KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

MENGKRITISI FUNDAMENTALISME AGAMA DI INDONESIA

MENGKRITISI FUNDAMENTALISME AGAMA DI INDONESIA
-Yohanes Padmo Adi Nugroho-

Pengantar
Tulisan ini berangkat dari rasa prihatin saya akan realita fundamentalisme beragama di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama, ada enam agama resmi yang diakui Negara Indonesia dan ada banyak sekali agama tradisional dan aliran kepercayaan. Selain itu ada pula beberapa agama di Indonesia ini yang bukan termasuk agama tradisional atau aliran kepercayaan manapun, tetapi tidak diakui oleh Negara. Fundamentalisme beragama ini dapat menjangkiti semua agama itu.
Efek dari fundamentalisme beragama ini selalu negatif. Fundamentalisme beragama erat berkaitan dengan pemahaman kita akan “orang lain” (liyan). Tatkala kita menganggap liyan itu berbahaya dan menganggap agama kita yang paling benar dan penganutnya merupakan orang-orang pilihan, saat itulah kita terjangkit fundamentalisme beragama. Ketika kita menganggap liyan berbahaya, pastilah kita akan melakukan mekanisme pembelaan diri. Kemudian, terjadilah kekerasan dan bahkan pembunuhan. Efek yang lebih mengerikan lagi adalah ketika agama bergandengan tangan dengan politik. Kekerasan yang dihadirkan tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikologis. Jika kita tidak menurut pada otoritas yang berwenang, kita tidak hanya akan mendapatkan hukuman fisik, tetapi juga diancam dengan hukuman neraka.
Agama yang mengaku membawa cinta kasih dan perdamaian pun tak luput dari ancaman fundamentalisme beragama. Justru dari nilai-nilai luhur “cinta kasih” dan “perdamaian” itu kita tergoda untuk menjadi arogan, angkuh, dan sombong. Kita kemudian memandang sebelah mata orang-orang yang tidak menganut agama kita itu, bahkan menganggap orang-orang yang melakukan kekerasan atas nama agama yang lain sebagai “bukan manusia”. Nilai-nilai luhur agama itu justru tidak dihayati, tetapi malah menjadi kesombongan. Kita menganggap diri paling hebat dengan menganut agama pembawa cinta kasih dan perdamaian.
Agama di Indonesia ini rentan pula menjadi ideologi. Agama menawarkan penafsiran yang luas sekali terhadap klaim kebenaran dan kekuasaan, sebab agama merupakan sumber pengetahuan. Ketika agama bergandengan tangan dengan kekuasaan, agama justru kehilangan jati dirinya. Jati diri agama tidak lain adalah sarana kita berziarah iman, berjumpa dengan Yang Ilahi. Namun, ketika agama bergandengan tangan dengan kekuasaan, agama justru hanya menjadi alat mobilisasi dan kontrol masa.
Tulisan sederhana ini berusaha menyingkap ada apa di balik fundamentalisme beragama itu. Saya tidak akan menyoroti fundamentalisme beragama dari dalam agama, tetapi dari luar agama. Saya akan memakai filsafat sebagai pisau bedah. Walau demikian, saya tidak bisa lepas begitu saja dari kehidupan eksistensial saya sebagai seorang Katolik, sehingga beberapa contoh nyata saya ambil dari pengalaman eksistensial saya.
Tulisan ini saya persembahkan khususnya bagi teman-teman facebook saya yang telah menemani saya berdiskusi dan bertukar informasi. Tulisan ini juga saya tujukan bagi Anda yang ingin beragama dengan bebas dan damai di Negeri Indonesia ini.
Saya berharap tulisan saya ini dapat dengan mudah mengantarkan Anda melakukan petualangan singkat filosofis. Dan, semoga Anda dapat berdialektika dengan tulisan ini, ada “pertukaran” pemahaman yang akan terjadi. Akhir kata, saya mengucapkan, “Selamat membaca.”
Yogyakarta, 24 Juli 2012
Padmo Adi



Mengapa Orang Beragama?

