum tersebut dan sampai pada tema kebebasan, dia menemukan dirinya berada di
dalam situasi konflik yang tak terpecahkan: kebebasan orang lain mengebiri
kebebasannya.
Lewat tatapan matanya, orang lain membatasi kebebasan kita. Secara sederhana,
kita tidak akan berteriak-teriak dan berjingkrak-jingkrak sedemikian gila di
mall ketika ada banyak orang lain berlalu-lalang atau malah memandangi kita.
Ekspresi
dari terbatasnya kebebasan kita oleh karena kehadiran orang lain tampak pula
dalam emosi takut dan malu. Ketika kita malu atau takut, kita sebenarnya
menyadari bahwa kita sedang menjadi obyek bagi tatapan orang lain. Kita
terperangkap di dalam tatapan orang lain sehingga being-for-itself kita (di mana kita adalah kemungkinan-kemungkian
kita sendiri) ditransendenkan oleh kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya
bukan kemungkinan-kemungkinan kita. Perasaan itu dalam bentuknya yang paling
ekstrim mungkin menjadi sumber agama.
Ketika saya malu dan takut pada Tuhan, sebenarnya kita tengah malu dan takut
pada sosok orang lain. Sewaktu kita kecil, misalnya, kita dilarang mencuri oleh
ayah. Ketika kita sudah dewasa dan tinggal jauh dari ayah, dan di saat itu ada
kesempatan mencuri, hati kita menjadi takut. Orang bilang itu bisikan Tuhan di
dalam hati kecil kita supaya kita tidak mencuri. Namun, itu sebenarnya adalah
sosok ayah (orang lain) yang kita batinkan dan proyeksikan sedemikian jauh
hingga melampaui batas kemanusiaan dan akhirnya menjadi sosok Tuhan. Ada sebuah
lagu Sekolah Minggu: Hati-hati gunakan tanganmu, Tuhan Bapa di surga melihat
penuh cinta, hati-hati gunakan tanganmu. Sebagai anak kecil, kita kemudian
membatinkan sosok guru Sekolah Minggu itu, lalu memproyeksikannya hingga
melampaui batas kemanusiaan, sehingga ketika dewasa kita begitu berhati-hati
menggunakan tangan kita supaya tidak dipandang berdosa di mata Tuhan.
Manusia
adalah kebebasan. Kehadiran Tuhan dengan tatapan-Nya membatasi kebebasan
manusia. Maka, Jean-Paul Sartre menyetujui begitu saja proklamasi kematian
Tuhan yang telah digemakan Nietzsche bertahun-tahun sebelumnya tanpa
membedahnya terlebih dahulu. Bagi Jean-Paul Sartre, Tuhan tidak ada. Ketiadaan
Tuhan ini adalah suatu fakta yang harus dihadapi oleh manusia modern. Sartre
mengutib kata-kata Dostoievsky demikian, “Apabila
Tuhan tidak ada, tidak akan ada lagi larangan,” dan hal ini, menurut
Sartre, merupakan sebuah titik berangkat kaum eksistensialis.
Kematian Tuhan berarti tiada lagi larangan absolut, berarti kebebasan mutlak
manusia. Dengan ketiadaan Tuhan, manusia harus menanggung sendiri kebebasannya
di hadapan pilihan-pilihan sulit beserta segenap tanggung jawab yang
mengikutinya. Manusia menemukan dirinya terlempar di dunia dan terapung-apung
di tengah kebebasan tanpa alasan. Absurd. Lebih jauh, dengan ketiadaan Tuhan,
lenyap pula nilai-nilai yang tertulis di surga, nilai-nilai a priori telah lenyap. Manusia kemudian
harus memberi nilai sendiri pada segala keputusannya. Atheisme Jean-Paul Sartre
ini adalah sebuah tidak pada Tuhan dan ya pada manusia.
Baruch Espinoza - Deus sive Natura, Suatu Pantheisme-monistik
|
Baruch de Spinoza |
Baruch
Espinoza alias Spinoza itu memiliki paham Tuhan yang unik. Dia sampai pada
paham Tuhan “Deus sive Natura” (Tuhan
atau Alam). Tuhan yang dipahami Spinoza adalah Tuhan yang apersonal sehingga
cinta kepada Tuhan bersifat intelektual melulu (amor Dei intellectualis). Spinoza kemudian dipandang sebagai penganut
panteisme-monistik. Spinoza dianggap
atheis sejauh dia tidak mengimani Tuhan personal yang menciptakan semesta dan
dapat ada lepas dari ciptaan-Nya tersebut.
