Demitologisasi Drijarkara
Melihat
Relevansi Konsep Pemikiran Drijarkara di Tengah Konteks Neo-Liberal
*Paper ini pertama kali dipresentasikan di Studium Generale, Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, pada 09 Desember 2014 di Ruang Drijarkara, Gedung Pusat, Kampus II USD, Mrican, Yogyakarta oleh Hans Christian Salvatore.
|
Nicolaus Drijarkara, S.J. |
1.
Pendahuluan
Sebelum Profesor Dr. A. Supratiknya
menawarkan kepada kami siapa yang hendak membahas Drijarkara, kami sempat
berbincang-bincang dengan Dr. Gregorius Budi Subanar, S.J. perihal Profesor Dr.
Nicolaus Drijarkara, S.J. ini. Di dalam perbincangan itu kami membahas perihal
bagaimana sosok Drijarkara kini hanya menjadi mitos di kalangan Sanata Dharma.
Foto wajahnya memang dipampang di mana-mana, di tiap sudut kampus Sanata
Dharma. Konsep pemikiran filosofisnya pun diringkas dan dimampatkan (untuk
tidak mengatakan disederhanakan) ke dalam frasa “Cerdas dan Humanis”. Akan tetapi,
hampir tidak ada kajian mendalam dan serius mengenai pemikiran-pemikiran filsuf
pelopor di Indonesia ini. Kalaupun ada, acara macam itu tidak diberitakan
secara resmi oleh kampus yang mendasarkan gerak langkahnya di atas
konsep-konsep pemikiran Drijarkara ini. Intinya, Drijarkara telah didandani
sedemikian rupa sehingga yang dihadirkan hanyalah mitosnya saja, foto profil
Drijarkara semata.
Setelah perbincangan itu, kami mulai membaca
tulisan-tulisan Drijarkara dan tulisan tentang Drijarkara. Kami pun bertemu
dengan tulisan Profesor Supratiknya tentang Drijarkara dan kondisi kekinian,
yaitu Neo-Liberalisme, berjudul “Membaca Pemikiran Driyarkara tentang
Pendidikan di Zaman Sekarang”. Kami pun terangsang untuk menelanjangi mitos
Drijarkara yang selama ini sudah dibangun sehingga bisa kita lihat bagaimana
konsep-konsep pemikiran Drijarkara, terutama yang berkaitan dengan pendidikan,
dihadapkan dengan kondisi kekinian Indonesia. Yang menarik adalah kehadiran
kurikulum 2013. Sewaktu kita melihat sekilas tentang kurikulum 2013, kita akan
melihat seakan-akan kurikulum 2013 itu berangkat dari konsep-konsep pemikiran
tentang pendidikan kritis. Akan tetapi, ketika kita mencoba mendengarkan
suara-suara eksekutor di lapangan, ada banyak kendala teknis di sana. Sebab,
pendidikan kritis sebenarnya berangkat dari kondisi dan kebutuhan kontekstual
yang sangat lokal. Ketika itu diambil alih oleh negara menjadi kurikulum 2013,
hal itu menjadi sesuatu yang hegemonis dan nasional, sehingga tidak
menghiraukan konteks lokal. Di sanalah muncul masalah-masalah dan polemik.
Masalah yang kami garis bawahi adalah para eksekutor lapangan (guru-guru) tidak
siap. Masalah itu kami garis bawahi sebab pada ranah praksis, konsep-konsep
Drijarkara tersebut diturunkan menjadi usaha pendidikan para calon guru
(Sekolah Menengah).
|
sumber facebook |
Berangkat dari hal-hal macam itu, kami
merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang akan mengarahkan perjalanan kami
menelanjangi “Drijarkara” dan melihat konsep-konsep pemikiran Drijarkara
tersebut di tengah konteks kekinian, yaitu Neo-Liberalisme. Bagaimana konsep
pendidikan Drijarkara dalam membentuk peserta didik; peserta didik hendak
dibentuk menjadi subyek macam apa? Drijarkara mengarahkan pendidikan untuk
membentuk subyek yang bermasyarakat, bukan individualis, akan tetapi masyarakat
yang macam apa yang dibayangkan Drijarkara? Bagaimana konsep Drijarkara dalam
mereproduksi tenaga pendidik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut? Pemikiran
Drijarkara tersebut tentu lahir dari konteks zamannya (1950-an), lalu bagaimana
pemikiran Drijarkara tersebut bisa kita pakai di tengah konteks kekinian?
Drijarkara
lahir di Kedunggubah, Purworejo, Jawa Tengah pada 13 Juni 1913. Drijarkara
sendiri lahir dengan nama Soehirman, masa kecilnya dipanggil Djentu.
Pada
tahun 1929 Drijarkara melanjutkan pendidikan ke Seminari Menengah Yogyakarta.
Pada kelas IV di Seminari atau setara dengan kelas 1 SMA Drijarkara menerbitkan
majalah yang ia namai Aquila. Drijarkara
ditahbiskan pada 6 Januari 1947, yang merupakan pastor pertama Jesuit yang
ditahbiskan oleh uskup pribumi pertama, Mgr. A. Soegijapranata.
Pada
24 Juli 1947, Drijarkara melanjutkan studi teologi di Maastrich, Belanda sampai
dengan tahun 1949.
Ia
kemudian melanjutkan studi di Universitas Gregoriana, Roma. Pada tahun 1952 ia
mendapatkan gelar Doktor dalam bidang filsafat. Disertasinya adalah mengenai
pemikiran Nicolas Malebranche, filsuf Prancis abad-18 yang religius dan sangat
rasional. Inti gagasannya adalah berusaha menjelaskan peran aktif Tuhan di
seluruh aspek kehidupan. Untuk itu Melbrache memadukan pendekatan Santo
Agustinus dan Descartes. Pemikiran filosofisnya banyak dipengaruhi oleh
fenomenologi dan eksistensialisme, tapi ciri khasnya menganalisis pertemuan
modernitas dan lokalitas.
Karya
tulisnya di majalah Praba dengan nama Pak Nala, ia juga pengasuh di majalah
Basis, yang terbit pada tahun 1951. Dalam tulisan awalnya dia menggunakan nama
Puruhita. Kekhasannya adalah dia banyak
melihat realitas sehari-hari dan mempertemukannya dengan analisis filosofis dan
memberikan refleksi yang mendalam, suatu gaya penulisan yang membawa pembacanya
ke permenungan filosofis. Salah satu karya yang khas adalah dia memberikan
kuliah filsafat di RRI Jakarta dan Jogjakarta pada tahun 60-an.
Pada
tahun 1955 Drijarkara menjadi Rektor Pertama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru
Sanata Dharma.
Pada
tahun 1960-1967 Drijarkara menjadi pengajar di Seminari Tinggi Yogyakarta. Ia
juga menjadi guru besar luar biasa di Universitas Indonesia dan Universitas Hassanudin,
serta dosen tamu di St. Louis University, Missouri, Amerika Serikat. Dia merupakan
seorang yang nasionalis dan pancasilais.
Drijarkara
juga sempat menjadi anggota MPRS dan DPA. Drijarkara wafat karena sakit pada 11
Februari 1967 dan dimakamkan di Girisonta, Ungaran.