Sejarah Tuhan
Sudah sejak lama bangsa manusia memiliki rasa religiusitas. Manusia memiliki sejarah yang panjang dengan agamanya. Bahkan, pascaproklamasi kematian Tuhan oleh Nietzsche, orang masih saja berbondong-bondong memeluk agama. Mengapa orang beragama? Mengapa orang masih saja beragama meskipun tidak sedikit tokoh yang menyerukan ketiadaan Tuhan dan mengkritik praktek-praktek beragama?
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki rasa religiusitas. Manusia adalah homo religiosus, makhluk yang beragama. Hanya manusia yang beragama, makhluk selain manusia tidak. Manusia di dalam dirinya memiliki kesadaran bahwa ada suatu kekuatan yang diluar kekuatannya. Kekuatan itu diluar kapasitasnya, bahkan di luar kendalinya. Manusia menyebut “kekuatan” diluar kendalinya itu dengan sebutan Tuhan. Kebanyakan peradaban manusia kemudian mempersonifikasikan Tuhan itu seturut gambar dan rupa manusia. Itulah sebabnya mengapa kita sekarang memiliki gambaran Tuhan sebagai “lelaki tua berambut dan berjenggot putih”. Dan, itulah mengapa pada kebanyakan kebudayaan kekuatan alam tertentu mendapatkan wujud personifikasi ilahinya, misalnya Zeus sebagai dewa langit dan petir, Poseidon sebagai dewa air dan samudera, serta Hades sebagai dewa kematian dan dunia akhirat.
Bahasa manusia terbatas. Manusia tidak mampu secara lengkap menggambarkan dan menjelaskan kekuatan di luar dirinya tersebut. Itulah sebabnya kemudian manusia menggunakan mitologi untuk mengungkapkan apa yang mereka sebut Tuhan itu. Kalau kita menilik sejenak cerita-cerita yang ada dalam Alkitab, khususnya Kitab Kejadian, dan membandingkannya dengan beberapa kisah mitologi, kita akan menemukan kemiripan atau setidaknya cerita-cerita itu pararel satu sama lain. Kisah Nuh di dalam Kitab Kejadian, misalnya, pararel dengan cerita Atrahasis, Ziusudra (versi Sumeria), Utnapishitim (versi Epos Gilgames), Xisuthros (versi Berreseus)[1], dan Deucalion (versi mitologi Yunani).
Dengan mitologi itu manusia mencoba menggambarkan dan menceritakan apa dan bagaimana Tuhan itu sekaligus bagaimana Tuhan dan manusia menjalin relasi sepanjang sejarah. Dengan bahasa mitologi, manusia memiliki keleluasaan di dalam menggambarkan Yang Ilahi yang tak terkatakan tersebut. Manusia pun dapat menjawab pertanyaan “mengapa” terjadi ini, terjadi itu, ada ini, dan ada itu. Dengan menggunakan bahasa mitologi tersebut, manusia mengalami Tuhan, yang memiliki kekuatan yang tak mampu dikuasai manusia itu, begitu dekat dengan kehidupan manusia. Tuhan digambarkan terlibat di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Bahkan, terkadang Tuhan digambarkan menyamar sebagai manusia untuk menemui umat manusia. Dikatakan pula bahwa manusia ini atau manusia itu merupakan keturunan langsung dari Tuhan. Hubungan manusia dengan Tuhannya berpengaruh besar terhadap hubungan manusia dengan orang lain. Manusia menghormati kehadiran orang lain sebab jangan-jangan orang asing yang hadir di hadapan mereka itu merupakan Tuhan yang tengah menyamar.
Seiring berjalannya waktu, pemahaman manusia akan Tuhan terus berkembang. Ide mengenai monoteisme muncul ke permukaan. Pada mulanya, monoteisme tidaklah seketat sekarang, hanya ada satu Tuhan. Bangsa yang pertama kali mengembangkan paham monoteisme adalah Bangsa Yahudi. Pada awalnya mereka memang mengenal banyak Tuhan, mulai dari Tuhan orang Babel, Kanaan, hingga Mesir. Meskipun demikian, mereka hanya menyembah El, Tuhan nenek moyang mereka. Pemahaman mereka pun berkembang. Akhirnya, mereka tidak lagi mengakui dewa-dewa bangsa asing itu sebagai Tuhan. Pemahaman ini memuncak ketika Musa memperkenalkan satu-satunya Tuhan yang harus disembah Bangsa Israel, YHWH[2]. Figur YHWH dicampur dengan figur El, maka dikenallah figur YHWH Elohim[3]. YHWH Elohim kemudian menjadi satu-satunya Tuhan yang nyata, sedangkan Tuhan bangsa-bangsa lain sebenarnya tidak ada. Bangsa Israel percaya bahwa YHWH Elohim merupakan Tuhan semesta alam dan Tuhan segala bangsa.
Nama ‘YHWH’ (hwhy) berkaitan erat dengan peristiwa teofani[4] kepada Musa di Gunung Sinai. Ketika Musa bertanya siapakah nama Tuhan yang berbicara dengannya dan mengutusnya itu, Tuhan menjawab dengan memberikan semacam teka-teki, “Ehyeh asher ehyeh” (hyha rva hyha). Di dalam Bahasa Inggris kalimat itu diterjemahkan menjadi “I am who am”. Di dalam Bahasa Indonesia kalimat ini diterjemahkan menjadi “Aku adalah aku”, karena Bahasa Indonesia tidak mengenal kata kerja “to be”. Secara literal, kalimat itu dapat diterjemahkan menjadi “Aku yang ada”. Kata “ehyeh” berasal dari kata “hayah” (hyh) atau “hawah” (hwh) yang artinya “hidup” atau “ada”. Jadi, nama YHWH hendak menunjukkan bahwa Tuhan itu hidup dan senantiasa ada bagi umatnya.[5]
Paham Tuhan yang monoteis ini menyingkirkan tuhan-tuhan yang lain selain yang dipahami. Baal yang merupakan Tuhan bagi orang-orang di Kanaan oleh orang Israel dijadikan nama penghulu setan, Baalzebul (Beelzebul). Di dalam sepuluh perintah Tuhan yang dibawa Musa tertulis jelas: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.”[6] Selain itu, Tuhan yang awalnya dekat sekali dengan manusia hingga terkadang berjalan-jalan di bumi dengan menyamar sebagai manusia, mulai dijauhkan dari manusia. Tuhan tidak lagi menyamar sebagai manusia ketika menampakkan diri-Nya. Tuhan mulai menampakkan diri dengan segenap keilahian-Nya. Tuhan hadir di dalam semak yang berkobar, lewat awan yang menyelimuti gunung, lewat kilat serta petir, dan bahkan manusia yang melihat wajah-Nya akan mati seketika. Tuhan menjadi eksklusif. Tuhan menjadi jauh tak terjangkau di langit biru. Untuk menjangkau Tuhan, manusia membutuhkan perantaraan para imam. Sedangkan Tuhan membutuhkan perantaraan para nabi untuk menyapa manusia.
Akan tetapi, pemahaman bahwa “orang lain bisa jadi adalah Tuhan yang menjelma” tidak lenyap begitu saja dari pemahaman manusia. Pada beberapa peradaban, pemahaman “Tuhan yang bersemayam pada diri manusia” tumbuh beriringan dengan “Tuhan monoteis yang jauh di langit biru”. Tuhan bersemayam pada diri setiap manusia. Manusia adalah Bait Tuhan. Bahkan, ada pula yang memahami bahwa Tuhan ada pada setiap makhluk di semesta ini. Di dalam kepercayaan Orang Jawa, berkembang pemahaman “manunggaling kawula Gusti”.[7] Di sini saya tidak akan mengupas “manunggaling kawula Gusti” lebih dalam, sebab hal itu dapat menjadi pokok bahasan sendiri yang membutuhkan lebih banyak halaman. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa pemahaman Tuhan yang begitu dekat dengan manusia tidak serta-merta lenyap ketika paham Tuhan monoteis yang begitu jauh di langit biru itu hadir. Kristianitas yang memiliki akar dari agama Yahudi, mengembangkan pula paham-paham tersebut. Orang-orang Kristiani percaya bahwa Roh Tuhan (Roh Kudus) tinggal dan berkarya pada segenap umat manusia, dan di saat yang sama mereka mengimani Tuhan yang satu yang ada di surga. Bahkan, Yesus di dalam perumpamaan memerintahkan orang-orang Kristiani untuk memperlakukan sesama manusia, terutama mereka yang membutuhkan, seakan-akan mereka memperlakukan Tuhan itu sendiri.[8]

Penghayatan Religius
Hingga pembahasan ini kita belum menemukan jawaban mengapa manusia beragama. Penghayatan religius merupakan suatu hal yang manusiawi. Manusia menemukan Tuhan di dalam pencariannya akan siapa dirinya sebenarnya. Manusia menyadari keberadaan Tuhan di dalam kesadaran mengenai keberadaannya sendiri. Pencarian dan perjalanan religiusnya mengantarkan manusia kepada Tuhan. Aku menyadari keberadaanku. Aku pun menyadari engkau yang juga berada bersama-sama dengan aku. Aku dan engkau bersama-sama menjadi kita. Di dalam kebersamaan kita itu, aku menyadari keberadaan Engkau (dengan E kapital) yang mendasari dan menjadi model dari keberadaan aku dan engkau.
Di dalam hidup ini, kita mengalami banyak sekali keterpesonaan akan sesuatu. Keindahan dan keteraturan alam, atau bahkan kekuatan mematikan dari alam yang dahsyat, membuat kita berdecak kagum. Perasaan takjub semacam itu tak terperikan. Kata-kata kita tak cukup untuk menampung luapan ketakjuban tersebut. Perasaan itu tidak hanya menyentuh emosi kita, tetapi juga menggerakkan segenap jiwa-badan kita, sebab jiwa-badan kita merupakan suatu kesatuan utuh. Kita akan merinding dibuatnya, bahkan terbata-bata. Keterpesonaan itu mengantarkan kita kepada Tuhan. Di hadapan Tuhan, kita mengalami misteri yang sangat menakutkan, tetapi sekaligus menakjubkan sehingga membuat kita ingin mendekat. Kita mengalami situasi yang dinamakan tremendum et fascinosum, ketakutan sekaligus ketertarikan. Kita ketakutan karena Tuhan begitu lain dengan aku, tetapi di sisi lain aku rindu untuk mendekat sebab dia begitu sama dengan aku. Di hadapan Tuhan, kita mengalami pergolakan yang sangat emosional, sehingga menggerakkan kita untuk tersungkur dan menyembah. Perjumpaan dengan Tuhan yang begitu berbeda itu mendasari perjumpaan kita dengan orang lain.
Pengalaman religius itu pula yang mendasari mengapa kita beragama. Kita ingin tetap berada di dekat Tuhan. Kita membutuhkan sarana untuk dapat berjumpa dengan Tuhan. Aku menyadari bahwa bukan hanya aku saja yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan, tetapi orang lain pun juga. Maka, aku memerlukan agama sebagai sarana untuk dapat berjumpa dengan Tuhan bersama-sama dengan orang-orang lain. Akan tetapi, Y.B. Mangunwijaya, atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Romo Mangun, memperingatkan kita bahwa religiusitas tidak sama dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada ‘Dunia Atas’ dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya, yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Sedangkan religiusitas lebih melihat aspek yang berada ‘di dalam hati’, riak getaran nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menafaskan intimitas jiwa, ‘du coeur’ dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi si manusia. Agama hanya merupakan sarana belaka. Yang pokok adalah religiusitas, bukan agama.[9]

Alasan Lain
Akan tetapi, tidak dapat kita pungkiri bahwa kita memiliki segenap alasan lain untuk beragama. Di Indonesia orang yang tidak beragama, atau tidak mencantumkan satu dari enam agama resmi yang diakui negara di dalam kartu identitasnya, akan diidentikkan dengan ateis. Ateisme di Indonesia, sejak pergolakan sosial-politik 1966, dianggap kriminal. Maka, orang-orang yang tak beragama atau orang yang terang-terangan mengaku ateis di Indonesia sama dengan kriminal.[10] Untuk mendapatkan rasa aman, maka mereka berbondong-bondong menuliskan salah satu agama di dalam kartu identitas mereka. Selain itu, agama memberi mereka identitas yang jelas. Identitas ini meneguhkan jati diri mereka. Agama memberi mereka “baju” yang dapat membedakan aku dengan orang lain. Ada pula yang memeluk agama tertentu sebagai syarat menduduki jabatan tertentu. Ada pula yang melakukan untuk uang. Dan, masih banyak alasan non-religius lain yang dipakai orang untuk memutuskan memeluk suatu agama.



            Agama Memberiku Identitas di dalam Perjumpaanku dengan Orang Lain

Agama Menawarkan Identitas
Pada bab sebelumnya kita telah membahas mengenai mengapa orang beragama. Manusia memiliki rasa religiusitas. Manusia ingin menghayati rasa religiusitasnya ini. Agama menjadi sarana dari penghayatan religius. Mengikuti rasa religiusitasnya itu, manusia ingin menemukan siapakah Tuhan. Di dalam pencariannya akan Tuhan, manusia menemukan siapa sebenarnya dirinya. Agama, selain menjadi sarana penghayatan religiusitas ini, menawarkan suatu identitas. Dengan memeluk agama tertentu, orang dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
Agama menawarkan suatu pegangan. Dengan memegang pegangan itu, orang memperoleh arah yang pasti di dalam menghayati hidup ini. Orang mendapatkan jalan yang jelas menuju keselamatan. Segala hal di dalam hidup ini seakan-akan menjadi gamblang, termasuk hal-hal yang pribadi. Demi kejelasan jalan keselamatan itulah kemudian agama memasuki area pribadi seseorang. Agama mulai mengatur bagaimana seseorang berpakaian, kapan dia harus bangun, kapan dia harus makan, apa yang boleh dan tidak boleh dimakan, bagaimana dia harus bersyukur sebelum mulai makan, kapan saja saat seseorang harus menyepi dan berdoa, orang boleh menikah atau tidak, bagaimana orang harus menikah, bahkan agama mengatur urusan ranjang seseorang. Semuanya itu memberi identitas kepada seseorang. Orang itu seorang Kristiani sebab dia mengenakan kalung salib. Orang ini seorang Muslimah sebab dia mengenakan jilbab. Orang itu seorang Katolik dan bukan seorang Protestan sebab dia pergi ke Gereja dengan membawa Puji Syukur dan bukan Alkitab. Orang itu Katolik Orthodox sebab dia shalat menghadap ke timur.
Dengan identitas ini aku membangun kesadaranku. Pertama-tama aku membangun kesadaran akan diriku sendiri. Aku seorang Katolik, sebab ada nama baptis Yohanes di depan nama panjangku. Aku pergi ke Sekolah Minggu dan mendapat pelajaran moral pertamaku di sana. Aku pun pergi misa setiap Minggu bersama kedua orang tuaku. Aku berdoa dengan terlebih dahulu membuat tanda salib. Menerima Tubuh Kristus akan menjadi kebahagiaan tersendiri di dalam hidup ini. Perbuatan kasih adalah aturan moral pertama yang harus aku lakukan sebab Alkitab mengatakannya demikian. Dan seterusnya. Dengan identitas yang diberikan oleh agama ini pula aku pun melihat dunia di sekitarku. Aku mendapati diriku unik sebab aku bertemu orang dengan identitas yang berbeda-beda. Dengan agama aku menjadi individu, yang terbedakan, sebab aku menemukan orang-orang yang sungguh lain denganku. Aku unik dengan kekatolikanku sebab aku bertemu dengan orang yang memiliki identitas berbeda, dia memakai jilbab. Ada pula di sana orang mengenakan peci, memelihara janggut panjang, dan membawa tasbih. Sedangkan di sebelah sana ada orang yang berkepala plontos dan hanya berbalut selembar kain merah.
Sebelumnya aku telah memiliki gambaran identitas. Ketika hendak keluar memandang dunia, aku berharap dunia tidak jauh berbeda dengan identitas yang telah aku gambarkan. Akan tetapi, ternyata dunia begitu berbeda dengan aku, terlebih di Indonesia, negeri yang multikultur ini. Aku Katolik, ayah ibuku pun Katolik, tetapi ketika aku pergi ke rumah saudara sepupuku, aku sadar bahwa mereka bukan Katolik, sebab mereka tidak makan babi. Saudara sepupuku ternyata seorang Muslim. Ketika di sekolah ada perayaan ekaristi, aku terkejut, sebab tidak semua orang Kristiani menerima komuni. Ternyata beberapa teman sekelasku beragama Kristen Protestan. Realita dunia yang begitu berbeda dengan realita aku ini mengguncangkan. Apa yang harus aku lakukan berhadapan dengan yang sungguh-sungguh berbeda?
Kita semua mengalami keterkejutan ketika berhadap-hadapan dengan dunia yang menampakkan hal-hal yang sangat berbeda dengan kita. Perjumpaan kita dengan dunia tidak hanya memberi gambaran kepada kita tentang siapa itu orang lain, tetapi juga memberikan gambaran kepada kita tentang siapa diri kita sebenarnya. Kita pun akan bereaksi, atau takut lalu menghindar, atau justru penasaran dan ingin lebih mengenal. Orang lain akan menjadi cermin bagi kita untuk memandangi wajah kita sebenarnya. Pada umumnya, kita enggan memandang wajah buruk kita, kemudian lebih suka menghindar. Kita terguncang. Kita mengalami apa yang dinamakan cognitive-dissonance.

Cognitive Dissonance
Apa itu cognitive-dissonance? Teori ini disampaikan oleh Festinger. Unsur dasar dari teori ini mencakup unsur-unsur kognitif yang ada dalam diri manusia, yaitu pemahaman, pengetahuan, atau keyakinan seseorang tentang dirinya sendiri, tentang sikap dan tindakannya, atau tentang lingkungan hidupnya.[11] Semua keputusan yang kita ambil berkaitan erat dengan unsur-unsur kognitif di atas. Aku tahu mengendarai sepeda motor tanpa helm itu tidak baik, maka aku tidak melakukannya, atau minimal aku melakukannya tanpa diketahui polisi. Ada konsistensi dari apa yang kita ketahui dengan yang kita lakukan.
Namun, benarkah selalu ada konsistensi dari apa yang kita ketahui dengan keputusan yang kita ambil? Ternyata tidak. Misalnya saja tentang toilet stasiun kereta api, di toilet itu tertulis dengan jelas “toilet gratis”, tetapi di dalamnya ternyata ada seseorang yang duduk di bibir pintu dengan sebuah kotak uang. Walaupun telah membaca “toilet gratis”, setelah kencing, kita pasti akan dengan sungkan membayar setidaknya Rp 1.000,00 kepada penjaga tadi. Inkonsistensi ini, menimbulkan ketegangan psikologis. Situasi ini mendorong kita melakukan sesuatu untuk dapat mengatasi atau menghilangkan ketegangan tersebut. Teori cognitive-dissonance Festinger menawarkan tiga solusi untuk mengatasi situasi ketegangan tersebut. Pertama adalah rasionalisasi (explanatory schemes), dukungan kelompok (social support), atau menghindari sumber ketidakselarasan (avoidance of dissonance).



