KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

KETIKA TUHAN ALLAH KESEPIAN

KETIKA TUHAN ALLAH KESEPIAN

Beberapa waktu setelah TUHAN Allah mengusir manusia dari Taman Eden, Allah merasa kesepian. Allah pun turun ke Bumi, tempat Dia membuang manusia. Allah berjalan-jalan di Bumi pada waktu hari yang sejuk. TUHAN Allah mencari-cari manusia yang diciptakan-Nya itu, firman-Nya, “Di manakah engkau?” Tidak ada jawaban. Firman-Nya lagi, “Jangan takut. Tidak perlu lagi engkau bersembunyi seperti ketika pertama kali engkau mendapati dirimu telanjang setelah memakan buah terlarang itu.” Masih tidak ada jawaban. Keheranan, TUHAN Allah terus mencari manusia, sebab Dia rindu akan ciptaan-Nya yang satu itu.

Ternyata, manusia itu telah membuat suatu rumah baginya dan bagi istrinya pada suatu kaki gunung. Di sekitar rumah itu, manusia itu telah membuat ladang tempat dia menanam bahan makanan baginya dan bagi istrinya, sedangkan di depan rumah itu ada taman kecil berisi penuh dengan bunga mawar dan melati yang ditanam oleh istri manusia itu. Akan tetapi, pada waktu hari yang sejuk itu, rumah itu tampak sepi. Dari kejauhan, TUHAN Allah melihat rumah itu, lalu bermaksud mencari manusia di sana.

Sesampainya di depan pintu rumah itu, diketuk-Nya pintu itu lembut, firman-Nya, “Di manakah engkau? Apakah engkau di dalam? Inilah Aku.” Terdengar suara gaduh dari dalam. Beberapa waktu kemudian, pintu itu dibuka dengan enggan. Manusia itu hanya memakai sarung untuk menutup kemaluannya, katanya sungkan, “Allah, silakan masuk ke kediaman kami yang sederhana ini.”

TUHAN Allah heran, firman-Nya, “Manusia, mengapa engkau hanya memakai sarung?” Manusia itu menjawab, “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada di depan rumah ini dan memanggil aku, aku menjadi takut, karena aku telanjang, sebab aku sedang bersanggama dengan istriku. Semenjak kami memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, kami menyadari bahwa kami telanjang. Dan, sejak kami Engkau usir dari Taman Eden ke Bumi ini, kami pun menyadari bahwa ketelanjangan itu indah pada tempat dan waktunya, juga ketelanjangan istriku. Ketelanjangan adalah saat di mana kami telah saling mengenal dengan intim. Itulah sebabnya kami bersanggama. Lalu, aku mendengar Engkau memanggilku. Engkau memanggilku di saat kami sedang bersanggama. Aku jadi panik, sebab aku masih malu telanjang di hadapan-Mu, sehingga kuambil apa yang dapat dengan segera menutup kemaluanku. Itulah sebabnya aku hanya memakai sarung.”

TUHAN Allah berfirman, “Mengapa engkau panik saat Aku memanggilmu? Bukankah seharusnya engkau senang, sebab mungkin Aku akan membatalkan hukuman ini, dan membawamu dan istrimu kembali ke Taman Eden? Tidak tahukan engkau, bahwa Aku kesepian di sana? Aku membutuhkanmu untuk mengurus taman itu dan juga kebun anggur-Ku.” Jawab manusia itu, “Pada awalnya aku memang meratapi hukuman ini. Aku begitu menyalahkan perempuan yang Kauberikan kepadaku sebagai istriku itu. Keterlemparan kami ke Bumi ini adalah hukuman yang pahit. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, dengan berpeluh aku berhasil mengolah tanah ini sehingga berbuah. Dan, aku bangga bisa pulang kepada istriku dengan membawa hasil keringatku sendiri lalu kemudian istriku menyambutku dengan hasil olahannya. Hingga pada akhirnya, aku bisa menikmati keterlemparan ke Bumi ini sebagai sebuah kebebasan! Aku menikmati kebebasan ini. Itulah sebabnya aku panik saat mendengar Engkau mengetuk pintuku. Lagi pula, aku pun tidak siap untuk kembali ke Taman Eden.”

November 2013
Padmo Adi

Comments