Spinoza
menolak paham Tuhan yang personal. Dia menolak paham Tuhan di dalam iman Yahudi
dan Kristen yang dapat kita sapa secara personal dengan sebutan “Engkau” atau
“Bapa”. Menurut Spinoza, Tuhan adalah satu-satunya substansi, maka segala Ada
(makhluk) tidak berdiri sendiri melainkan secara mutlak ada pada Tuhan. Segala Ada
(makhluk) tak lain hanyalah modi (modus, singular) Tuhan, “cara” mengada Tuhan.
Segenap jagad raya ini tidak lain adalah identik dengan Tuhan secara prinsipil.
Karl Jaspers - Mengenali Yang Ilahi
yang Tak Terbatas Melalui Chiffer-chiffer
yang Terbatas
|
Karl Jaspers |
Jaspers
mempercayai bahwa kenyataan Yang Ilahi itu lebih dari pada persona, tidak
seperti orang Kristen yang percaya bahwa Tuhan adalah pribadi. Jaspers yakin
bahwa Yang Ilahi itu terlalu tinggi untuk dirangkum di dalam konsep-konsep.
Semua nama atau tanda yang diberikan manusia kepada realita Yang Ilahi itu,
seperti misalnya Tuhan, Allah, Bapa, Roh Absolut, Nirwana, Tao, Brahman, dan
lain sebagainya, hanyalah tanda terbatas untuk Keilahian yang tak terbatas.
Nama-nama dan paham-paham mengenai Yang Ilahi itu disebut Jaspers sebagai chiffer. Melalui chiffer itu manusia dapat dengan bebas berhubungan dengan Yang Tak
Terbatas. Kehadiran Yang Tak Terbatas secara utuh akan menghilangkan kebebasan
manusia, padahal Yang Ilahi menghendaki kebebasan manusia. Oleh sebab itu, Yang
Ilahi bersembunyi di balik chiffer-chiffer
tersebut.
Akan
tetapi, selain memahami Tuhan secara negatif seperti di atas, Jaspers mencoba
memahami Tuhan secara positif. Tuhan dipahami sebagai “Yang-melingkupi-segala-sesuatu-yang-melingkupi” (das Umgreifende alles Umgreifenden). Ada
Tuhan berada melampaui/di seberang Ada (Dasein)
empiris, maka “Transendesi tidak lain
adalah Tuhan sendiri”. Jaspers berpesan, apapun yang kita katakan mengenai Tuhan,
Dia tetap tidak bisa dikenali dan dicirikan. Mengetahui bahwa Tuhan itu ada
sudah cukup memuaskan Jaspers, bukan pada pembedahan mengenai apa atau
bagaimana Tuhan itu. Tuhan dapat kita kenali melalui chiffer-chiffer itu sebab Tuhan berkarya langsung melalui chiffer-chiffer tersebut.
Gabriel Marcel - Tuhan adalah
Engkau Absolut
Tatkala
Paus menyerukan bahwa tidak ada eksistensialis Katolik, Gabriel Marcel
menyatakan diri sebagai seorang eksistensialis. Gabriel
Marcel lahir dari seorang ibu Yahudi dan ayah Katolik, tetapi dibesarkan dalam
suasana acuh tak acuh terhadap agama. Dia menikahi seorang gadis protestan.
Perkawinan mereka selalu sangat bahagia, menurut kesaksian Gabriel Marcel
sendiri. Pada tahun 1929 akhirnya Gabriel Marcel masuk ke dalam pangkuan Gereja
Katolik. Ini merupakan perjalanan rohaninya yang sangat panjang, 40 tahun.
Senada
dengan Jean-Paul Sartre, Gabriel Marcel memandang Tuhan sebagai orang lain yang
hadir secara istimewa. Akan tetapi, tidak seperti Sartre yang memandang orang
lain sebagai neraka yang membatasi kebebasan kita, Gabriel Marcel memandang
relasi aku-kamu sebagai relasi intersubyektif. Ada selalu berarti Ada-bersama, esse ialah co-esse.
Di dalam Ada-bersama ini tidak lain merupakan “kehadiran”. “Kehadiran” bagi
Marcel melampaui kategori ruang dan waktu. “Kehadiran” bagi Marcel adalah
ketika “Aku” berjumpa dengan “Engkau”, saling mengarahkan diri antara yang satu
kepada yang lain dengan cara yang sama sekali berlainan dari cara mereka menghadapi
obyek-obyek. “Kehadiran” ini direalisasikan secara istimewa dalam cinta di mana
“Aku” dan “Engkau” menjadi “Kita”. “Aku” dan “Kamu” menjadi satu kesatuan,
menjadi satu communion, kebersamaan
yang sungguh-sungguh komunikatif.
Tidak
mengherankan apabila kemudian Gabriel Marcel menolak dengan tegas segala
percobaan untuk membuktikan eksistensi Tuhan. “Membuktikan” eksistensi Tuhan
berarti kita sedang “mengobyektivasikan” Tuhan, atau dengan kata lain kita
tengah menempatkan Tuhan sebagai “problem”. Gagasan bahwa Tuhan adalah causa prima yang begitu populer di dalam
Teologi Skolastik bagi Gabriel Marcel sama sekali tidak masuk akal. Kehadiran
Tuhan merupakan suatu suasana misteri. Kehadiran Tuhan merupakan misteri karena
berada di luar jangkauan kemanusiaan kita. Kita tidak dapat membuktikan
kehadiran Tuhan, yang dapat kita lakukan adalah “percaya” dan “berharap” (dalam
pengertian filosofis) pada sang “Engkau Absolut”. “Kepercayaan” dan “harapan”
pada “Engkau Absolut” ini kemudian menjadi dasar bagi setiap perjumpaan dengan
“Engkau” yang lain. Bukan pembuktian yang menjadi dasar untuk menerima Tuhan,
melainkan imbauan dari “Engkau Absolut” yang kita jawab dengan kepercayaan.
Sedangkan “harapan” di sini bukan merupakan harapan akan suatu kejadian di masa
depan, melainkan merupakan suatu kesaksian kreatif tentang “Engkau Absolut”
yang memegang saya dan meliputi saya, walau saya menghadapi banyak penderitaan
dan kejahatan.
Atheisme di Indonesia
Atheisme bukan merupakan fenomena yang ada nun
jauh di Eropa sana. Atheisme ada dan nyata di Indonesia. Memang para pemikir
atheis Indonesia itu belum mengeluarkan satu buku pun mengenai
kepercayaan-akan-ketiadaan-Tuhan mereka, tetapi kita yang sangat familiar
dengan internet, khususnya blog (baik
yang pribadi seperti www.blogger.com
maupun yang ramai-ramai seperti www.kompasiana.com
), twitter, dan facebook,
bisa jadi pernah “bertemu”, berdialog, atau membaca pemikiran orang-orang
atheis ini. Penulis secara pribadi mengenal beberapa orang atheis; ada yang
sangat akrab dengan penulis, ada yang pernah kopi darat (bertemu muka) dengan penulis, ada yang sebatas teman
dunia maya, atau ada pula yang hanya penulis ketahui sebatas buah pemikiran
mereka saja. Mereka adalah justru orang-orang yang berpendidikan, walau ada
pula yang pendidikannya otodidak dari Google.
Beberapa memutuskan menjadi atheis oleh karena sakit hati dengan atau kecewa
terhadap institusi agama. Ada yang memutuskan menjadi atheis oleh karena lebih
memercayai ilmu-ilmu positif. Ada pula yang menjadi atheis (baca: tidak memeluk
satu agama pun dari enam agama resmi yang diakui negara) karena menganggap
keenam agama resmi itu hanyalah agama impor yang justru menjajah local-wisdom Nusantara. Ada pula yang
memilih menjadi agnostik, enggan berbicara mengenai agama. Ada yang menjadi blasphemer, mengolok-olok keenam agama
resmi negara atau bahkan mengolok-olok Tuhan sendiri. Atau, ada pula yang
menjadi occultist.