a.       Rasionalisasi
Rasionalisasi atau menjelaskan mengapa terjadi dissonance (ketegangan) merupakan cara yang paling umum dilakukan. Bentuknya bisa memodifikasi unsur-unsur yang menimbulkan dissonance atau membuat interpretasi alternatif keyakinan yang ada. Teori-teori teologi dan filsafat bisa merupakan salah satu bentuk rasionalisasi dissonance ini. Kita kembali ke kasus perbedaan agama antara tokoh aku dengan saudara sepupunya di atas. Dunia dan pengetahuan yang pertama kali dikenal dan membentuk identitasku adalah Katolik. Akan tetapi, begitu aku berkunjung ke rumah pamanku, aku menyadari saudara sepupuku, yang satu kakek denganku itu, beragama Muslim. Aku di lingkungan keluarga inti dapat dengan bebas makan babi atau menawarkan makanan babi kepada ayah dan ibu. Tetapi, aku tidak dapat dengan ramah menawarkan makanan babi itu kepada saudara sepupuku karena dia tentu tidak makan babi. Hal ini menimbulkan ketegangan di dalam diriku. Kemudian, aku merasionalisasi, secara sederhana aku mengatakan bahwa “perbedaan itu indah”, atau “kakekku seorang pancasilais sejati sebab menghargai perbedaan agama anak-anak dan cucu-cucunya”. Secara lebih canggih, kemudian aku membawa dissonance itu kepada perenungan teologis dan filosofis. Bisa saja kemudian aku menyimpulkan bahwa “manusia dilahirkan bebas dan berbeda dari yang lain, bahkan saudaranya sendiri, sehingga mereka bebas memilih siapa mereka dan agama apa yang akan mereka anut” atau “walau berbeda agama, toh kami menyembah Tuhan yang satu dan sama, ibarat planet-planet yang mengitari satu matahari yang sama”. Tradisi-tradisi yang panjang dan kaya merupakan sumber kekuatan untuk menghadapi atau merelativisasi unsur-unsur yang menimbulkan dissonance.[12]

b.      Dukungan Sosial
Suatu kelompok dapat menjadi sumber dan sekaligus sarana efektif untuk mengurangi dissonance. Perjumpaan kita dengan dunia mungkin akan mengakibatkan terjadinya dissonance. Akan tetapi, dengan mencari dan bertemu dengan orang lain yang memiliki pandangan atau keyakinan yang sama, seseorang bisa mengatasi atau setidaknya mengurangi dissonance.
Dukungan sosial dari kelompok agama yang sama dengan kita bisa menjadi sarana yang sangat nyaman untuk mengurangi dissonance. Keberadaan kelompok sosial seperti ini sebenarnya sudah merupakan pengakuan sosial atas keyakinan-keyakinan dan paham-paham tertentu. Semakin banyak orang bergambung bersama kelompok tersebut, makin besar pula kekuatan untuk mengatasi dissonance. Semakin banyak orang bergabung ke dalam kelompok tersebut berarti makin banyak pula orang yang mengamini keyakinan atau pemahaman kelompok itu. Komitmen yang kuat untuk menarik sebanyak mungkin orang masuk ke dalam kelompok (convertion) merupakan cara yang efektif untuk mengurangi ketegangan yang ada.
Agama-agama yang memiliki sejarah yang panjang dan tradisi yang kaya menyediakan banyak sekali sarana untuk melindungi anggota kelompok dari dissonance. Agama-agama ini akan memberikan penjelasan yang melemahkan unsur-unsur yang menimbulkan dissonance atau menyampaikan gagasan alternatif yang meyakinkan anggota-anggotanya bahwa dissonance sebenarnya tidak perlu terjadi. Kita kembali mengambil contoh tokoh aku di atas. Untuk menghilangkan dissonance bahwa saudara sepupuku sendiri berbeda agama dengan aku, aku bisa menarik diri kepada Gereja dengan segenap aktivitasnya. Di Gereja aku menemukan teman-teman sebaya yang seagama denganku, bahkan Gereja mengajarkan untuk menyebut mereka sebagai saudara seiman. Kemudian lebih jauh, setelah dewasa bisa saja aku membaca Karl Rahner, teolog Katolik terbesar di masanya itu, dan menyetujui pemikirannya bahwa Roh Kudus pun berkarya melalui orang-orang non-Kristiani dan ikut-ikutan Karl Rahner menyebut mereka “Kristen Anonim”[13].

c.       Menghindari Sumber Ketidakselarasan
Menghindari sumber dissonance merupakan cara yang paling mudah. Dissonance harus dihindari sekarang dan di masa depan. Secara sederhana, supaya tidak terjadi dissonance, kita semata-mata menghindari, menutup mata, acuh tak acuh, atau bahkan memusnahkan sumber dissonance tersebut. Untuk lebih jelasnya, kita kembali ke contoh tokoh aku di atas. Untuk menghindari dissonance bahwa saudara sepupuku berbeda agama denganku, bisa saja aku tidak pernah lagi mengunjungi dan menemuinya. Atau, ketika aku ingin sekali makan babi di warung, aku tidak mengajaknya. Atau, aku pura-pura tidak peduli apa agama dia, sebab hal ini bukan urusanku dan hanya mengganggu ketenanganku. Atau, aku kemudian menjadi agnostik, tidak peduli pada agamanya juga tidak peduli pada agamaku sendiri, walau di dalam hati aku masih memercayai Yang Ilahi. Atau, aku memutuskan hubungan persaudaraan dengan dia. Atau, ini contoh yang sangat ekstrim, tetapi terjadi di Indonesia, aku mendatanginya, mengajaknya masuk agamaku, dan jika dia tidak bersedia, aku membunuhnya, melenyapkannya.


