TUJUH LEMBAR LIMA PULUH RIBU

TUJUH LEMBAR LIMA PULUH RIBU   Kalau kamu punya tiga ratus lima puluh ribu, mau kamu pakai buat beli apa?   Kalau aku, mau beli sepotong akal sehat dan seiris hati nurani.   Tapi, kalau itu terlalu mahal, aku beli buku RPUL saja, biar paham peristiwa genosida enam lima, komplit dengan kudeta merangkaknya, kemudian Pulau Buru, Talangsari, dan Malari lalu Tanjung Priok, Petrus, serta Kudatuli pun Timor Timur, Papua, Aceh, juga Trisakti.   Pernah ada masa tiga dasawarsa segalanya murah termasuk nyawamu!   Kalau kita punya tiga ratus lima puluh ribu, kita akan bertempik sorak dan berseru... HIDUP PAHLAWANKU!!!   Singosari, 10 November 2025 @KalongGedhe

Kau dan Pelacur Tua

Kau dan Pelacur Tua

Mentari belum juga terbangun
‘kau sudah berhenti terlelap
Bahkan lupa apa mimpi semalam
Ataukah mimpi indah bertemu gadis tetangga
atau mimpi buruk kehilangan pekerjaan

Tidak ada sepuluh menit
‘kau sudah selesai mandi
Lima menit berikutnya
‘kau telah siap kerja

Melompat dari angkot satu ke angkot lain
Berlari mengejar bus kota bersama ratusan lainnya
dan melanjutkan tidur sembari saling himpit di dalam bus
yang menggelinding laju menuju Jakarta

Tak pernahkah kaunikmati indahnya mentari pagi,
kicau burung yang bersahut merdu menggoda hati,
atau tangis bayi tetangga yang merengek minta susu lagi?

Di depan sana Jakarta siap menyambutmu
Gerbang tol menjadi gapura selamat datang
Namun, ‘kau harus antri
Busmu yang tadi laju kini merangkak

Di tengah bising klakson dan kepulan asap knalpot
busmu terus merangkak
berdesak-desakan dengan ribuan kendaraan lain
Semua menuju Jakarta
yang mengangkang selangkang dengan genitnya

Jakarta,
pelacur tua itu masih menawarkan impian
harapan untuk hidup kaya berlimpah harta
menggenggam puncak dunia dan mandi uang berjuta

Takkan habis uang kaukejar
Hanya menghasilkan pilu dan sendu
Dan, tiba-tiba saja ‘kau kehilangan waktumu
menjadi tua dan renta
tanpa pernah semenitpun menikmati hidup
tanpa pernah sedetikpun merasakan cinta
Karena, untuk dapat menyusu dari payudara Jakarta,
‘kau harus terus mengantri sampai mati
dan terkubur tanpa nisan di antara gedung-gedung tinggi

Warung Susu Kayen, 06 Juli 2012

Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments