KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Kisah Dua Orang Rohaniwan

Kisah Dua Orang Rohaniwan

Saya dulu seorang frater, itu fakta. Saya menolak ditahbiskan, dan memilih mengalmarikan jubah untuk menjadi "binatang jalang", itu fakta yang lain. Oleh sebab itu, saya tahu persis rasanya menjadi hipokrit... pagi menjadi malaikat, malam menjadi setan.

Tapi, sudahlah... bukan itu inti pembicaraan saya kali ini. Dulu, di balik tembok suci itu saya pernah membaca suatu kisah satire tentang dua orang Bikku Buddha. Kali ini saya hendak menceritakan kembali, tentu dengan sedikit sentuhan dan adaptasi.

Beginilah ceritanya...

Alkisah pada zaman dulu kala ada dua orang frater mengadakan peregrinatio (perjalanan rohani). Mereka berjalan dari biara mereka menuju ke suatu Gua Maria yang berjarak puluhan kilometer. Tentu mereka silentium (diam). Sebagaimana tradisi di dalam Gereja Katolik, frater-frater tersebut telah mengikrarkan kaul (sumpah/janji) "ketaatan", "kemiskinan", dan "kemurnian" di hadapan TUHAN Allah yang mahakuasa. Di dalam ketaatan mereka menghayati peziarahan mereka saat itu. Di dalam kemiskinan mereka berjalan kaki tanpa alat transportasi. Dan, di dalam kemurnian mereka tetap jomblo, dan semoga sampai jompo. Ya, para frater itu selibat, hidup wadat, tidak menikah, jomblo sampai jompo.

Sesampainya di Gua Maria itu, mereka berdoa, samadi, dan meditasi. Seorang frater berdoa panjang lebar, mulai dari Salam Maria sampai Bapa Kami, mulai dari Rosario sampai Litani. Sedangkan seorang lainnya hanya duduk sila, diam dalam hening, mencoba mendengarkan bisikan Roh Allah melalui hatinya. Malam itu, mereka tidur di sana.

Keesokan paginya, setelah mandi, mereka Brevir (doa harian 5 waktu, semacam shalat bagi orang-orang Katolik Timur, Katolik Orthodox, Yahudi, dan Islam). Seselesainya Brevir, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka hendak kembali ke biara mereka di kaki gunung itu. Mereka sepakat menempuh jalan yang lain dari pada jalan yang mereka lalui ketika berangkat. Kembali, di dalam diam mereka berjalan. Setapak demi setapak mereka hayati.

Malang bagi mereka, jalan lain menuju biara mereka itu dibelah oleh sungai. Jembatan yang menghubungkan kedua ujungnya roboh oleh karena banjir. Mereka harus berjalan melalui sungai yang cukup deras itu. Bukan hal yang susah memang, toh otot-otot kedua frater itu telah terlatih denganopera (kerja tangan) mencangkul di kebun dan lain sebagainya. Di tepi sungai itu terdapat seorang gadis jelita yang ragu-ragu hendak menyeberang pula. Ternyata dia adalah gadis kembang desa yang sering ikut misa Hari Minggu di biara. Entah mengapa dan bagaimana gadis itu bisa sampai di seberang sungai itu, dan kini tak bisa kembali ke desa.

"Kau mau apa?" kata Fr. Antonius
"Aku mau menolongnya," jawab Fr. Ignatius enteng.
"Bagaimana? Sedangkan kita sendiri harus masuk ke sungai ini untuk menyeberang?"

Fr. Ignatius tidak menjawab pertanyaan konfrater-nya tersebut. Segera dia mendekati Maria, gadis kembang desa itu, berbincang sejenak, lalu kemudian menggendongnya. Dengan menggendong Maria, Fr. Ignatius masuk ke sungai dan menyeberang.

"Hey... kau ini frater... ingat kemurnianmu!!! Apa kata orang kalau melihatmu... . Hey..." Fr. Antonius meneriaki konfrater-nya tersebut.

Namun, Fr. Ignatius tidak menggubris teriakan konfrater-nya ini. Dia terus menyeberang sembari menggendong si gadis jelita itu. Kesal terhadap rekannya itu, Fr. Antonius ikut menyusul menyeberang. Dia menyeberang dengan terus saja mengomeli rekannya.

"Apa kata Romo nanti melihatmu menggendong gadis itu?"

Sesampainya di seberang, Fr. Ignatius menurunkan Maria yang jelita itu, menyalaminya, lalu segera melanjutkan perjalanan. Maria pun mengucapkan terima kasih, tetapi harus menempuh jalan yang lain, sebab ternyata dia ada urusan di desa tetangga. Fr. Antonius pun sampai pula di seberang. Segera saja dia memarahi konfrater-nya.

"Frater, kamu tahu apa yang kamu lakukan baru saja? Kamu melanggar kaul kemurnianmu dengan menyentuh, bahkan menggendong seorang perempuan!!! Kamu harus segera meminta sakramen tobat. Dosamu itu sungguh terlalu. Apa jadinya jika Romo melihatmu? Kamu masih ingin ditahbiskan menjadi imam, bukan?

"Sahabat," jawab Fr. Ignatius, "aku hanya menggendong gadis itu menyeberangi sungai, lalu menurunkannya sesampainya di seberang. Namun, kamu justru masih menggendong gadis itu sampai sekarang di pikiranmu."

^_^

disadur dan diceritakan kembali oleh Padmo Adi

Comments