Perjumpaan dengan Orang Lain (Liyan)
Perjumpaan dengan orang lain selalu menuntut kita untuk bertanggung jawab. “Tanggung jawab mendahului kebebasan,” kata Emmanuel Levinas. Kita dituntut untuk melakukan sesuatu terhadap orang lain yang hadir di hadapan kita itu. Akan tetapi, perlakuan kita terhadap orang lain itu tidak lepas dari gambaran kita akan manusia. Gambaran tentang manusia (humanisme) ini diajarkan pula pada semua agama, bahkan bisa dikatakan bahwa agama-agama itu merupakan suatu humanisme tersendiri. Humanisme, atau pandangan mengenai manusia ini, memang sangat luas dan banyak sekali macamnya, mulai dari humanisme-ateisme, humanisme-eksistensialisme, humanisme-religius, dan sebagainya. Masing-masing humanisme memiliki pandangan yang khas mengenai manusia. Pada umumnya semua humanisme itu, baik yang ateis maupun yang religius, ingin memberikan gambaran tentang manusia dan menempatkan manusia di tempat yang semestinya di alam semesta ini. Agama, sejauh memikirkan tentang keselamatan manusia, sebenarnya merupakan humanisme juga. Akan tetapi, pada umumnya kalangan religius yang menganggap bahwa agamanya merupakan satu-satunya jalan keselamatan yang paling benar menuduh humanisme sebagai suatu musuh yang sesat. Di lain sisi, orang-orang yang merasa terhimpit oleh dogma-dogma agama menggandeng humanisme sebagai pahlawan pembebasan.
Di dalam humanisme itu kita mendapatkan gambaran tentang apa itu manusia, siapa itu manusia, dan bagaimana itu manusia. Kita akan mendapat gambaran tentang siapa kita dan siapa yang tengah hadir di hadapan kita. Sayangnya, humanisme yang selama ini kita kenal adalah humanisme yang eropasentris. Kita akan merasa benar-benar menjadi manusia ketika kita berdandan a la Eropa, misalnya. Kita bisa melihat raja-raja kita yang kemudian mengadaptasi gaya berpakaian bangsawan Eropa, atau bahkan presiden pertama kita yang gemar memakai jas[14]. Kesadaran ini membuat kita memandang sebelah mata manusia yang tidak eropa. Bahkan, di dalam alam bawah sadar kita, kita merasa rendah diri di hadapan orang-orang Eropa. Kita begitu bangga jika bisa menguasai salah satu bahasa Eropa, Bahasa Jerman misalnya. Kita begitu heboh ketika bertemu dengan para turis dari Eropa, kita berebut meminta foto bersama turis Eropa tersebut seakan-akan dia adalah artis terkenal. Akan tetapi, di sisi lain, justru oleh karena kerendahan-diri di hadapan orang-orang Eropa itu, kita begitu membenci segala sesuatu yang berasal dari Eropa seakan-akan hanya kejahatan dan amoral yang dihasilkan oleh orang-orang Eropa. Kemudian kita mencari padanan. Jika selama ini kita menjadikan Eropa sebagai kiblat kebudayaan, kemudian kita mencari kiblat yang lain, misalnya Arab (Timur Tengah) atau Korea Selatan dan Jepang. Kita mengagung-agungkan yang satu dan membenci yang lain. Yang lebih menyedihkan adalah, kita justru kehilangan jati diri sebagai bangsa yang memiliki identitas yang khas, sistem kebudayaan yang tak kalah canggih dibanding kebudayaan lain, dan kemampuan yang bisa disandingkan dengan bangsa-bangsa tersebut di atas.
Inferiority complex[15] tersebut mengebiri kemampuan kita untuk senantiasa mengadaptasi unsur-unsur asing. Nenek moyang kita mampu mengadaptasi unsur-unsur asing. Kebudayaan Hindhu yang khas India itu mampu diadaptasikan dengan iklim tropis Nusantara, sehingga kemudian kita “memiliki” kebudayaan itu tanpa harus menjadi “India”. Nenek moyang kita pun mampu mengadaptasikan Islam sehingga selaras dengan rasa religius bangsa ini. Ketika Kekristenan tiba di Nusantara pun nenek moyang kita berhasil menyelaraskan dengan kebudayaan yang telah ada serta menyelaraskan dengan rasa religius bangsa ini.
Akan tetapi, sekarang kita justru menganggap rendah jati diri kita sendiri dan memandang agung bangsa-bangsa dari luar Nusantara. Orang-orang Katolik Roma dan Kristen Protestan mengagung-agungkan orang-orang Eropa dan Amerika Serikat. Orang-orang Katolik Timur dan Islam mengagung-agungkan orang-orang Arab dan Timur Tengah pada umumnya. Hal ini tidak disertai dengan rasa bangga sebagai suatu bangsa yang memiliki ciri khas, justru kita mulai kehilangan ciri khas tersebut. Satu sisi kita mendapatkan identitas baru, kita menjadi penganut agama tertentu. Akan tetapi, di sisi lain kita kehilangan identitas kita, sebagai bagian dari Bangsa Nusantara.
Dengan situasi yang demikian itulah kita bertemu dengan tetangga kita sesama Warga Negara Indonesia. Kita memiliki identitas baru sebagai penganut agama tertentu. Akan tetapi, kita kehilangan kemampuan untuk mengadaptasi kebudayaan tempat agama itu berasal dengan lingkungan tropis kita. Sehingga, ketika kita berjumpa dengan sesama Warga Negara Indonesia yang menganut agama lain, seakan-akan kita bertemu dengan orang-orang dari kebudayaan yang sangat lain dengan kita.
Ketika kita bertemu dengan sesama orang Indonesia, kita justru merasa bertemu dengan orang lain yang benar-benar lain. Kita lupa bahwa kita sama-sama Warga Negara Indonesia, hanya karena kita menganut agama yang berbeda-beda. Mengapa hal ini bisa terjadi? Agama adalah humanisme sebab memberikan gambaran tentang manusia. Agama menjelaskan manusia yang bagaimana yang layak mendapatkan keselamatan. Pada umumnya gambaran agama mengenai manusia ini bernuansa dualistis, hitam atau putih, baik atau buruk, teis atau ateis, beriman atau kafir, pengikut Tuhan atau pengikut setan. Kita menempatkan cap negatif kepada mereka yang tidak seagama dengan kita. Kita terlebih dahulu berasumsi negatif (negative thinking/suudzon) terhadap penganut agama lain. Kita merasa iman kita terancam ketika berjumpa dengan penganut agama lain, seakan-akan mereka datang hanya untuk memurtadkan kita saja. Inferiority complex yang sebelumnya kita rasakan terhadap bangsa-bangsa asing kini kita rasakan terhadap sesama Bangsa Indonesia sendiri hanya karena kita berbeda agama dengan mereka.
Kita tidak memiliki kepercayaan diri dan tidak memiliki integritas diri. Kita membatinkan hal tersebut hingga masuk ke dalam alam bawah sadar kita. Kemudian kita mencari pegangan yang kokoh supaya kita merasa memiliki jati diri yang jelas. Pegangan kokoh itu ada pada agama. Akan tetapi, ternyata ada banyak agama selain agama yang kita anut. Hal ini membangkitkan kembali rasa ketidakpercayaan diri tersebut. Kita menjadi ragu. Maka, untuk mengelak dari keraguan itu dan kembali memiliki jati diri yang jelas, kita mengafirkan, mengecap sesat, dan menyetankan pemeluk agama-agama yang lain.