Pada
umumnya mereka memilih menjadi atheis karena kecewa dan sakit hati dengan
keenam agama resmi negara. Di mata mereka, agama telah dimanipulasi sedemikian
rupa sehingga melenceng dari tujuannya semula. Negara telah menggunakan agama
sebagai instrumen kekuasaan dan kontrol total. Agama bukan lagi menjadi
kendaraan untuk mengantarkan manusia manunggal
dengan penciptanya, tetapi justru dijadikan alat status quo kekuasaan. Sejak 1965 Warga Negara Indonesia harus
memiliki agama. Rakyat Indonesia harus memeluk salah satu dari lima
agama resmi negara. Kepercayaan-kepercayaan adat, agama-agama tradisional, dan
aliran-aliran kebatinan tidak pernah dianggap sebagai sebuah agama; mereka
berada di bawah Departemen Kebudayaan dan bukan Departemen Keagamaan. Sila I
Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, diplintir sedemikian rupa dan direduksi
menjadi peraturan menuliskan agama pada KTP. Mereka yang mengosonginya dianggap
atheis. Mereka yang dianggap atheis akan dicap sebagai komunis atau PKI. Dan,
mereka yang dianggap sebagai PKI atau keturunan PKI harus mengalami perlakuan
yang sangat diskriminatif, bahkan lebih rendah dari pada binatang. Pemerintah
Soeharto lupa pesan Bung Karno, pencetus Pancasila, bahwa tiap-tiap rakyat
Indonesia bebas menyembah Tuhannya masing-masing justru di bawah payung Sila I
Pancasila. Agama telah menjelma menjadi suatu alat kontrol pemerintah untuk
memobilisasi massa. Lebih jauh dari itu, untuk mengatur agama rakyat,
pemerintah Orde Baru mengeluarkan larangan menikah berbeda agama. Pernikahan
yang diakui negara adalah pernikahan yang diakui agama, jadi negara hanya
mencatat. Negara melepas wewenang sipilnya untuk menikahkan rakyat. Padahal,
agama mana yang mengizinkan umatnya menikahi umat dari agama lain? Gereja
Katolik sendiri secara tertulis di dalam Kitab Hukum Kanonik menyatakan, “Perkawinan antara dua orang, yang di
antaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya,
sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah” (bdk. Kan. 1086 ξ 1).
Bagaimana mungkin negara mencatat perkawinan yang tidak disahkan agama jika
demikian?
Dewasa
ini atheisme dan antipati terhadap agama itu semakin menjadi-jadi oleh karena
kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kaum minoritas dan mereka yang berbeda
harus disingkirkan, ditindas, atau dipersulit hanya karena mereka memeluk agama
atau aliran yang berbeda dari agama dan aliran mainstream. Sekali lagi agama menjadi alat kontrol kekuasaan dan
mempertahankan status-quo. Politik
telah menggunakan agama sebagai topeng yang menutupi setiap permainan kotornya.
Isu konflik antaragama dijadikan pengalihan isu atas kasus korupsi. Konflik
horisontal antaragama sengaja diciptakan untuk menghindari konflik vertikal
antara rakyat dengan negara.
Semua
harus beragama. Tidak beragama merupakan suatu tindakan kriminal di Indonesia.
Kasus yang baru saja terjadi adalah penangkapan seorang Padang yang mengaku
atheis
di akun facebook-nya. Dia ditangkap
hanya karena meng-up date status “God doesn’t exist.” Memang dia adalah
salah satu admin dari grup facebook
“Atheis Minang”.
Yang paling konyol adalah suatu peristiwa di Solo di mana seorang pemuda
ditelanjangi oleh ormas agama tertentu hanya karena memakai kaos bertuliskan “Tuhan, agama-Mu apa?”
Dia diminta untuk melepaskan kaosnya di tempat itu juga. Akhirnya, pemuda itu
diamankan polisi. Sebenarnya, kaos “Tuhan,
agama-Mu apa?” itu merupakan kaos yang diproduksi dari hasil perjumpaan
tatap muka dan dialog lintas iman. Agama yang berwajah keras, agama yang hanya
menjadi instrumen kekuasaan negara, agama yang cenderung fasis dan
fundamentalis, agama yang tak memiliki daya kritis dan rasa humor, bahkan agama
yang perlu dibela mati-matian inilah yang menjadi alasan banyak orang
Indonesia, yang dulu dikenal sebagai bangsa religius ini, memutuskan untuk
menjadi atheis.
Humanisme Menjembatani
Pemikiran-pemikiran Itu
Para
filsuf yang telah dijelaskan di atas dan orang-orang atheis Indonesia itu
sebenarnya memiliki suatu visi anthropologi tertentu. Feuerbach dengan sangat
jelas mengatakan bahwa Tuhan itu sebenarnya adalah potensi manusia sendiri.
Segala gambaran yang manusia lihat ada pada Tuhan itu tak lain adalah kemampuan
manusia sendiri. Nietzsche dengan metafisikanya yang sedemikian kompleks dan
rumit, apa lagi ditulis di dalam aforisme-aforisme yang membutuhkan penafsiran
ulang, pun berbicara mengenai manusia. Nietzsche tidak hanya berhenti pada
proklamasi kematian Tuhan dan kritik pada kaum atheis yang memiliki credo baru yaitu “ketiadaan Tuhan”, dia
mengajak kita semua untuk mengatakan “ya” pada hidup, menjadi Sang Adimanusia, roh
merdeka yang tak gentar mengarungi samudera tanpa horizon dan merayakan hidup
dengan penuh gairah. Karl Marx mengajak kita untuk menginjak bumi, menghadapi
realita hidup sehari-hari dengan praxis,
memperjuangkan nasib kita di dunia nyata ini, dan sadar dari buaian yang
meninabobokan. Sartre mengajak kita untuk tidak melempar tanggung jawab atas
hidup kita sendiri. Spinoza mengajak kita untuk menemukan Tuhan di dalam seluruh
harmoni semesta, bahwa realita ini tidak lain adalah manifestasi dari Yang
Ilahi, sehingga mustahil kita memukul seorang teman sembari berkata, “Aku
mencintai Tuhan.” Jaspers mengajak kita untuk rendah hati mengakui bahwa segala
sesuatu yang mengantar kita pada Yang Ilahi (agama, teologi, terminologi
“Tuhan” itu sendiri) merupakan sesuatu yang terbatas yang tak mampu menampung
ketidakterbatasan Yang Ilahi sehingga kita bisa menerima perbedaan yang ada.
Sedangkan Gabriel Marcel mengajak kita untuk menikmati kehadiran Tuhan, Sang
“Engkau Absolut” dengan segala misterinya, tanpa tendensi untuk menguasai-Nya
dengan membuktikan eksistensi-Nya, sehingga kita pun dapat saling hadir satu
sama lain dengan cinta. Sedangkan orang-orang atheis di Indonesia menginginkan
agama ditempatkan pada tempat yang seharusnya, tidak menjadi instrumen
kekuasaan negara, sehingga manusia-manusia Indonesia dapat bertemu satu dengan
yang lain tanpa disekat-sekati oleh atribut agama tertentu, dapat saling
mencintai satu sama lain.
Humanisme Gaudium et Spes (GS 12-18)
Sebagaimana
humanisme pada umumnya, humanisme Gaudium
et Spes sepakat bahwa segala sesuatu diarahkan kepada manusia sebagai pusat
dan puncaknya. Gambaran manusia menurut Gaudium
et Spes mengikuti tradisi Gereja dan Kitab Suci. Manusia merupakan gambaran
dan rupa Tuhan. Manusia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya. Manusia pun
ditetapkan sebagai tuan atas segenap ciptaan. Manusia bukan hanya makhluk
individual, melainkan juga makhluk sosial, karena Tuhan menciptakan manusia
tidak sendiri, tetapi “Tuhan menciptakan
mereka pria dan wanita” (Kej: 1:27).
Meskipun
manusia diciptakan sedemikian sempurna dan bahkan serupa dengan Tuhan, manusia
jatuh di dalam dosa oleh karena bujukan setan. Manusia menyalahgunakan
kebebasannya untuk memberontak melawan Tuhan dengan mencari tujuan hidup di
luar Tuhan. Manusia di dalam dosanya tidak memuliakan Tuhan walaupun mereka
mengenal Tuhan. Gaudium et Spes
sebagaimana tradisi Gereja memahami bahwa manusia berada di dalam dosa asal
yang membuat mereka mengalami perpecahan di dalam dirinya. Hidup manusia
dilihat sebagai suatu perjuangan yang dramatis, antara hidup di dalam Tuhan
atau menjalani lorong gelap dosa. Ada tarik menarik dan tegangan di dalam hidup
manusia. Bahkan, manusia dipandang tidak memiliki kekuatan di dalam dirinya
sendiri untuk melawan kekuatan dosa tersebut. Manusia membutuhkan bantuan dan
rahmat Tuhan untuk melawannya. Tuhan turun dari surga, menjelma menjadi
manusia, sengsara, dan mati untuk kemudian bangkit serta mengangkat segenap
kemanusiaan kembali kepada Tuhan. “Dalam
terang Pewahyuan itulah baik panggilan luhur maupun kemalangan mendalam, yang
dialami oleh manusia, menemukan penjelasan yang mendalam” (GS 13).