3.
Landasan
Filosofis Pendidikan Drijarkara - Eksistensialisme Fenomenologis
Drijarkara sendiri menyadari bahwa
pemikirannya tentang pendidikan lebih bersifat teoretis dari pada praksis,
walaupun ada sedikit pemikiran praksisnya soal pendidikan menengah. “Munculnya
pandangan teoretis tentang pendidikan itu adalah suatu yang niscaya, artinya
sesuatu yang tidak bisa tidak terjadi [...]” kata Drijarkara.
Semua karya Drijarkara tentang pendidikan dimaksudkan sebagai “ilmu mendidik
teoretis”, bukan praksis, yaitu pemikiran yang bersifat kritis, metodis, dan
sistematis tentang realitas atau fenomena yang disebut pendidikan. Dia berusaha
merumuskan teorisasi dan universalisasi perihal pendidikan, bukan semata ilmu
praktis.
Tulisan-tulisan Drijarkara perihal pendidikan adalah sebuah usaha untuk
merumuskan sebuah pemikiran ilmiah tentang pendidikan. Pemikiran tentang
pendidikan (mendidik dan dididik) baru bersifat ilmiah jika pemikiran itu
bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Kritis di sini berarti orang tidak hanya
menerima begitu saja apa yang diterimanya atau yang muncul dalam benaknya;
semua pernyataan dan afirmasi harus memiliki dasar yang cukup (tidak hanya
membeo!). Metodis berarti bahwa dalam
proses berpikir dan menyelidiki, orang menggunakan suatu cara tertentu yang
logis dan tidak serampangan. Sistematis
berarti bahwa segala yang dirumuskannya itu merupakan suatu koherensi dan satu
kesatuan utuh, menyeluruh, dan berhubungan satu dengan yang lain.
Menyadari bahwa pemikiran Drijarkara
perihal pendidikan adalah sebuah usaha teoretisasi dan universalisasi, maka
kami berusaha untuk menelusuri dasar-dasar filosofis dari pemikirannya perihal
pendidikan tersebut. Pada bagian ini kami akan menguraikan filsafat Drijarkara yang
dipengaruhi oleh mazab eksistensialisme. Eksistensialisme, secara sederhana,
adalah filsafat yang mengulas tentang cara berada (hidup) manusia sebagai
sebuah subyek (yang ada bersama di tengah-tengah subyek-subyek yang lain). Kami
mendasarkan tulisan kami di bagian ini pada tulisan Drijarkara berjudul
“Pendidikan dan Peralihan Sosio-Budaya”.
Bagi Drijarkara pendidikan adalah
problem eksistensia. Drijarkara berangkat dari filsafat yang disebutnya
antropologia transendental dengan metode existensilistiko-fenomenologika.
Drijarkara memulai tulisannya dengan sebuah pertanyaan: adakah yang secara
khusus kita sebut sebagai perbuatan “mendidik”, sebagaimana kita menyebut
secara khusus kegiatan “makan” dan “minum”, sehingga kita bisa berkata bahwa
“orang tua itu tengah sibuk mendidik anaknya”? Drijarkara menjawab sendiri
pertanyaan tersebut, bahwa perbuatan khusus macam itu tidak ada.
Menurut Drijarkara, pendidikan itu terletak dan terjadi di dalam kehidupan
bersama, ada bersama. Di dalam kehidupan bersama tersebut terdapat
perbuatan-perbuatan dan segala hal yang dengan sengaja maupun tidak sengaja,
disadari atau tidak disadari “memasukkan manusia muda ke dalam alam atau dunia
manusia”. Jadi, pendidikan di dalam paradigma Drijarkara adalah kegiatan apapun
yang membuat para pemuda memasuki tatanan masyarakat (budaya, sosial, politik,
tatanan simbolik), atau kegiatan yang membuat kebudayaan itu dibatinkan dan
diafirmasi (atau bahkan dinegasi) lalu dihayati oleh para pemuda. Yang perlu
kita garis bawahi pada paradigma pendidikan Drijarkara ini adalah bahwa apa
yang disebut pendidikan itu adalah segala perbuatan yang kita lakukan terhadap
tunas muda. Jadi, ada jarak antara pendidikan dan perbuatan di mana pendidikan
itu menjelma.
Pendidikan dipandang sebagai komunikasi eksistensia manusiawi yang
autentik kepada manusia-muda supaya dimiliki, dilanjutkan, dan disempurnakan.
Komunikasi itu terjadi di dalam kebersamaan. Kebersamaan bagi Drijarkara
merupakan kesatuan antarpersonal antara pendidik dan anak didik di dalam
cinta-kasih (das liebende Miteinander
sein). Jadi, baik guru maupun murid adalah dua subyek yang egaliter dan ada
(hidup) berdampingan bersama di dalam nuansa penuh cinta-kasih. Paradigma yang
dipakai adalah paradigma eksistensialisme, sehingga Drijarkara memandang bahwa
masalah pendidikan adalah masalah eksistensia. Apa itu eksistensia? Secara
sederhana, eksistensia adalah cara kita (manusia) berada.
Pertama, manusia berada di tengah-tengah alam-materia. Kedua, manusia berada
bersama di tengah-tengah manusia yang lain. Dengan demikian, Drijarkara
menentang strukturalisme, yaitu paham yang beranggapan bahwa manusia itu semata
adalah hasil pengaruh daya-daya fisis, fisiologis, dan sosiologis, yang
menentukannya dari luar dan yang membuat manusia tidak berbeda dengan benda-benda
lain. Drijarkara juga menolak paham ultraspiritualisme (idealisme) yang
beranggapan bahwa yang ada semata hanya subyek, di luar itu tidak ada.
Manusia adalah makhluk yang berdiri
sebagai manusia, seolah-olah muncul
atau membual ke atas diri sendiri;
manusia keluar dari dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri.
Cara kita berada itu tidak seperti cara berada batu, kursi, mobil, dan
benda-benda lain. Benda-benda itu berada tanpa hadir. Manusia berada dengan cara hadir. Manusia itu muncul-keluar
dan hadir pada waktu dan tempat
tertentu. Manusia itu imanen dengan dunia tempat dia berada, tetapi sekaligus
transenden. Manusia mampu menguasai, mengerti, bercampur tangan, bahkan
mengubah dunia tempat dia berada itu; dengan kata yang lebih sederhana, manusia
memaknai dunianya itu. “Dunia” yang dipahami oleh Drijarkara di sini bukan
semata alam materia, melainkan seluruh realitas sebagai penuh dengan makna-makna.
Dunia manusia adalah dunia makna.
Menyadari bahwa manusia berada di dalam
dunia sekaligus melampaui dunia, kita bisa memahami bahwa manusia adalah proyek
yang tidak pernah selesai. S/he is always
s/he is not, s/he is never is. Kita, manusia, tidak pernah paripurna,
selalu “menjadi”, selalu “membelum”. Manusia selalu membentuk dan dibentuk
setiap hari seumur hidupnya. Sekarang aku adalah siswa, misalnya, maka bisa
jadi besok aku sudah bukan siswa, tetapi seorang guru. Jika sekarang aku
seorang guru, misalnya, maka bisa jadi besok aku akan pensiun, lalu berkebun di
rumah.
Untuk menggambarkan eksistensi manusia
tersebut, Drijarkara memakai istilah teknis “memanusia”. Manusia itu memanusia.
Dengan cara seperti diterangkan di ataslah kita harus memahami ketika
Drijarkara berkata “memanusiakan manusia muda”. Ketika manusia memanusia, dia
sekaligus mendunia. Manusia hanya bisa memajukan, bahkan mengubah dunianya
hanya ketika dia memajukan dan mengubah dirinya sendiri. Inilah apa yang dimaksud
dengan membudaya. Membudaya dalam paradigma eksistensial Drijarkara berarti
adalah mengangkat diri sendiri dan alam dunianya menjadi manusiawi (dibuat
sedemikian rupa sehingga bermakna). Membudaya berarti melampaui determinisme.
Lebih jauh, Drijarkara menerangkan bahwa apa yang disebut membudaya itu adalah
membudaya-bersama, atau istilah teknis yang dipakainya “sosiobudaya”. Adaku
selalu mengandaikan Adamu (orang lain). Aku tidak akan menjadi aku kecuali
dengan dan dalam hubungannya dengan kamu (orang lain).
Aku hadir di dunia bersama-sama dengan hadirmu. Aku dan kamu, kita, hadir
bersama-sama di dunia. Kita berada (hadir) di dunia bersama-sama di dalam
cinta-kasih. Meng-‘Aku’ selalu berarti meng-‘Kita’. Secara sederhana, bisa dikatakan
sebagai berikut, manusia memanusiakan (dan dimanusiakan) setiap hari seumur
hidupnya; proses memanusiakan ini adalah membudaya; membudaya selalu berarti
membudaya-bersama sebab kita selalu berada-bersama di dalam cinta-kasih;
sehingga membudaya berarti sosiobudaya. Itulah proses pendidikan di dalam
paradigma Drijarkara.
|
sumber facebook |
Drijarkara sudah mewanti-wanti tentang
godaan di dalam mendidik (baca: menyekolahkan) seorang anak. Drijarkara selalu
menekankan bahwa pendidikan adalah sebuah proses hominisasi dan humanisasi.
Dengan paradigma ini, Drijarkara menolak individualisme (homo homini lupus) a la
Thomas Hobbes.
Di dalam paradigma Drijarkara, pendidikan berarti mengangkat tunas muda ke
taraf manusia. Seluruh kemanusiaan manusia diangkat supaya manusia dapat
menjadi manusia. Manusia harus memanusia. Proses
pengangkatan tunas muda menjadi manusia ini disebut hominisasi.
Itu adalah proses minimal; syarat secukupnya untuk menjadi manusia. Akan
tetapi, secukupnya tidaklah mencukupi. Yang minimal itu harus dilampaui, diangkat
kepada nilai-nilai yang lebih tinggi, yang adiluhung. Proses pelampauan hingga
mencapai nilai-nilai kebudayaan adiluhung itu oleh Drijarkara disebut humanisasi.
Antara hominisasi dan humanisasi sebenarnya tidak terdapat
batas, sebab sebenarnya tidak ada hominisasi
tanpa humanisasi sedikit pun. Kita
bisa membayangkan sebuah gerak dinamis proses pendidikan ini; berlangsung
terus-menerus sepanjang waktu. Namun, ini wanti-wanti Drijarkara, bisa jadi
kita mendidik atau bahkan menyekolahkan anak-anak kita dengan konsep yang
salah. Bisa jadi kita mengirim anak-anak kita ke sekolah bukan demi proses
pemanusiaan manusia muda secara utuh, melainkan semata-mata memburu kecakapan
kerja!
4.
Pendidikan
Warung Pojok Drijarkara
Sebelumnya
sudah kita ketahui bersama bahwa pemikiran Drijarkara tentang pendidikan adalah
sebuah usaha teoretisasi dan universalisasi, bukan merupakan sebuah gagasan
praksis. Meskipun demikian, terdapat jejak-jejak gagasan (bahkan tindakan)
praksis yang bisa kita telusuri di dalam tulisan-tulisan dan surat-suratnya.
Pada bagian ini, kami berusaha menelusuri kembali gagasan-gagasan praksis
Drijarkara tersebut, sejauh apa pemikiran teoretis-universalis Drijarkara
diturunkan ke ranah praksis. Secara sekilas, kita bisa menemukan bahwa gagasan
praksis Drijarkara tentang pendidikan itu adalah pendidikan sekolah menengah
dan pendidikan calon guru.
Pendidikan
merupakan sebuah fenomena yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia.
Di setiap kehidupan manusia selalu
terdapat unsur pendidikan, yang selama ini kita tidak sadari. Pendidikan bukan hanya berkutat dengan
sekolah akan tetapi pendidikan bisa terjadi ketika menjalani kehidupan bersama.
Pendidikan selama ini yang kita tahu adalah pendidikan yang selalu dikaitkan
dengan pendidikan yang real atau kasat mata saja, akan tetapi pendidikan dalam
sebuah keluarga selalu diabaikan. Bagi peserta didik, pendidikan mempunyai arti
penting bagi kehidupanya. Mengapa demikian? Karena dengan sebuah pendidikan,
peserta didik akan tumbuh berkembang menjadi manusia yang sebenarnya.
Sebalikanya menjadi seorang pendidik, mendidik adalah sebuah cara untuk
menentukan sebuah sikap. Mendidik adalah membentuk manusia muda untuk menjadi
sebuah keseluruhan yang utuh. Utuh yang dimaksud adalah menjadi manusia muda
yang dapat diperkembangkan ke arah masyarakat.
Berkembangan
zaman yang mengarah ke modernitas sekarang ini membawa perubahan yang cukup
signifikan di dalam kehidupan masyarakat. Perubahan tersebut membawa dampak
terhadap proses perkembangan bagi peserta didik, yang ditakutkan akan membawa
dampak terganggunya proses pendidikan bagi peserta didik. Pada tulisan surat
Drijarkara tentang kepentingan Pendidikan Guru Sekolah Menengah permasalahan
ini dibahas dengan sangat menarik. Ada timbul satu pertanyaan kenapa Drijarkara
mengambil sekolah menengah? Bila kita mengkaji sesuai dengan zaman sekarang,
usia anak muda yang bersekolah di sekolah menengah sedang menghadapi sebuah
krisis identitas. Pada usia tersebut anak muda sedang mengalami proses
pencarian sebuah jati diri di dalam
kehidupanya. Proses pencarian jati diri tersebut, adalah proses yang rentan
terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh lingkungan sekitar yang
nantinya membawa sebuah dampak baik
maupun buruk terhadap perkembangan peserta didik. Diperlukan keterampilan dan
cara khusus untuk bisa membimbing dan mengarahkan agar peserta didik bisa
menjadi anak muda yang seutuhnya. Lebih khusus lagi, Drijarkara berbicara
mengenai pendidikan calon guru.
Drijarkara
mencoba membandingkan, bagaimana proses pendidikan guru yang terjadi di negara
Eropa. Pendidikan guru di Eropa mempunya basis dan tujuan yang terencana dalam
menetapkan kebijakan pendidikan guru. Dalam pendidikan guru di Eropa terdapat
mekanisme yang cukup ketat dalam mencetak para pengajar: setelah lulus dari
perguruan tinggi para calon pengajar harus menempuh satu tahun pendidikan
pedagogik. Drijarkara pada waktu itu juga mengunakan pandagan Prof M.J.
Langeveld yang memandang bahwa lulusan perguruan tinggi yang terlalu
spesialisasi tidak bisa mengajar. Ini perlu diperlukan pendampingan tambahan
dari segi pendidikan dan pengajaran untuk dapat mengajar. Para lulusan SMA
harus dapat mendapatkan pendampingan dari para pendidik agar mampu
mempertahankan, merawat, dan memperkembangkan sendi kehidupan kebudayaan
setempat yang genuine di tengah
gempuran budaya-budaya asing yang menggempur budaya setempat.
Pendidikan
adalah fenomena yang sangat insani yang cukup padat, yang dilihat dari sudut
padang dan berbagai titik tolak. Bagi seorang pendidik, hal ini sangat penting
dikarenakan kedudukan seorang pendidik (Guru) dalam pengajaran di sekolah.
Berbicara tentang sebuah pendidikan, tidak boleh bersifat individulistis
ataupun stato-sentris, melainkan harus bersifat personalistis. Pendidikan akan
menjadi sebuah kesalahan ketika pelaksanaan sebuah pendidikan tersebut
menimbulkaan sebuah sifat-sifat yang bersifat individualistis. Tanpa disadari
maupun disadari seorang pendidik memberikan kemudahan-kemudahan terhadap anak.
Pendidik memanjakan anak didik. Pendidik memberikan hal yang disukai oleh anak
tersebut dan hal ini menjadikan seorang anak memiliki sifat individualistis.
Selain itu, Drijarkara juga memandang bahwa pendidikan yang dikuasai oleh
negara totaliter adalah berbahaya. Pendidikan yang dikuasai negara tersebut
bersifat statosentris, dimana negara menjadi dewa agung. Di dalam pendidikan
kita masih terjadi kecenderungan ke arah pendidikan yang bersifat statosentris.
Seperti yang dikatakan dalam Romo Driyakara, ketika pendidik menjadi kontrol
utama dalam sebuah pengajaran, sehingga semua tingkah laku anak didik hanya
menjadi benar bila itu diatur oleh
pendidik. Ini sering kita temui dalam dunia pendidikan kita, bagaimana
kreativitas anak didik terkungkung oleh hegemoni seorang pendidik. Menghindari
dua ekstrim tersebut di atas, Drijarkara menawarkan pendidikan yang bersifat
personalistis, di mana pendidik harus membawa anak didiknya untuk mempunyai
sifat tanggung jawab, mempunyai rasa hormat. Akan tetapi, tidak menjadi seperti
beo dan bebek. Anak harus bisa dipimpin dan menjadi dirinya sendiri.
Negara
mempunyai peranan penting dalam sebuah pendidikan. Perkembangan sebuah negara
tidak lepas dari pendidikan dan pengajaran yang baik. Hak dan kewajiban menurut
Drijarkara merupakan fundamental (asasi), yang mempunyai kesamaan dengan
hak–hak kemerdekaan. Di dalam sebuah tulisan Driyakara setiap pendidikan dan pengajaran yang bertentangan
dengan Pancasila tentu bukan merupakan pelaksanaan hak dan kewajiban asas.
Pendidikan harus mendahuli sebuah pengajaran. Di dalam dunia yang mengarah ke
arah modern ini, pendidikan terhadap anak didik tidak cukup hanya sebatas hanya
membangun kepribadian yang sempurna dan susila, tetapi bagaimana seorang pendidik dapat
mengembangkan kecakapan peserta didik yang nantinya diharapkan dapat memberikan
sumbang sih terhadap perkembangan kepada negara. Negara mengembangkan dan
menyelengarakan pengajaran mengunakan dua sistem, yang pertama negara langsung
mengadakan pengajaran sendiri (Sekolah
Negeri) dan yang kedua negara mengunakan pihak swasta (sekolah milik yayasan
swasta) untuk turut serta membantu dan mengembangkan pengajaran tersebut. Negara
mempunyai perananan, hak dan kewajiban di dalam pengajaran. Peranan tersebut
adalah mengembangkan tenaga-tenaga yang cakap di dalam kehidupanya. Dasar hak
dan kewajiban negara di dalam dunia pendidikan adalah menentukan macam kualitas
dan taraf pelajaran di sekolah negeri maupun sekolah milik yayasan swasta.
Keprihatinan seorang Driyakara adalah melihat
bagaimana kualitas sekolah dan kualitas tenaga pendidik di Negara Indonesia ini
sedang mengalami penurunan yang sangat drastis. Masyarakat hanya terbuai
masalah nilai, ijazah, dan gelar. Titel menjadi sebuah tujuan hidupnya tanpa
melihat kecakapan yang dimilki oleh individu baik peserta didik maupun tenaga
pendidik. Pengajaran yang baik adalah ketika negara tersebut bebas dari sebuah
pandangan yang bersifat pragmatis. Pragmatis adalah pandangan yang hanya
mengingat guna yang langsung kongkret dari sesuatu. Pendidikan harus jangan
berat sebelah dengan sebuah kepentingan negara. Pandangan yang pragmatis akan
membawa sebuah pendidikan (pengajaran) ke negara yang totaliter. Padahal tujuan
dari sebuah pendidikan adalah mengatasi permasalah di atas. Sifat pendidikan
yang statosentris akan mengakibatkan pendidikan akan kehilangan kemauan
persaudaraan diri seluruh jenis manusia. Pendidikan semacam ini akan sangat
bertentangan dengan sila perikemanusian yang terdapat di Pancasila. Dalam
uraiannya tentang sila perikemanusiaan Pancasila, Drijarkara menjelaskan bahwa
perikemanusiaan itu pertama-tama dekat dengan
keadilan-sosial.
Mendidik
adalah sebuah pengajaran dari orang yang lebih tua, yang mempunyai tanggung
jawab untuk memberikan pengaruh kepada anak muda, agar si anak tersebut bisa
menjadi dewasa. Mendidik tidak dapat dipisahkan dari pendidikan.
Manusia muda adalah masa-masa di mana dia harus mendapatkan sebuah pendidikan
yang mengantarkannya ke dalam sebuah kedewasaan. Pendidikan bukan hanya sebuah
tanggung jawab yang diberikan orang tuanya ketika anak berada di rumah, akan
tetapi anak usia muda yang mengenyam pendidikan akan menghabiskan banyak
waktunya di dunia pendidikan, yaitu sekolah dan belajar, yang akan menjadi
bagian sangat penting di dalam kehidupan
siswa tersebut.