Ketika Tuhan Begitu Dekat dengan Kita
Ketika kita memahami Tuhan sebagai Yang Mahakuasa yang dapat turun ke bumi dan berjalan-jalan dengan menyamar sebagai manusia, kita selalu menaruh hormat kepada orang lain. Jangan-jangan orang asing yang tengah mengetuk pintu rumah kita dan meminta segelas air putih itu adalah Tuhan yang tengah menyamar sebagai manusia. Maka, kita menjadi ramah pada setiap orang yang kita jumpai. Masih segar di dalam ingatan kita cerita mengenai Abraham yang kedatangan tamu tiga orang asing[16]. Abraham begitu tergopoh-gopoh menyambut mereka dengan keramahan termewah yang dia bisa. Abraham kemudian menjamu mereka dengan hidangan terbaik yang dia miliki. Ternyata tiga orang asing itu tak lain adalah Tuhan bersama dua Malaikat-Nya.
Akan tetapi, tatkala kita memahami Tuhan sebagai Yang Mahatinggi, yang demikian jauh tak terjangkau kemanusiaan kita, kita menaruh Tuhan di tempat yang sangat eksklusif. Hanya orang-orang eksklusiflah yang kemudian dapat menjangkau Tuhan. Kita kemudian mulai membangun mitos mengenai “bangsa terpilih” atau “umat pilihan”. Hanya “umat pilihan” inilah yang dapat menjangkau Tuhan beserta segala keselamatan yang telah dijanjikan. Di luar “umat pilihan” ini hanya ada kekafiran, kenajisan, dosa, amoral, dan hal-hal menjijikkan lainnya. Hal ini memengaruhi pandangan kita mengenai orang lain. Kita sedemikian waspada terhadap orang lain. Bahkan, di dalam benak kita, kita memandang orang lain bukan sebagai manusia, semata hanya karena dia tidak menganut agama yang sama dengan kita. Mereka yang di luar agama atau mazhab kita adalah binatang, bukan manusia, yang halal darahnya, dapat kita lukai atau kita bunuh sesuka hati kita. Di dalam pandangan kita hanya ada hitam atau putih. Jika aku dan agamaku adalah puith, maka yang di luar agamaku adalah hitam, demikian sebaliknya. Pandangan hitam-putih ini sangat naif, apa lagi mengingat Indonesia merupakan negeri multikultur. Memang kita harus berhati-hati terhadap orang lain. Tidak mungkin kita begitu saja menaruh kepercayaan atas sesuatu yang pribadi kepada orang yang baru saja kita jumpai. Akan tetapi, kewaspadaan terhadap orang lain ini yang sedemikian ekstrim hanya menghasilkan asumsi negatif terhadap orang lain. Asumsi negatif ini kemudian disusul dengan kekerasan terhadap orang lain. Padahal, belum tentu asumsi kita sesuai keadaan yang ada.
Di sisi lain, ketika kita telah meuniversalkan mitos “umat pilihan” ini, lalu membangun paham bahwa keselamatan ditujukan untuk semua manusia, bukan berarti kita telah lepas begitu saja dari godaan. Godaan yang lain di dalam beragama adalah arogansi religius. Kita begitu bangga memeluk agama yang telah meuniversalkan mitos “umat pilihan” tersebut. Kita begitu bangga memeluk agama yang mengajarkan cinta kasih dan damai sejahtera. Kita begitu bangga memeluk agama yang telah melampaui proses transformasi dan transvaluasi. Kita selalu mengutib kata-kata bijaksana yang dipenuhi kata cinta, kasih, dan damai. Kita asyik up-date status facebook atau menge-tweet di twitter kata-kata mutiara dari para nabi dan orang-orang suci. Tanpa kita sadari kemudian kita tergoda untuk memandang rendah dan hina orang-orang yang memeluk agama lain, terutama agama yang tidak secara eksplisit mengajarkan cinta kasih dan damai sejahtera, atau kepada pemeluk suatu agama yang memiliki sejarah berdarah yang berisi perjuangan dan peperangan. Kita tergoda untuk memandang sebelah mata orang-orang yang tidak menjalankan ritus agama dengan baik atau bahkan membenci orang-orang yang menolak memeluk agama tertentu (agnostik[17] dan ateis[18]). Kita menjadi sombong dan arogan. Kita bahkan tidak mampu memahami dan menghargai situasi dan kondisi pemeluk agama lain. Lalu, untuk apa semua ajaran cinta kasih dan damai sejahtera yang diajarkan agama itu kalau kemudian kita justru menjadi pribadi yang sombong dan arogan? Percuma saja kita mengaku memeluk agama yang mengajarkan cinta kasih dan damai sejahtera jika kita tetap saja tidak mampu menghormati kemanusiaan. Agama kemudian hanya menjadi baju yang kita kenakan di luar, hanya menjadi pelampiasan narsisme kita, tetapi tidak menjadi semangat yang menjiwai setiap tindakan kita, tidak mengubah apa-apa di dalam hidup kita, dan tidak mengantarkan kita lebih dekat dengan Yang Ilahi.
Tuhan adalah yang sedemikian lain dari pada kita. Kita tidak akan pernah bisa merangkum Tuhan yang tak terbatas di dalam kemanusiaan kita yang terbatas. Memang benar bahwa kemanusiaan kita tak mampu menjangkau Tuhan secara paripurna. Akan tetapi, justru karena wajah Tuhan begitu diselimuti oleh tabir yang pekat, kita mencoba untuk menyingkapkan wajah Tuhan itu dengan menampakkan wajah ramah terhadap orang lain, menghormati orang lain, pemahaman lain, dan kepercayaan lain. Justru oleh karena kesadaran bahwa kita tidak mampu merangkum Tuhan di dalam pemahaman kita, kita menghargai perbedaan yang ada. Perjumpaan religius antara kita dengan Tuhan (melalui agama) menjadikan kita mampu ramah terhadap orang lain yang berbeda dengan kita sebab kita sadar bahwa orang lain pun berjumpa dengan Tuhan dengan cara mereka sendiri yang unik dan khas.
Kehadiran Tuhan merupakan suatu suasana misteri, kata Gabriel Marcel.[19] Di dalam keadaanku sebagai manusia, aku merasakan bahwa aku diliputi suatu misteri, suatu kehadiran yang melampaui jangkauan kemanusiaanku. Perjumpaanku dengan Tuhan itu kemudian mendasari perjumpaanku dengan orang lain. Kita tidak perlu membuktikan kehadiran Tuhan tersebut sebab kita “percaya” dan ditarik oleh “cinta” Tuhan yang mengundang kita untuk mencintai pula. Orang lain dengan caranya yang unik dan khas juga hadir di hadapanku. Sebagaimana kita menerima kehadiran Tuhan tanpa perlu menjadikan Tuhan obyek pembuktian, kita pun menerima kehadiran orang lain apa adanya tanpa hasrat menguasainya (menjadikan orang lain obyek keinginan kita) dan menghakiminya (menilai atau melabeli).

Undangan untuk Mencintai
Gabriel Marcel merumuskan perjumpaan aku dan kamu menjadi kita di dalam cinta. Di dalam perjumpaan aku dan kamu, aku dan kamu saling mengundang untuk menjadi kita. Kita mencoba untuk membangun communion. Di dalam perjumpaan itu aku hadir di hadapan kamu dan kamu hadir di hadapanku. Kehadiran ini secara istimewa terdapat di dalam cinta. Aku mencintaimu, aku mengundangmu untuk menjadi kita. Maka, untuk menjadi kita, cinta itu harus mutual, yaitu ketika kamu pun mencintaiku.[20] Karena aku dan kamu saling mengundang untuk bersatu menjadi kita di dalam cinta, masing-masing aku dan kamu harus bersedia untuk saling mendengarkan dan kemudian menerima. Aku dan kamu harus saling terbuka supaya dapat menjadi kita di dalam suasana cinta.
Di dalam konteks Indonesia, aku dan kamu saling mengundang untuk membangun suatu communion bernama “Bangsa Indonesia”. Aku hadir di hadapanmu dengan segenap identitasku yang khas dan unik (identitas agama, budaya, suku, dll.), kamu pun hadir dengan segenap identitasmu yang khas dan unik. Di dalam perjumpaan itu aku dan kamu saling menerima apa adanya, tanpa hasrat ingin menguasai satu sama lain, supaya menjadi kita. Cinta yang timbul dari kehadiran kita adalah cinta terhadap tanah air kita, kita ingin membangun tanah air bersama, kampung halaman bersama, yang sejahtera. Maka, kita harus memiliki kemampuan untuk saling terbuka dan mendengarkan satu sama lain. Kita saling menghargai dan menerima kekhasan masing-masing.
Akan tetapi relasi aku-kamu itu tetap rapuh. Kebersamaan kita ini tidak hanya untuk satu waktu saja, tetapi harus berlangsung terus. Kita menjadi Bangsa Indonesia tidak untuk satu waktu saja, tetapi untuk terus-menerus. Maka, aku dan kamu saling mengikat diri (engagement) dan saling setia (fidelite), dua tema yang sering disinggung oleh Gabriel Marcel.[21] Di dalam konteks berbangsa, bagaimana kita saling mengikat diri dan setia? Pancasila. Kita begitu berbeda, begitu beragam, begitu unik satu dengan yang lain, dan masing-masing memiliki kekhasan. Supaya aku dan kamu tetap menjadi kita di dalam Bangsa Indonesia dengan tetap mempertahankan keunikan kita masing-masing, kita sama-sama menghormati dan mengamalkan Pancasila.



