KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Mitos adalah Bahasa Curian (stolen language) dan Termasuk Sistem Tanda Ganda (duplex)

Mitos adalah Bahasa Curian (stolen language) dan Termasuk Sistem Tanda Ganda (duplex)*

Bahasa Curian
Mitos merupakan bahasa curian sebab mitos selalu mencuri tanda lain untuk dijadikan penandanya sendiri. Tanda lain yang ada diserobot untuk dijadikan penanda mitos. Biasanya tanda yang dicuri itu memiliki kekuatan, kepastian, kenyataan, dan kebenaran historis. Tanda yang dicuri oleh mitos itu sudah tak terbantahkan kebenarannya (secara historis), sudah menjadi common sense, atau sudah menjadi adat tradisi. Pada umumnya, tanda yang sering kali dicuri/diserobot oleh mitos itu adalah tanda yang sudah menjadi simbol sebab simbol sudah tidak perlu ditafsirkan lagi. Mitos adalah penanda yang memanipulasi tanda pada tingkat pertama, jadi tanda pada tingkat pertama itu selalu terancam untuk dijadikan penanda oleh (pembuat) mitos. Makna pada sistem tanda tingkat pertama diserobot/dirampok oleh mitos untuk dijadikan penanda baru.


Tanda Ganda (Duplex)
Mitos merupakan sistem tanda ganda sebab mitos merupakan sistem tanda yang sebelumnya telah terlebih dahulu merampok sistem tanda bahasa. Jadi, ada dua sistem tanda yang bekerja di dalam mitos. Sistem tanda pertama adalah sistem tanda bahasa, sedangkan sistem tanda kedua adalah sistem tanda mitos. Pada sistem tanda tingkat pertama, dipakai istilah penanda (signifier), petanda (signified), dan tanda (sign); sedangkan di dalam sistem tanda tingkat kedua (mitos) Barthes menggunakan istilah form, concept, dan signification. Form sejajar dengan ‘penanda’, concept sejajar dengan ‘petanda’, dan signification sejajar dengan ‘tanda’. Cara kerja sistem tanda tingkat kedua (mitos) ini sama/mirip dengan cara kerja sistem tanda tingkat pertama (bahasa), akan tetapi tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem tanda tingkat pertama berlaku pula pada sistem tanda tingkat kedua. Itulah sebabnya Barthes menggunakan istilah yang berbeda untuk sistem tanda mitos ini.

Inilah cara kerja sistem mitos sebagai tanda ganda. Tanda di dalam sistem tanda tingkat pertama diambil alih (taken over) menjadi form (sejajar dengan ‘penanda’). Sedangkan concept (sejajar dengan ‘petanda’) diciptakan atau direkayasa oleh pembuat/pengguna mitos.

Kebenaran/pengetahuan sejarah itu penting di dalam mengartikan sebuah mitos sebab sistem tanda mitos bekerja secara bertingkat-tingkat. Bahkan, sebuah signification di dalam suatu sistem mitos itu pun dapat diambil menjadi concept (‘penanda’) baru oleh sistem mitos yang lain.

Contoh:
1.) Santo Yosef sebagai teladan lelaki yang tulus.
Pada sistem tanda tingkat I
Penanda I: Kisah Yusuf yang tetap menikahi Maria, tunangannya, yang hamil di luar nikah, walaupun bukan Yusuf yang menghamilinya.
Petanda I: Imaji seorang lelaki Yahudi yang suci dari desa Galilea yang tetap menikahi tunangannya, yang hamil di luar nikah, walau bukan dia yang menghamilinya, sebagai tanda ketulusan cinta.
Tanda I: Totalitas kisah tentang ketulusan hati seorang Yusuf yang kudus (sanctus).

Tanda I (ketulusan hati seorang Yusuf) dirampok oleh mitos, dijadikan penanda II. Misalnya, ketika seorang pastor berkhotbah tentang ketulusan, kemudian dia mengutib kisah Yusuf ini, dan begitu saja menggunakannya sebagai contoh ketulusan hati umat beriman dan layak untuk diteladani, tanpa terlebih dahulu menjelaskan atau mengantarkan umat berimajinasi tentang pergulatan batin seorang Yusuf historis.

Pada sistem tanda tingkat II (sistem mitos)
Penanda II (form): Totalitas kisah tentang ketulusan hati seorang Yusuf yang kudus (sanctus).
Petanda II (concept): Sosok yang ketulusannya layak diteladani.
Tanda II (signification): Santo Yusuf begitu tulus mencintai Maria dan taat pada perintah Allah sehingga pantas untuk diteladani oleh umat Kristiani. Ketulusan Yusuf itu sudah taken for granted, sehingga umat beriman tinggal meneladaninya begitu saja.

2.) Gambar Karl Marx dengan dandanan a la Santa Klaus.
Karl “Santa Klaus” Marx
Pada sistem tanda tingkat I
Penanda I: Foto Karl Marx yang diedit (photoshop) dengan baju merah dan topi natal merah.
Petanda I: Karl Marx mengenakan baju merah dan topi natal merah.
Tanda I: Kesatuan antara foto Karl Marx dengan editan baju merah dan topi natal merah.

Pada sistem tanda tingkat II (mitos)
Penanda II (form): Kesatuan antara foto Karl Marx dengan editan baju merah dan topi natal merah.
Petanda II (concept): Kemiripan antara Karl Marx yang berbaju merah dan bertopi natal merah dengan sosok lelaki tua gemuk berjenggot, berbusana merah dan bertopi natal merah, yang dikenal dengan nama “Santa Klaus”. Karl Marx didaulat menjadi Santa Klaus!

Tanda II (signification): Karl Marx --Bapak kaum sosialis, (neo-/post-)marxis, dan komunis tersebut-- didaulat menjadi seorang “Santa Klaus” bagi kaum kiri. Karl Marx yang menjadi “Santa Klaus” ini sekaligus juga dipakai untuk mengkritik perayaan/pesta Natal bersama para “Santa Klaus” yang penuh dengan suasana foya-foya, konsumeristis, dan yang hanyut di dalam rayuan sistem kapitalisme global.

Tentu mereka yang tidak dekat dengan wacana Marxisme, tidak mengerti mitos seorang lelaki tua berjenggot-berbusana merah-bertopi merah-dan selalu membagi-bagikan bingkisan di Hari Natal yang dipanggil Santa Klaus itu, serta tidak menyadari sistem kapitalisme global susah untuk memahami mitos Karl “Santa Klaus” Marx tersebut di atas. Orang harus punya pengetahuan mengenai seseorang yang disebut “Santa Klaus”, apa yang dikenakannya, dan apa yang dilakukannya ketika Natal tiba. Orang juga harus punya pengetahuan akan kebiasaan (adat istiadat) masyarakat dalam merayakan/berpesta Natal. Selain itu, orang juga harus paham tentang wacana Marxisme, selain juga tahu wajah Karl Marx. Tanda itulah yang dicuri oleh mitos (gambar Karl “Santa Klaus” Marx) sehingga melahirkan mitos tandingan.

Selain itu, kita juga bisa melihat di sana, bahwa mitos Santa Klaus (yang identik dengan sosok lelaki tua, gendut, dan berjenggot, serta mengenakan busana merah dan topi natal merah -- sehingga lelaki manapun yang mengenakan busana merah serta topi merah dan berjenggot putih, walaupun palsu, dengan mudah diidentifikasi sebagai Santa Klaus) itu dicuri/direnggut dan dijadikan penanda oleh sistem tanda mitos Karl “Santa Klaus” Marx tersebut.

*Tulisan ini pada mulanya adalah jawaban ujian akhir Mata Kuliah Kajian Budaya yang diolah dari buku catatan kuliah dan reader (St. Sunardi dan A. Supratiknya) oleh Padmo Adi.

Comments