Sekolah
merupakan sebuah lembaga yang mempunyai fungsi untuk mengembangkan kepribadian
siswa didik. Mata pelajaran, guru, dan kurikulum yang diterapkan di dalam
sekolah menjadi sangat penting untuk bisa mendidik para siswa tersebut. Posisi
guru adalah menjadi seorang yang dituakan, yang bisa membimbing seorang anak
didik untuk menjadi sebuah manusia purnawan, yaitu yang bisa menjadi manusia seutuhnya
yang bisa memanusikan manusia lainya. Pada keadaan seperti itu, guru menjadi tumpuan utama dalam
mendidik siswanya. Guru juga dapat menjadi kunci keberhasilan dalam mendidik, tetapi
juga bisa menjadi kunci kehancuran dalam hal mendidik.
Sangat
menarik bila kita pada saat ini melihat fenomena yang terjadi di dalam dunia
pendidikan. Kami mencoba melihat fenomena tersebut dari catatan-catatan Drijarkara
yang terdapat pada buku yang berjudul “Pendidikan a la Warung Pojok”. Dalam cerita “Lulus Ujian?” Drijarkara bercerita
tentang keprihatinannya terhadap pendidikan yang terjadi di Indonesia. Berawal
dari kisah Pak Nala (Drijarkara sendiri) bertemu Pak Truna yang senang ketika
anaknya lulus ujian dan naik kelas 2 SMP. Anak Pak Truna selama 4 tahun tidak
pernah naik kelas, dan kerap pindah sekolah, dari sekolah SMP Kumbakarna, ke
SMP Janaka, dari SMP Janaka ke SMP Bubrah, dari SMP Bubrah ke SMP Tolol, dan
terakhir masuk ke SMP Makmur.
Pandangan Pak Nala tentang fenomena ini adalah bahwa Pak Nala prihatin. Pada
masa itu, banyak sekolah hanya sanggup menerima siswa dengan syarat siswa
tersebut bisa membayar uang sekolah yang ditentukan oleh pihak sekolah. Yang
dibicarakan Drijarkara dilatarbelakangi fenomena tahun 1950-an, tetapi ketika kita menarik permasalahan
tersebut pada zaman sekarang, masalah itu masih sangat relevan. Banyak sekolah pada saat ini yang menawarkan
program unggulan. Kata “unggulan”, yang
selama ini kita rasakan sebagai kaum menengah ke bawah, adalah identik dengan sekolah
yang memiliki bayaran mahal. Kita dapat masuk ke sekolah unggulan tersebut bila
kita bisa membayar uang sekolah yang ditawarkan oleh pihak sekolah. Terus
bagaimana dengan nasib siswa yang berada di kalangan menengah ke bawah? Pasti
mereka akan menikmati pendidikan yang jauh dari harapan akan sekolah yang
berkualitas.
Pandangan
masyarakat terkait pendidikan adalah, masyarakat masih mendewakan sebuah ijazah
dari pada mengedepankan keterampilan dan ilmu yang dipelajari. Orang akan
bangga ketika anak didiknya cepat memperoleh gelar maupun ijazah tanpa
memandang kemampuan yang dimilikinya. Drijarkara menulis esai tentang konteks
permasalahan tersebut dengan sebuah cerita yang berjudul “Diploma!”. Isi dari
cerita tersebut adalalah ketika Pak Nala bertemu dengan Pak Setradangsa. Pada
saat itu Pak Sedradangsa tengah mengalami kegembiraan dikarenakan anaknya
meraih gelar Diploma. Padangan Pak Setradangsa, orang yang telah mendapatkan
ijazah akan mencukupi sebuah kebutuhan hidup. Ini menjadi sebuah keprihatinan
sendiri bagi Pak Nala, karena orang berambisi untuk mendapatkan sebuah ijazah dan
merasa sempurna dengan ijazah tersebut, sudah tidak perlu belajar lagi, dan
beranggapan sudah mempunyai kepandaian untuk seumur hidupnya.
Bila dikaitkan dengan zaman sekarang ini, menjadi seorang guru tidak hanya
berbekal S.Pd. saja, ataupun skripsi yang sempurna dengan nilai IPK cum laude. Ijazah, gelar, dan nilai cum laude itu belum menjamin seorang
guru tersebut memiliki kemapuan untuk membimbing anak didiknya, untuk bisa
menyelami kehidupan anak didiknya tersebut. Ijazah, gelar, dan nilai yang baik
belum juga menjamin seorang guru bisa menjadi panutan anak didik.
5.
Melihat
Drijarkara Secara Kritis
a.
Drijarkara,
Konteks Zamannya, dan Konteks Zaman Ini (Neo-Liberalisme)
Di atas kita sudah melihat bagaimana
pemikiran filosofis Drijarkara mengenai pendidikan dan sejauh apa pemikiran
filosofis itu diturunkan ke ranah praksis sehari-hari. Kita harus menyadari
bahwa pemikiran filosofis Drijarkara mengenai pendidikan tersebut tidak lepas
dari konteks zamannya. Tulisan-tulisan Drijarkara mengenai pendidikan ditulis
antara tahun 1956 hingga 1965, atau pada era rezim Soekarno. Tulisan-tulisan
itu lahir ketika negara-bangsa Indonesia secara politik-sosial-budaya tengah
membentuk jati-diri. Saat itu Indonesia tengah berada di dalam masa transisi
dari budaya lama feodal ke budaya baru modern, dari budaya sebagai bangsa
koloni yang terpecah-belah ke budaya sebagai bangsa merdeka yang bersatu dan berdaulat.
Ada nuansa transisi dari disintegrasi ke integrasi. Saat itu Indonesia tengah
memberlakukan sistem politik “Demokrasi Terpimpin” Soekarno, lengkap bersama
pemikiran-pemikiran NASAKOM yang hendak mengintegrasikan ideologi Nasionalis,
Agama, dan Komunis ke dalam satu pandangan. Dalam konteks global, masa-masa itu
adalah puncak Perang Dingin, tarik-menarik hegemoni ideologi antara
kapitalisme-liberalisme a la Amerika
Serikat dan komunisme a la Uni
Soviet, di mana Indonesia terjebak dan terhimpit di antaranya, dan di bawah era
Soekarno Indonesia semakin condong ke Kiri. Pada tahun-tahun itu Indonesia
memberlakukan kurikulum 1952
dan 1964.
Perlu kami sebut di sini tentang persahabatan Drijarkara dengan Soekarno yang
dimonumenkan dengan pohon Beringin Soekarno yang sampai pada waktu paper ini
kami tulis masih berdiri kokoh di tengah kampus kami dan memayungi kegiatan
akademis-kultural di sana. Maka, kita bisa memahami bahwa pemikiran Drijarkara
tentang pendidikan diwarnai dengan gagasan perihal transisi dan peralihan dari
disintegrasi ke integrasi. Pendidikan di dalam paradigma Drijarkara adalah
pemanusiaan manusia muda, yaitu bantuan kepada manusia muda melewati
disintegrasi dengan sifat-sifat biologisnya (materia) menuju integrasi dengan
sifat-sifat insaninya (hominisasi dan
humanisasi), dan disintegrasi dengan
budaya lama yang feodal menuju integrasi dengan budaya baru yang rasional-modern-demokratis-adil.
Sehingga, ketika kita hendak memakai paradigma pendidikan a la Drijarkara, kita harus memahami bahwa di dalam pemikiran
Drijarkara perihal pendidikan tersebut belum terdapat kesadaran bahwa konteks
politik-sosial-budaya-ekonomi yang ada di era sekarang ini adalah
Neo-Liberalisme.