Agama untuk Manusia Bukan Manusia untuk Agama

Agama merupakan sarana di dalam penghayatan rasa religiusitas kita. Tom Jacobs menjelaskan, “Agama selaku lembaga yang berunsur manusiawi tidak dapat mengklaim ketaatan mutlak dari warga, karena agama tidak pernah identik dengan Allah. Peraturan agama manapun pada hakikatnya diadakan selaku lambang dan ekspresi spiritual, selaku sarana pendidikan belaka, namun yang ternyata sepanjang zaman telah terangkat tanpa sengaja maupun sengaja menjadi tujuan. Namun, lambang hanyalah sarana, bukan tujuan. Simbolisasi hanya cara pendidikan, bukan hakikat isi pendidikan itu sendiri. Maka, agama tidak pernah boleh dilepaskan dari religiusitas, terutama kalau religiusitas itu sudah berkembang menjadi iman, artinya suatu hubungan personal selaku aku (hamba) dan Engkau.”[22]
Ketika agama itu menjadi tujuan pada dirinya sendiri, agama sangat rawan menjadi ideologi. Apa lagi, ketika agama itu berjumpa dengan politik, agama akan menjadi alat kontrol yang paling dahsyat, efektif, dan mematikan. Sistem totalitarian-teosentrisme akan lahir. F. Budi Hardiman menerangkan, “Tidak ada sumber otoritas yang begitu menghasilkan kepatuhan dan kesediaan berkorban seperti aturan-aturan politis yang dibenarkan dengan nama Tuhan. Mempertanyakan aturan-aturan sakral seperti itu tidak hanya beresiko kematian di dunia ini, melainkan juga diyakini beresiko untuk dijebloskan ke neraka jahanam. Karena itu tidak ada teror yang lebih efektif dari pada teror atas nama Tuhan yang menyembul ke luar dari doktrin-doktrin agama yang memusuhi kehidupan duniawi.”[23]
Agama, kata Michel Foucault, merupakan lembaga produksi kekuasaan dan pengetahuan yang dahsyat. Demi identitas, seperti yang telah kita bahas di atas, agama masuk ke dalam ruang pribadi seorang yang satu dengan seorang yang lain, lalu mengatur mereka dengan penyeragaman. Agama menyeragamkan perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan keseragaman ini agama mampu mengontrol dan memobilisasi umatnya, dan di saat yang sama umat memberikan ketaatan dan kesetiaan. Kesetiaan dan ketaatan umat itu semata karena mereka merasa terikat akan janji keselamatan yang ditawarkan oleh agama. Ketika taat, seseorang dijanjikan kenikmatan surga. Sebaliknya, ketika tidak taat, seseorang diancam dengan neraka. Menggunakan janji surga dan ancaman neraka, agama mengontrol segenap kemanusiaan pemeluknya, terutama perihal seksualitas. Dengan keseragaman tersebut di atas agama pun akhirnya mampu membedakan siapa yang menjadi umatnya dan siapa yang bukan. Maka, ketika agama menjadi ideologi, kontrol total serta diskriminasi dapat bekerja dengan baik.
Oleh karena agama merupakan sumber pengetahuan, agama selalu di dalam ancaman kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan itu saling berkaitan. Siapa yang menguasai pengetahuan, dia memiliki kuasa. Di sinilah kerentanan agama. Ketika agama menjadi ideologi dan bergandengan tangan dengan kekuasaan, agama telah kehilangan jati dirinya sebagai sarana peziarahan religiusitas, tetapi melulu menjadi alat mobilisasi masa. Siapa yang mampu memonopoli penafsiran tunggal atas agama, dia memiliki kontrol terhadap umatnya. Ketika penafsir tunggal agama itu memiliki minat politik, dia bisa memobilisasi masa untuk mendapatkan suara di pemerintahan. Contoh yang paling nyata di kehidupan perpolitikan kita adalah kampanye hitam yang terjadi pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta periode 2012-2017.[24]
Kita harus mewaspadai tafsir tunggal atas agama. Dengan waspada dan kritis itu bukan berarti kita murtad atau menjadi tidak beriman. Kita harus berhati-hati terhadap suatu tafsir sebab suatu penafsiran atas agama rentan terhadap tafsiran-tafsiran yang mendukung kekerasan. Di dalam sejarah panjang agama-agama kita mengetahui bersama bahwa banyak sekali pertumpahan darah yang terjadi justru karena agama. Agama-agama yang mengklaim membawa cinta kasih dan damai sejahtera justru melegitimasi peperangan-peperangan itu dengan ayat-ayat suci. Kita harus yakin di dalam hati nurani bahwa apapun penafsiran atas agama itu, jika merendahkan martabat manusia, penafsiran itu harus kita pertanyakan dan kritisi. Hans Küng, sebagaimana dikutib oleh Haryatmoko, menjelaskan, “Menurut suatu kriterium etika umum suatu agama dikatakan benar dan baik bila dan sejauh agama itu manusiawi, tidak menghilangkan dan menghancurkan kemanusiaan, namun melindungi dan memajukannya.”[25]
Agama rentan dijadikan ideologi kekuasaan, dan ketika agama bergandengan tangan dengan kekuasaan, agama telah kehilangan jati dirinya sebagai sarana peziarahan iman. Dengan sedikit mengambil jarak dan mengkritisi suatu penafsiran atas agama, kita tidak sedang membuang iman kita, tetapi kita justru sedang memurnikan agama kita. Kita mencoba menempatkan kembali agama kepada tempatnya yang semestinya, sebagai sarana bagi kita untuk melakukan peziarahan iman, sehingga kita mampu lebih dekat dengan Yang Ilahi. Kita harus sadar bahwa ada jarak antara cita-cita agama dengan realita kehidupan beragama.[26] Agama itu untuk manusia, bukan manusia untuk agama. Agama itu merupakan sarana bagi manusia untuk melakukan peziarahan iman, bukan menjadi tujuan bagi hidup manusia. Herwig Arts, sebagaimana dikutib oleh F. Budi Hardiman, mengatakan, “Orang beriman harus berterima kasih selalu kepada para ateis.”[27] Bukan berarti bahwa kita setuju terhadap paham ateisme, melainkan bahwa orang-orang ateis, melalui kritik agama mereka, memurnikan penghayatan agama kita. Kritik agama yang dilemparkan oleh orang-orang ateis itu membangunkan kita dari tidur dogmatis[28] kita. Kita tidak melulu taat buta, tetapi juga leluasa menggunakan akal-rasio dan bisikan hati nurani. Kita dapat membedakan penafsiran mana yang hanya digunakan untuk kepentingan politik atau ekonomi, penafsiran mana yang melulu merupakan pelampiasan kebencian dan diskriminasi, penafsiran mana yang justru melukai kemanusiaan dengan menghalalkan kekerasan, atau penafsiran mana yang justru mengembangkan kehidupan spiritual dan iman religius kita. Kita menjadi lebih bijaksana.