Manusia
merupakan kesatuan jiwa dan raga. Manusia memanfaatkan tubuh dan benda-benda
material dunia untuk mencapai taraf tertingginya dan dengan bebas memuliakan
Penciptanya. Akan tetapi, oleh karena dosa manusia memiliki kecondongan-kecondongan
tidak baik di dalam tubuhnya. Manusia mengalami pemberontakan di dalam
tubuhnya. Manusia baru akan kembali ke dalam kehidupan sejatinya jika manusia
berpaling ke dalam hatinya. Tuhan sendirilah yang bertakhta di dalam hati
setiap manusia. Kehidupan batin manusia jauh melampaui semesta raya. Ketika
manusia menyelaraskan setiap pilihan hidupnya dengan suara hati terdalamnya,
dia tidak akan disesatkan oleh pemberontakan-pemberontakan yang terjadi pada
tubuhnya.
Manusia
dapat mengatasi pemberontakan-pemberontakan di dalam tubuhnya itu hanya jika
manusia bebas. Kebebasan merupakan anugerah Tuhan sebab manusia merupakan
satu-satunya makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan dan mampu
mengenal dan mengasihi Penciptanya itu. “Kebebasan
yang sejati merupakan tanda yang mulia gambar Tuhan dalam diri manusia” (GS
17). Akan tetapi, Gaudium et Spes
memandang manusia modern acap kali menggunakan kebebasannya itu secara salah.
Manusia memandang kebebasan itu sebagai suatu kesewenang-wenangan untuk berbuat
apapun sesukanya, juga di dalam kejahatan. Kebebasan manusia dicemari oleh
dosa. Hanya berkat rahmat Tuhan manusia dapat mengarahkan hidupnya kepada Tuhan.
Kehidupan
manusia di dunia ini dibatasi oleh misteri maut. Akan tetapi, Gaudium et Spes, sebagimana tradisi
Gereja dan Kitab Suci, mengajarkan bahwa maut hanya membatasi tubuh biologis
manusia. Manusia memiliki benih keabadian di dalam dirinya. Manusia, dengan
segenap jiwa-raganya, dapat melampaui maut seandainya dia tidak berdosa. Iman
kristiani percaya bahwa dengan peristiwa penebusan Tuhan manusia dipulihkan dan
dikembalikan kepada jalan keselamatan Tuhan. Tuhan menciptakan manusia untuk
memanggilnya bersekutu di dalam persekutuan kekal-abadi kehidupan ilahi yang
tak kenal binasa. Gaudium et Spes,
seturut iman kristiani, menyatakan bahwa kemanusiaan manusia mendapat
kepenuhannya di dalam Tuhan.
Ajakan Solidaritas Antarsemua
Manusia Melampaui Iman
Gaudium et Spes
menentang atheisme. Gaudium et Spes
menyayangkan gerakan humanisme yang terlalu berat sebelah sehingga justru
menolak eksistensi Tuhan. Gaudium et Spes
juga menyayangkan sikap kebanyakan filsuf yang memandang Tuhan melulu sebagai obyek
penelitian filsafat, lepas dari iman. Gaudium
et Spes tidak setuju dengan para pemikir positivis yang mengira dapat
membuktikan Tuhan melalui ilmu-ilmu positif. Gaudium et Spes juga merasa prihatin terhadap mereka yang menolak Tuhan
demi mengiyakan manusia. Menurut perspektif Gaudium
et Spes mereka adalah manusia yang tidak mengikuti kata hati mereka. Akan
tetapi, Gaudium et Spes tidak
sepenuhnya menyalahkan mereka atas sikap penolakan mereka akan Tuhan. Gaudium et Spes secara rendah hati
mengakui bahwa sikap penolakan akan eksistensi Tuhan itu juga merupakan akibat
langsung dari sikap orang-orang beragama yang tidak menampakkan iman akan Tuhan
yang sejati sehingga mereka justru menutupi wajah Tuhan dari pada
menampakkan-Nya. Namun, Gaudium et Spes
tidak hanya berhenti pada pengecaman ini. Mengutuk dan mengecam bukanlah tujuan
dari dokumen ini. Gaudium et Spes
menerangkan beberapa perbedaan pengertian dan perspektif humanisme, memaparkan
secara sekilas humanisme sekular dan menegaskan humanisme kristiani. Kemudian, Gaudium et Spes mengajak semua manusia,
baik yang beriman maupun yang menolak eksistensi Tuhan, untuk bersatu dan
bahu-membahu mewujudkan dunia yang lebih baik, tempat hidup bersama yang lebih
baik.
