KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

PLEIDOI SEORANG PENYAIR

PLEIDOI SEORANG PENYAIR

Berita dari TEMPO.co


Pada suatu ketika di Indonesia RUU KUHP yang melarang Marxisme dan Komunisme pada akhirnya telah disahkan menjadi UU KUHP.

Alkisah, di Jawa Tengah ada seorang penyair yang sangat digandrungi oleh rakyat jelata. Penyair itu adalah seorang anak tukang kayu dari sebuah desa di kaki Gunung Lawu di Kabupaten Karangayar. Bapaknya sudah lama meninggal memang. Sedangkan ibunya kini menjanda dan tidak kawin lagi. Semasa mudanya dulu penyair itu kuliah di sebuah Universitas Negeri di Surakarta. Dia juga sering kali pergi ke Yogyakarta untuk berdiskusi dengan para mahasiswa tentang nasionalisme, agama, dan sosialisme. Kiranya, mungkin ini pikirnya, mahasiswa yang belum mengkaji ulang nasionalismenya, belum menarasikan kembali agamanya, serta belum pernah membahas tentang sosialisme adalah layaknya anak kemarin sore yang belum sunat.

Kini pemuda itu telah berusia kurang lebih 30-an tahun. Rambutnya ikal gondrong dan dia memelihara brewok. Walau demikian, tampan dia. Namanya sebenarnya Joko Slamet, tetapi rakyat banyak mengenalnya sebagai Anom Widodo. Konon kabarnya dia tidak menyelesaikan kuliahnya karena ayahnya keburu meninggal, sehingga dia harus menggantikan ayahnya menjadi tukang kayu di desa. Namun, sudah sejak tiga tahun yang lalu dia meninggalkan pekerjaannya itu dan memilih untuk berkelana dari desa ke desa dan dari kota ke kota membaca puisi.

Puisi-puisinya bergaya pamflet, ber-genre Realisme-Sosialis. Dia banyak bersajak tentang ketimpangan sosial. Dia banyak bersajak tentang cita-cita berdikari. Dia banyak bersajak tentang bagaimana negara alih-alih menggalang rakyat untuk produktif memproduksi sendiri, lebih memilih mengimpor dari negara-negara kaya, bahkan barang-barang yang remeh temeh seperti kedelai dan garam. Dia banyak bersajak tentang bagaimana sebenarnya bangsa ini, walau secara politik dan fisik merdeka, dijajah oleh bangsa-bangsa kaya secara ekonomi dan psikis.

Puisi-puisi Anom Widodo menggugah kesadaran rakyat. Puisi-puisinya membakar semangat rakyat. Rakyat banyak bergerak. Kebijakan-kebijakan daerah yang tidak berpihak kepada rakyat ditentang habis-habisan. Berapa banyak kerusuhan dan keributan yang disebabkan oleh demo-demo itu karena rakyat benar-benar marah dengan kebijakan pemerintah yang tidak memihak, sedangkan negara dengan sewenang-wenang memperlakukan rakyat seperti anjing kudisan. Pada suatu demo tentang sengketa tanah dan lahan pertanian antara rakyat dengan suatu investor, bukan polisi antihuru-hara yang turun, melainkan tentara, dan rakyat yang kebanyakan terdiri dari petani itu diberondong!

Pada suatu Bulan April di suatu tahun pada saat itu, Anom Widodo hendak membaca puisi di Taman Ismail Marzuki di Jakarta. Bus yang ditumpangi Bung Anom dan rombongannya dari Jawa Tengah itu berhenti di Pulo Gadung. Ternyata di sana dia sudah disambut oleh beberapa rakyat kelas menengah (baca: borjuis) Jakarta yang beberapa tahun terakhir terkagum-kagum dan membicarakan Bung Anom lewat jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Mereka tahu Bung Anom akan membaca puisi di Jakarta dan mereka ingin mendapatkan kehormatan dapat mengantarkannya dengan mobil mereka, malah ada pula yang dengan ikhlas hati meminjamkan Kawasaki Ninja 250 FI-nya agar Bung Anom terlihat gagah saat masuk ke Jakarta. Akan tetapi, dengan rendah hati Bung Anom menolak itu semua. Dia lebih memilih naik Trans Jakarta saja bersama rombongannya. Aneh, ketika dia menginjakkan kaki di shelter Trans Jakarta hingga dia masuk ke Bus Trans Jakarta tersebut, banyak orang melepaskan jaket, sweater, atau jumper mereka dan meletakkannya di lantai menjadi semacam karpet penyambutan seorang penting.