Penutup
Agama memberi kita identitas. Dengan identitas ini kita berjumpa dengan orang lain. Di dalam perjumpaan itu, kita menyadari bahwa ada perbedaan antara aku dengan kamu, agamaku berbeda dengan agamamu. Aku tidak bisa memaksakan klaim kebenaran agamaku atasmu, demikian juga kamu tidak dapat memaksakan klaim kebenaran agamamu atasku. Maka, kita memerlukan landasan yang sama. Landasan itu di Indonesia ini dapat kita temukan di dalam Pancasila. Di sana terdapat lima tesis yang memiliki kandungan moral etis. Itulah yang kita perlukan. Perjumpaan aku dan kamu selalu merupakan momentum etika. Lebih dari pada itu, kita sama-sama memiliki akal-budi dan hati nurani. Akan tetapi, kita harus tetap saling menghormati dan menghargai kekhasan masing-masing, supaya tidak jatuh di dalam relativisme. Salah satu cara menghormati dan menghargai itu adalah dengan duduk mendengarkan penuh empati.
Agama merupakan sarana kita di dalam melakukan peziarahan iman berjumpa Tuhan yang Mahaesa. Kita menyadari bahwa agama bukanlah Tuhan itu sendiri. Agama merupakan institusi manusiawi, maka ada banyak hal yang sangat manusiawi di sana. Setiap penafsiran agama rentan terhadap tafsir-tafsir yang melegitimasi kekerasan. Oleh sebab itu kita mengambil jarak dari agama untuk mengkritisinya. Dengan mengkritisi agama, bukan berarti bahwa kita menjadi ateis atau murtad. Kita justru ingin memurnikan agama dari kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, atau pelampiasan kebencian. Kita memurnikan agama supaya kita tetap memiliki sarana yang nyaman di dalam peziarahan iman kita berjumpa dengan Tuhan yang Mahaesa.
Fundamentalisme beragama sebenarnya tidak lain merupakan manifestasi dari inferiority complex. Aku tidak memiliki kepercayaan dan integritas diri. Aku tidak yakin dengan diriku sendiri dan dengan kemampuan-kemampuanku. Aku membutuhkan pengakuan. Selain itu, aku begitu naif, sehingga tidak mampu mendengarkan hati nurani dan menggunakan akal budi dengan baik. Di saat aku kebingungan tentang siapa aku, aku terkejut melihat dunia, sebab dunia begitu berbeda dengan diriku. Aku tidak mampu menerima yang berbeda itu. Maka, aku memeluk erat apa yang memberiku identitas, yaitu agama. Di sisi lain, ada berbagai kepentingan yang menggunakan agama sebagai sarana untuk berkuasa. Oleh karena kenaifanku, aku dimobilisasi oleh kepentingan itu dengan menggunakan agama.
Di dalam konteks Indonesia yang multikultur ini, kita perlu mengkritisi penafsiran tunggal atas agama dengan menggunakan akal budi dan hati nurani kita.  Penafsiran itu baik dan layak diikuti sejauh mengembangkan kemanusiaan dan menghormati martabat manusia. Setiap penafsiran yang menggiring kita kepada kebencian, perpecahan, dan pertikaian antarwarga Negara Indonesia layak kita pertanyakan keabsahannya.


Daftar Pustaka

Armstrong, Karen, 2011, Sejarah Tuhan, Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia, terjemahan Zaimul Am, Bandung: Mizan Media Utama
Bertens, K., 2006, Filsafat Barat Kontemporer, Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Budi Hardiman, F., 2012, Humanisme dan Sesudahnya, Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Haryatmoko, 2010, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Indra Sanjaya, V., Bagian Tafsir Kitab Nabi-nabi - Amos, Hosea, Yesaya, diktat tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti
----------------, 2001, Kitab Taurat - Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, ad usum privatum tantum, Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti
----------------, 2007, Membaca Lima Kitab Pertama Alkitab I, Pengantar Umum - Kitab Kejadian, Yogyakarta: Kanisius
Jacobs, Tom, 2006, Paham Allah - dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius
Kapuściński, Ryszard, 2012, The Other, terjemahan Endes Runi Anisah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Russel, Bertrand, 2008, Bertuhan Tanpa Agama, terjemahan Imam Baehaqi, Yogyakarta: Resist Book
Snijders, Adelbert, 2009, Antropologi Filsafat - Manusia, Paradoks dan Seruan, Yogyakarta: Kanisius




[1] V. Indra Sanjaya, Membaca Lima Kitab Pertama Alkitab I, Pengantar Umum - Kitab Kejadian, Yogyakarta: Kanisius, 2007, 79-85.
[2] YHWH atau Yahweh. Nama ini nama yang suci, sehingga Bangsa Israel dilarang membaca keempat huruf suci (tetragramofon) ini. Sebagai gantinya, YHWH dibaca sebagai “Adonai” yang berarti “Tuan” atau “Tuhan”.
[3] Di dalam Alkitab YHWH Elohim diterjemahkan menjadi “TUHAN Allah”.
[4] Kata “teofani” berarti penampakan Tuhan.
[5] Mengenai nama YHWH ini Anda dapat memperdalam pada V. Indra Sanjaya, Kitab Taurat - Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, ad usum privatum tantum, Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti, 2001, 84-85 atau pada Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-agama Manusia, terjemahan Bahasa Indonesia oleh Zaimul Am, Bandung: Mizan Media Utama, 2011, 53-54.
[6] Keluaran 20:3
[7] Secara literal berarti “manunggalnya manusia dengan Tuhan”.
[8] Matius 25:31-46
[9] Tom Jacobs, Paham Allah - dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2006, 14.
[10] Kasus nyata dewasa ini adalah Aan, Sang Ateis Minang, yang ditangkap dan diadili karena menulis di dalam status facebook bahwa dia tak percaya Tuhan.
[11] V. Indra Sanjaya, Bagian Tafsir Kitab Nabi-nabi - Amos, Hosea, Yesaya, diktat tidak diterbitkan, Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti, 59
[12] V. Indra Sanjaya, Bagian Tafsir Kitab Nabi-nabi - Amos, Hosea, Yesaya, 61
[13] Sebutan ini tentu tidak akan disetujui oleh penganut agama lain tersebut.
[14] Pada era kemerdekaan mengenakan jas merupakan simbol kesederajatan antara Bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa di seluruh dunia, khususnya Eropa (Inggris dan Belanda).
[15] rasa rendah diri
[16] Kejadian 18.
[17] Jika Anda ingin memperdalam mengenai “agnostisisme”, silakan membaca Bertrand Russel, Bertuhan Tanpa Agama, terjemahan Imam Baehaqi, Yogyakarta: Resist Book, 2008, khususnya halaman 32-44.
[18] Dokumen Gaudium et Spes nomor 19 menjelaskan bahwa umat beragama pun turut serta mengemban tanggung jawab atas lahirnya ateisme. Umat beragama justru memiliki cacat-cela di dalam kehidupan moral dan sosial (korupsi, misalnya), sehingga alih-alih menampakkan Wajah Tuhan, umat beragama justru menyelubungi Wajah Tuhan.  “Hence believers can have more than a little to do with the birth of atheism. To the extent that they neglect their own training in the faith, or teach erroneous doctrine, or are deficient in their religious, moral or social life, they must be said to conceal rather than reveal the authentic face of God and religion.”
[19] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, 88.
[20] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, Prancis, 84-85.
[21] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, Prancis, 85.
[22] Tom Jacobs, Paham Allah - dalam Filsafat, Agama-agama, dan Teologi, 14-15.
[23] F. Budi Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya, Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012, 16.
[24] Saya tidak akan membahas hal ini lebih dalam di sini sebab bukan kapasitas saya, lagi pula saya tidak memiliki kepentingan di sana. Jika Anda ingin lebih tahu mengenai kampanye hitam di dalam Pemilu Kepala Daerah Jakarta tersebut, Anda bisa mencarinya di internet. Banyak media on-line mengupasnya.
[25] Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, 108.
[26] Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi, 81.
[27] F. Budi Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya, Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia, 29.
[28] “tidur dogmatis” merupakan istilah dari Immanuel Kant.

Comments