AWAL DARI KISAH YANG LAIN

AWAL DARI KISAH YANG LAIN Desain cover oleh Daniela Triani   Kata Pengantar Kisah-kisah Problematika Gender yang Manga-esque   Buku ini adalah ruang-waktu yang kami ciptakan supaya teman-teman mahasiswa Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, yang terlibat di dalamnya memiliki kesempatan untuk berkarya mengartikulasikan pengalaman dan pemahaman mereka akan gender dan problematika yang ada tentang gender tersebut. Tentu teori-teori gender itu mereka dapatkan di dalam kelas. Dalam kesempatan ini, diharapkan para mahasiswa mampu mem- break down dan mengartikulasikan teori tersebut melalui sebuah kisah (fiksi) yang lebih dekat dengan mereka. Tentu saja pembahasan mengenai gender ini selalu menarik dan selalu terbuka akan berbagai macam kemungkinan. Kisah tentang gender yang dihadirkan oleh teman-teman mahasiswa Sastra Jepang ini sungguh menarik; ada kisah yang menelusuri problematika gender itu di ranah yang paling privat—ketika seseorang mempertanyakan identitas gende

Kita Bertemu pada Titik di Mana Kita Berbuat Kebaikan

Kita Bertemu pada Titik di Mana Kita Berbuat Kebaikan

Pagi ini aku mengunjungi seorang nenek yang berjualan makanan di dekat kuburan. Aku sarapan di sana. Mahasiswa/i "Universitas Humanis-Akademis Jogja" mungkin mengenal siapa nenek ini. Sepanjang aku menyantap sarapanku, nenek itu dengan bahagia menceritakan seorang "cucu angkat"-nya. Dia dulu adalah seorang mahasiswa "Universitas Humanis-Akademis Jogja" pula, sekarang sudah lulus dan bekerja di kota yang selalu ingin aku caci-maki dan umpati. Pemuda itu dulu selalu makan di warung nenek dan hubungan mereka dekat, sehingga nenek itu sudah menganggapnya cucunya sendiri. Memang setiap kali aku sarapan di sana, nenek itu selalu bercerita tentang pemuda tersebut. Nenek itu bercerita betapa baiknya dia. Murah hati.

Aku tidak tahu, apakah nenek itu mengetahui bahwa pemuda itu seorang ateis. Aku tahu dia. Ya, dia memang seorang ateis... bukan sekadar hanya seorang eksistensialis, melainkan eksistensialis-ateis. Mungkin nenek itu tidak menaruh peduli bahwa dia seorang ateis atau seorang beriman. Yang nenek itu pahami adalah bahwa dia menyayangi pemuda itu seperti cucunya sendiri, dan bahwa pemuda itu begitu baik kepada nenek. Mereka memiliki cerita yang indah.

Mungkin kalian, orang-orang beriman, mencibir... mungkinkah seorang ateis melakukan sesuatu yang baik? Apakah ada sesuatu yang baik yang berasal dari orang yang tidak mengakui Tuhan? Bahkan, mungkin kalian, orang-orang beriman, bertanya nyinyir... tidak sia-siakah kebaikan yang dilakukan seorang ateis itu? Bukankah mereka, orang-orang ateis, adalah yang empunya neraka? Dan, mungkin kalian, orang-orang beriman, menanyakan pertanyaan-pertanyaan naif lainnya.

Aku pribadi hanya teringat khotbah Papa Fransiskus beberapa waktu silam. Kurang lebih garis besar khotbah Papa Fransiskus adalah, "Kita bertemu pada titik di mana kita berbuat kebaikan."

tepi Jakal, 05 Juni 2013
@KalongGedhe

Comments

  1. Aku memiliki beberapa kawan baik dari negeri tirai bambu, di mana kebanyakan dari mereka tidak pernah 'mengenal' apa itu 'tuhan'.
    Suatu hari, aku bertanya pada salah satu dari mereka dengan keterbahasan bahasa yang kami miliki :
    "You are not belive in any god, so why you are not do some kind of bad things in your life now? No need for you to take any responsibility after you die,don't you?"
    Dan kawanku itu menjawab :
    "So, my friend ... You do the right things in your life now just because of 'affraid' ? Do it with your heart, man ! And no need any god when you do that !"

    Aku berusaha mencerna obrolan itu dengan sedikit takut bahwa penangkapanku berbeda, mengingat bahasa Inggris kami yang sama-sama kurang baik.
    Dan aku menyimpulkan bahwa kawanku ingin mengatakan, bahwa kebaikan sejati adalah dari hati, tidak peduli siapa tuhanmu (atau bahkan tidak bertuhan sekalipun).
    Bagaimana menurutmu ?

    Dan, ya tentu aku mengenal nenek itu. Sejak menginjakkan kaki untuk pertama kalinya 9 tahun yang lalu, sampai hari ini aku tetap tidak akan lupa wajahnya yang sabar dan teduh ....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Religion has nothing to do with morals.
      You don't have to be a religious man in order to be a good man.
      Sometimes, a religious man scares me a lot... for their stupidity, narrow minds, and claim of owning of God.

      I myself, an existentialist, argue that we must choose to do what is right according to our heart. And, what is right if it is not right to others?

      Delete

Post a Comment