Penutup
Atheisme
yang berusaha mati-matian membuktikan ketiadaan Tuhan adalah suatu kesia-siaan.
Atheisme yang demikian ini merupakan atheisme yang kekanak-kanakan dan tidak
elegan. Atheisme yang semacam ini telah kehilangan visi anthropologinya
sehingga menjadi semacam guyonan yang tidak lucu. Banyak tokoh atheis yang
justru tidak merepotkan diri di dalam usaha membuktikan ketiadaan Tuhan karena
kritik mereka justru mereka tujukan kepada manusia. Mereka ingin menggugah
manusia untuk menghidupi hidupnya di sini dan kini secara realistis.
Di
sisi lain manusia selalu mampu merasakan kehadiran Yang Ilahi. Tanggapan atas
kehadiran Yang Ilahi yang murni ini mampu menggerakkan kemanusiaan seseorang.
Orang yang menanggapi kehadiran Yang Ilahi akan mampu memancarkan cinta kasih
dan kelembutan. Hasratnya adalah membangun dunia yang lebih ramah.
Perjuangan
untuk membela kemanusiaan ini dapat menjadi jembatan dialog orang-orang atheis
dengan Gereja Katolik. Masalah iman dan kepercayaan kepada Tuhan itu satu hal.
Hasrat kemanusiaan, yang oleh orang beriman lahir dari kehadiran Tuhan,
sedangkan yang oleh orang atheis itu datang dari kesadaran Ada manusia itu
sendiri, adalah hal yang lain. Maka, langkah pertama yang harus kita semua
tempuh adalah menyingkirkan diskriminasi yang ada di antara kaum beriman dan
kaum tak beriman.
Bibliografi
Bertens, K., FILSAFAT BARAT KONTEMPORER PRANCIS, Jakarta: Gramedia, 2006,
Sartre, Jean-Paul, “Eksistensialisme dan Humanisme”, terj. Yudhi Murtanto, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002
Simon Petrus L. Tjahjadi, TUHAN PARA FILSUF DAN ILMUAN, dari Descartes
sampai Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 2011
Weigel, George, “Rescuing Gaudium et Spes: The
New Humanism of John Paul II”, dalam Nova et Vetera, English
Edition,Vol. 8, No. 2 (2010)
para atheis galau, hmm.. tulisan berat, nanti dikunjungi lagi
ReplyDeleteAtheisme adalah "tidak pada Tuhan" dan "ya pada manusia". Atheisme yang hanya berhenti pada "tidak pada Tuhan" dan hanya melulu itu merupakan atheisme yang kekanak-kanakan, infantil, dan "kemarin sore".
DeleteTerima kasih sudah mampir :)
pembahasan yang menarik 45. Refleksi tersendiri bagi q, dikala menjadi guru agama di sebuah sekolah katolik. Jujur seringkali q bertanya "benarkah TUHAN itu exist"....hahahaha,bgmn tdk ane mengajarkan siswa rajin beribadah, sedangkan ane sendiri ibarat "mati segan hidup pun tak mau" . Dari Nober :)
ReplyDeleteHai Noberrrrr!!!!!
DeleteApa kabar?
Kau sekarang jadi guru agamakah?
Wawawa.... epic..... hihihihi... .
Mereka kauajari filsafat dan religiusitas saja, hihihihi... .
Jadi guru agama itu kutukan mantan frater... wakakakakakakaka