Di dalam pemikiran Drijarkara perihal
pendidikan masih belum terdapat kesadaran kelas-sosial,
kesadaran bahwa di dalam institusi pendidikan terjadi pertarungan kelas-sosial
dan pertarungan antara ideologi dominan dengan ideologi resisten sehingga
sekolah tidak pernah menjadi institusi yang netral, dan kesadaran bahwa apa
yang Drijarkara sebut sebagai “kebudayaan” dan “proses pembudayaan” itu tidak
pernah ada di dalam situasi yang netral. Jika ingin mengangkat pemikiran
Drijarkara perihal pendidikan lebih jauh sehingga sejalan dengan semangat
pendidikan kritis, kita harus memasukkan kesadaran-kesadaran tersebut ke dalam
pemikirannya. Di dalam paradigma pendidikan kritis, sekolah bukanlah tempat
yang netral. Pendidikan kritis melihat bahwa sekolah adalah lembaga di mana
kelas yang dominan (mayoritas/berkuasa) berusaha menyebarkan hegemoni sehingga
dapat mempertahankan status quo. Di
dalam perspektif tersebut, sekolah dipandang sebagai lembaga di mana ideologi
dan sistem ekonomi-politik yang dominan berusaha mereproduksi dan
mempertahankan diri. Dewasa ini, ideologi dan sistem ekonomi-politik dominan
yang dipakai oleh hampir semua negara di dunia (termasuk Indonesia) adalah
Neo-Liberalisme.
Neo-Liberalisme bisa dimaknai paling
tidak dengan empat cara: (1) economic
reform policies atau rangkaian kebijakan dalam rangka reformasi ekonomi;
(2) model pembangunan; (3) ideologi; dan (4) paradigma akademis. Sebagai
strategi reformasi ekonomi, neoliberalisme mencakup tiga rumpun kebijakan,
yaitu: (1) liberalisasi ekonomi, khususnya penghapusan segala bentuk
pengendalian harga; (2) meminimalisasi peran negara di bidang ekonomi,
khususnya dengan swastanisasi aneka perusahaan milik negara; (3) dan
stabilisasi ekonomi makro, yang di dalamnya terdapat pula kebijakan pemotongan
aneka subsidi yang disediakan oleh negara. Sebagai model pembangunan,
Neo-Liberalisme adalah serangkaian kebijakan dan strategi spesifik tentang cara
suatu masyarakat akan diorganisasikan atau ditata. Kebijakan dan strategi
spesifik ini meliputi segenap sektor kehidupan, khususnya terkait pengaturan
tenaga kerja, modal (investasi asing), dan peran negara. Sebagai ideologi,
Neo-Liberalisme menekankan freedom
atau kebebasan-individual sebagai nilai sosial tertinggi. Neo-Liberalisme
mengidealkan peran negara yang minimal dan peran swasta yang maksimal. Mediasi
hubungan antarswasta yang maksimal itu adalah hubungan pertukaran di pasar yang
bebas. Akan tetapi, untuk mencapai dan mengamankan agenda serta tujuan
kebebasan-individual itu, negara akan mengambil sikap Neo-Konservatif. Sebagai
paradigma akademik, Neo-Liberalisme adalah asumsi-asumsi positif yang dipakai
untuk menjelaskan bagaimana pasar (bebas) beroperasi. Individu-individu
(swasta) diandaikan setara dan memiliki modal yang sama, memiliki titik
berangkat yang sama (sederajat begitu saja tanpa melihat realita adanya
perbedaan kelas-sosial), dan diandaikan sama-sama berusaha memaksimalkan nilai
guna dan keuntungan dengan cara memberikan respon secara rasional dan efisien
demi mengoreksi sinyal-sinyal yang diberikan oleh pasar. Kami
tidak akan membahas semuanya di sini secara mendalam. Untuk mengaitkannya
dengan pendidikan, kami hanya akan berfokus pada Neo-Liberalisme sebagai model
pembangunan dan Neo-Liberalisme sebagai ideologi.
Globalisasi Neo-Liberal membuat industri
negara-negara maju mengalami pergeseran ke bidang jasa. Industri jasa itu
mencakup pula bidang pendidikan. Bisnis pendidikan kini menjadi bisnis yang
menguntungkan dan bahkan menjadi andalan. “Edu-business”atau
“bisnis pendidikan” adalah bisnis yang menggiurkan, tidak hanya di
negara-negara maju, melainkan juga di hampir semua negara di dunia. Ada tiga
agenda para kapitalis pelaku bisnis pendidikan ini: (1) memproduksi dan
mereproduksi angkatan kerja terampil sesuai kebutuhan industri kapitalis dan
generasi konsumen yang selaras dengan kepentingan akumulasi modal, (2) mengeruk
keuntungan sebesar mungkin dari menjual jasa pendidikan ini, sehingga
seakan-akan pandangan bahwa pendidikan merupakan kegiatan non-profit tidak lagi
bisa dipertahankan, (3) mendirikan kampus-kampus/sekolah-sekolah franchise secara global, menjual
kurikulum, atau langsung bekerja sama dengan korporasi lokal untuk mengeruk
keuntungan yang lebih besar.
Ada setidaknya empat kebijakan
Neo-Liberal yang diterapkan oleh sebuah negara. Kebijakan itu tidak bisa dilihat
sebagai kebijakan lokal suatu negara semata. Kebijakan itu harus dilihat
sebagai sebuah kebijakan yang mengikuti suatu kebijakan global Neo-Liberal. Pertama, adalah kebijakan “penghematan
belanja publik”; salah satu praksis dari kebijakan itu adalah pengurangan
berbagai macam subsidi yang biasanya (bahkan seharusnya wajib) disediakan oleh
negara kepada rakyat dalam berbagai sektor kehidupan, dalam pembahasan kita ini
pendidikan. Kebijakan ini adalah syarat pemberian bantuan pinjaman oleh lembaga
keuangan internasional (Bank Dunia dan IMF) kepada negara-negara dunia ketiga.
Sebenarnya kebijakan ini hanyalah sebuah kepastian bahwa negara yang
mendapatkan bantuan hutang itu dapat melunasi hutang-hutangnya. Kedua, swastanisasi berbagai layanan
jasa yang sebelumnya dikuasai/dikelola oleh negara. Untuk mengelabuhi
masyarakat bahwa negara telah melepas tanggung jawabnya kepada pihak swasta,
diciptakanlah pasar semu di mana seolah-olah terjadi persaingan kualitas
layanan, seperti misalnya penciptaan sekolah unggulan, sekolah percontohan,
sekolah berstandar nasional, sekolah rintisan bertaraf internasional, sekolah
berstandar internasional, dan semacamnya di tengah-tengah sekolah-sekolah yang
sudah ada. Ketiga, agar pasar
tercipta, diterapkanlah kebijakan desentralisasi, sehingga tanggung jawab
negara dalam menyelenggarakan berbagai jasa, dalam pembicaraan kita ini
pendidikan, berkurang. Pihak swasta semakin dilibatkan di dalam
menyelenggarakan jasa pendidikan. Hal ini akan menciptakan kualitas pendidikan
yang berlainan bagi golongan masyarakat (kelas-sosial) yang berbeda-beda.