Istana Merdeka kisruh. Istana Merdeka panas. Bagi Istana, Anom Widodo ini subversif! “Adalah lebih baik bagi kita satu orang mati dari pada seluruh bangsa binasa!” teriak negara. Maka, pada suatu malam ketika Bung Anom tengah membaca puisi di suatu taman di sudut Monumen Nasional, yang disebut Taman Chairil Anwar, dia ditangkap. Dan, diapun disidangkan dan dijerat Pasal 212 ayat (1) UU KUHP, bunyinya: “Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Selain itu, saksi-saksi palsu dihadirkan untuk memberatkan tuduhan. Akan tetapi, anehnya di persidangan itu, Anom Widodo dituntut hukuman mati! “Tujuh tahun itu hanya sebentar bagi penghasut kelas kakap seperti orang ini. Dia pasti bermaksud mengobarkan kembali tragedi sembilan belas enam puluh lima. Bunuh dia! Bunuh dia! Salibkan dia di Monas!!!”

Ketika Anom Widodo diberi kesempatan untuk berbicara, katanya, “Siapakah yang engkau maksud hendak menggantikan Pancasila? Dan, Pancasila yang kaumaksud itu Pancasila yang mana? Versi siapa? Versi Soekarno? Versi Orde Baru? Atau versi pepesan kosong suatu ormas itu? Aku hanyalah seorang penyair. Aku datang untuk menyuarakan yang tak tersuarakan. Perutusanku adalah menarasikan yang dilatenkan. Tugasku adalah membahasakan yang sengaja dilupakan. Wahai orang-orang yang bebal, tidak belajarkah kalian dari sejarah alternatif, bahwa enam lima itu adalah kudeta merangkak Soeharto yang didukung Paman Sam agar kekuatan kapital asing bisa dengan leluasa mengangkangi bumi pertiwi? Wahai orang-orang yang tegar tengkuk, tidak sudi mengertikah kalian bahwa kebijakan-kebijakan politik-ekonomi yang kalian keluarkan itu sama sekali tidak memihak kepada rakyat jelata, petani-petani di desa, nelayan-nelayan, para pengrajin, dan pekerja? Dan, kalian menuduhku hendak mengganti Pancasila? Ketahuilah, wahai orang-orang bodoh, gagasan Marhaenisme Soekarno itu adalah adaptasi lokal dari gagasan Marxisme! Dan, di dalam merumuskan Pancasila yang dilahirkannya pada 01 Juni 1945, Bung Karno telah lebih dahulu berkonsultasi dengan gagasan-gagasan San Min Chu I-nya Sun Yat Sen, Declaration of Independence-nya Thomas Jefferson, dan Communist Manifesto-nya Marx-Engels!!! Di dalam Pancasila yang sering kalian bicarakan sebatas mulut saja itu terdapat tiga prinsip kerakyatan, yaitu nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme! Berkali-kali Bung Karno berbicara tentang berdikari, dan ketika aku mengingatkan rakyat lewat puisi-puisiku tentang semua hal itu, kalian menuduhku hendak mengganti Pancasila dengan Marxisme?! Pancasila yang mana yang kalian maksudkan?”

Seseorang di ruang persidangan itu menjadi terlalu merah kupingnya demi mendengar kata-kata Bung Anom, naik pitamlah dia, dan menampar Bung Anom, katanya, “Begitu jawabmu terhadap Hakim Ketua?” Jawab Bung Anom, “Jika aku salah, tunjukkanlah di mana salahku. Namun, jika aku benar, mengapa engkau menampar aku?” Hakim Ketua pun berkata, “Cukup!!! Sudah kita dengar sendiri dari mulut penghasut ini. Kita tidak butuh bukti dan kesaksian apa-apa lagi. Bunuh dia! Salibkan di Monas!!!” Kemudian, seluruh hadirin pun bergemuruh, “Salibkan dia di Monas!!! Salibkan dia di Monas!!!”

Begitulah akhirnya. Joko Slamet alias Anom Widodo, pemuda berusia 30-an tahun, seorang penyair, dihukum mati disalib di Monas. Tangan dan kakinya dipakukan pada dinding beton Tugu Monas sehingga orang banyak dapat melihat. Eksekusi itu disiarkan langsung oleh seluruh stasiun televisi di Indonesia sehingga seluruh rakyat jelata yang pernah dan akan selalu digerakkan oleh puisi-puisi Anom Widodo dapat menyaksikan. Sebelum mati, dia berseru, “Bung Besar... Bung Besar... entenana aku!!!” Mereka meratap. Penyair muda yang mati disalibkan di Tugu Monas itu merupakan lambang sejarah yang dibengkokkan sebagaimana sejarah-sejarah lain yang ada di diorama Monumen Nasional.

November 2013
Padmo Adi

Comments