Sekolah yang bayaran SPP-nya mahal seolah-olah memiliki kualitas yang jauh
lebih unggul dari pada sekolah yang gratis. Kelas menengah-atas (masyarakat
mampu), yang tentu mengutamakan kualitas bagi pendidikan anak-anaknya, pasti
akan menyekolahkan anak-anak mereka tersebut di sekolah-sekolah yang mahal.
Sementara, kelas bawah (masyarakat miskin dan marjinal) tidak akan mampu
mengakses pendidikan berkualitas yang pada umumnya ditawarkan oleh
sekolah-sekolah mahal itu. Kamu mau sekolah apa, uangmu berapa? Keempat, hak seluruh masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan yang berkualitas digeser menjadi peluang yang tidak sama
untuk merebut pendidikan dan modal budaya tambahan lain, sesuai dengan
kemampuan finansial. Setelah lulus SMP, anak-anak dari keluarga kelas
menengah-atas akan sekolah di SMA terkemuka sehingga bisa melanjutkan sekolah
di perguruan tinggi ternama, sementara anak-anak dari keluarga miskin dan
marjinal paling banter hanya memilih sekolah di SMK sehingga bisa langsung
bekerja.
|
sumber facebook |
b.
Pedagogi
Radikal Mark Bracher dan Drijarkara
Dalam
pendidikan Drijarkara, pendidikan dipahami sebagai suatu kegiatan yang mengubah
dan menentukan kehidupan manusia. Perubahan yang dialami ini terjadi tidak
hanya pada peserta didik tetapi juga pada pendidik. Pendidik dalam melakukan
proses pendidikannya itu membuatnya harus menentukan sikap-sikap yang juga
harus diambil ketika seseorang memutuskan untuk berkeluarga, menjadi orang tua
berarti juga mengambil posisi sebagai pendidik dari tunas muda. Mendidik
berarti pemanusiaan pada tunas muda, humanisasi. Bagi Drijarkara suatu proses
pendidikan menjadi berhasil bukan hanya ketika dia menjadi indvidu, melainkan
ketika dia juga dapat mengembangkan kepribadiannya dalam masyarakat. Dalam
istilah Drijarkara, seorang individu tidak dapat dipisahkan dari aspek
kepribadiannya sebagai individu dan aspek personanya dalam memasyarakat.
Walaupun dalam hal ini Drijarkara tidak menyangkal bahwa akan ada tegangan di
mana seorang akan selalu mencoba menyeimbangkan antara aspek kepribadian dan
persona dalam dirinya.
Mark
Bracher dalam bukunya Radical Pedagogy,
Identity, Generativity, and Social Transformation menegaskan bahwa pendidikan
harus mendukung dan mengembangkan identitas dari para peserta didiknya. Bagi
Bracher, pendidikan tidak lagi menjadi suatu proses untuk membuat peserta didik
dapat masuk ke dalam masyarakat, tetapi lebih penting dari hal itu, di era yang
lebih modern saat ini, pembentukan identitas menjadi tujuan yang penting dan
berkelanjutan dari pendidikan.
Pendidikan
menjadi suatu yang penting karena identitas yang kuat dari seseorang akan
mendasari perkembangan intelegensi, mengembangkan kapasitas dan motivasi dalam
belajar. Identitas juga menjadi suatu dasar dari kesehatan psikologis
seseorang. Lebih lanjut banyak permasalahan sosial seperti kriminalitas dan
kekerasan muncul karena adanya permasalahan mengenai identitas seseorang. Dari
sebab itulah pembentukan identitas menjadi suatu tujuan penting dalam suatu
proses pendidikan dalam menghadapi perubahan sosio-budaya dewasa ini.
Identitas
sendiri dalam Bracher dipahami sebagai perasaan tentang diri sebagai kekuatan
yang punya tempat di dunia ini yang meliputi kualitas yaitu kontinuitas,
konsistensi, agensi, distingsi, belonging, dan makna. Lalu bagaimanakah
pendidikan membantu peserta didiknya dalam pembentukan identitas mereka?
Bracher
menawarkan pedagogi “Empat Wacana” dalam pelaksanaan pendidikan yang mengacu pada
teori Empat Wacana dari Lacan. Ada tiga pedagogi yang akan kami bahas dalam
kesempatan kali ini, yaitu Pedagogi Otoritarian: “Wacana Tuan”, Pedagogi Kritis:
“Wacana Analisis”, dan Pedagogi Profesionalisme/Establishment: “Wacana Universitas”. Kami akan menunjukkan bahwa pemikiran
Drijarkara akan pendidikan itu merupakan “Wacana Universitas”, dan menunjukkan
titik perbedaannya dengan Bracher.
Dalam
Wacana Tuan, pendidik akan memperkenalkan tokoh-tokoh atau konsep-konsep,
pujangga, buku yang mengubah dunia, gagasan besar, tokoh ternama, cita-cita,
atau nilai-nilai tertentu (S1)
sebagai komponen identitas unggulan (privileged
identity components) yang harus diapresiasi, dinikmati, dirayakan,
diteladani, dan akhirnya diinkorporasikan ke dalam identitas para murid.
Bagi
Bracher Pedagogi Otoritarian (Wacana Tuan) bukan merupakan wacana yang ideal
dalam membantu pembentukan identitas dari peserta didik. Identitas yang
terbentuk dari pedagogi ini malahan tidak memberi ruang bagi identitas peserta
didik sendiri untuk tumbuh dan berkembang. Pedagogi orotitarian malah membuat
peserta didik mengisi dan membentuk dirinya dari identitas yang diberikan
kepadanya. Orang yang terbiasa dididik dalam Pedagogi Otoritarian akan terbiasa
bergantung dari otoritas atau teks-teks panutan, bahkan dalam menyelesaikan
masalah-masalah kehidupan sehari-hari orang-orang ini akan lebih bergantung
pada teks panutan daripada dari pengalaman, pengetahuan, kemampuan kognitif, serta
emosi yang dimiliki. Peserta didik harus terus menekan dirinya dan hanya
berhasrat untuk menyenangkan liyan. Tetapi
Pedagogi Otoritarian ini juga tidak sepenuhnya buruk dan terkadang memang
diperlukan dalam proses pendidikan, terutama terjadi pada anak (bayi) dengan
orang tua mereka di mana kesejahteraan anak sepenuhnya tergantung pada
keberadaan orang tuanya.
Agent
(Teacher) Other (Student,
Literature)
S1 Ã S2
$
a
Pedagogi
yang ditawarkan Bracher yang lebih ideal dalam pembentukan identitas adalah
dengan Pedagogi Kritis: Wacana Analisis. Bracher menyebut pedagogi ini sebagai
gabungan antara Pedagogi Resistensi dan metode Sokrates.
Dalam pedagogi resistensi sendiri pendidik memunculkan identitas dirinya
sebagai identitas alternatif dari identitas dominan yang sudah ada. Wacana Resistensi
sendiri biasanya muncul dalam lingkungan yang termarjinalkan (subaltern). Tujuan dari Pedagogi Kritis
ini adalah membantu murid agar dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan
dan struktur yang menekan dalam masyarakat, struktur yang biasanya muncul dalam
bentuk rasisme, perbedaan kelas, atau bentuk pemarjinalan yang lain. Metode ini
juga membantu peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi yang mereka
miliki secara menyeluruh sehingga membuat mereka menjadi berdaya dalam
menghadapi tekanan yang mereka hadapi.
Dalam
pedagogi kritis ini diperlukan identitas guru yang kuat, guru atau pendidik
sendiri diharapkan sudah selesai dengan dirinya sendiri dan sudah
mengidentifikasikan diri dengan kebutuhan murid yang dilayaninya. Hal inilah
yang menjadi motivasi dasar para pendidik dalam Wacana Kritis dalam mendidik
para muridnya. Di sini guru tidak berhasrat agar murid-muridnya meniru atau
menduplikasi identitas dirinya, melainkan mendorong para peserta didik yang
dibimbingnya untuk mengembangkan identitas mereka sendiri.
Pedagogi
Kritis ini tidak bertujuan untuk membantu para murid memperoleh
komponen-komponen identitas tertentu melainkan bertujuan membantu para peserta
didik untuk menyadari komponen-komponen identitasnya dan menyadari berbagai
kualitas dalam para peserta didik yang belum dimunculkan. Pedagogi Kritis tidak
menawarkan komponen-komponen identitas yang siap pakai (prefabricated) melainkan menawarkan proses menemukan potensi
komponen-komponen identitas yang ada dalam diri murid dan membantu murid
mengembangkan potensi komponen-komponen tersebut menjadi identitasnya sendiri.
Walaupun demikian ada hal-hal yang perlu diwaspadai dalam penerapan Pedagogi Kritis
ini, Bracher memeringatkan agar dalam proses pendidikan yang dilakukan tidak
malah meremehkan atau mengabaikan identitas murid yang malah menimbulkan
alienasi dan Pedagogi Kritis juga memiliki kecenderungan untuk mereduksi
identitas individual murid ke dalam berbagai koordinat sosialnya dan malah
mengabaikan “sense of oneself” dari
peserta didik.
Kembali
pada Drijarkara, Bracher memiliki penekanan yang sama dengan apa yang
Drijarkara ungkapkan dalam banyak tulisannya, salah satunya adalah dalam
membentuk pendidikan yang ideal bagi para peserta didik, perlu dibentuk para
pendidik yang baik. Pendidik yang baik dalam Bracher adalah pendidik yang
melandaskan identitas dan motivasinya untuk membentuk identitas yang kuat dari
para muridnya. Untuk istilah yang lebih mudah di sini saya membahasakannya
sebagai seorang yang memang memiliki jiwa sebagai guru, guru yang memang
mengabdikan dirinya untuk mengembangkan
dan menumbuhkan para muridnya.
Jika
Bracher mengidealkan Wacana Kritis sebagai wacana yang ideal dalam melakukan
pendidikan bagi para peserta didiknya, Drijarkara memiliki pandangan yang
berbeda mengenai pendidikan yang ideal dalam memanusiakan manusia muda. Seperti
yang sudah dijelaskan di atas, pendidikan adalah semua kegiatan yang membuat
para tunas muda memasuki tatanan masyarakat (budaya, sosial, politik, tatanan
simbolik), atau kegiatan yang membuat kebudayaan itu dibatinkan dan diafirmasi.
Pandangan Drijarkara ini cukup sejalan dengan pandangan Bracher mengenai
Pedagogi Profesionalisme/Establishment:
Wacana Universitas. Dalam Wacana Universitas tugas pendidik adalah mengantar
murid masuk ke dalam wacana disiplin yang mereka kuasai atau ke dalam wacana
akademik secara umum, dalam hal ini Drijarkara menyatakan untuk membantu
peserta didik masuk ke dalam masyarakat secara umum. Tindakan yang
memberdayakan para peserta didiknya. Guru tidak berhasrat membentuk murid
berdasar ideal atau nilai tertentu, melainkan dalam sistem pengetahuan,
mengetahui atau memahami bagaimana, dan/atau praktik yang telah mapan.
Dalam
proses pendidikan sendiri dinamika proses pembelajarannya adalah guru
memberikan suatu sistem pengetahuan, kaidah keilmuan, atau praktik profesional
yang bersifat membentuk identitas, agar diadopsi dan dilestarikan oleh para
peserta didik. Untuk memberikan sistem pendidikan tersebut, para pendidik
membutuhkan suatu bejana kosong
atau suatu materi yang tidak berbentuk (amorphus)
tempat dia bisa mewujudkan dan membentuk wacananya. Bejana kosong tersebut
bisa berupa teks, realitas, atau bahkan murid itu sendiri. Dan, jika murid yang
digunakan sebagai bejana kosong, berarti tugas murid adalah sekadar menerima
dan melestarikan pengetahuan baru yang disodorkan oleh guru serta
memantulkannya kembali. Dengan kata lain, pedagogi profesionalis bertujuan
untuk memperoleh topangan bagi identitas mereka dengan cara menyodorkan sebuah
sistem yang jika diinternalisasikan akan berfungsi sebagai sumber pengakuan
internal dan memberikan rasa berdaya, dan kebermaknaan yang mengukuhkan
identitas layaknya keanggotaan dalam sebuah klub.
Driyarkara juga sejalan dalam hal tersebut.
Sebenarnya
konsep pendidikan Bracher memiliki tujuan yang berbeda dengan konsep pendidikan
Driyarkara, hal ini barangkali karena ada perbedaan konteks pemikiran yang
tumbuh dari dua masa yang juga berbeda jauh. Bagi Drijarkara, tujuan dari
pendidikan adalah suatu proses pembudayaan bagi manusia muda di mana mereka
pada akhirnya dapat masuk ke dalam masyarakat, sedangkan Bracher di sini lebih
menekankan pada pembentukan identitas yang kuat dari seseorang. Dengan
identitas diri yang kuat, berkesinambungan, dan berkembang dengan baik akan
lebih memudahkan orang tersebut dalam menghadapi dunia yang penuh perubahan
ini.
6.
Penutup
- Drijarkara dan Pendidikan Kritis
Pemikiran Drijarkara tentang pendidikan
belum sejalan dengan semangat pendidikan kritis yang kita pahami saat ini. Jika
kita hendak tetap memakai pemikiran Drijarkara tentang pendidikan, bahkan
memakainya sebagai pendidikan kritis, kita harus “memodifikasinya”. Di dalam
konsep-konsep “pembudayaan” dan “pemanusiaan manusia muda” itu, kita harus menambahkan
kesadaran kelas-sosial, bahwa budaya itu tidak pernah merupakan sesuatu yang
netral. Budaya adalah budaya mayoritas (kelas berkuasa) yang hegemonis, selalu
hendak direproduksi di lembaga-lembaga pendidikan, dan cenderung
memarjinalisasi budaya minor. Maka, kita harus menyadari bahwa lembaga
pendidikan (sekolah) bukanlah sebuah tempat netral, tetapi merupakan arena tempat
terjadi perebutan ruang dan pertarungan ideologi.
Selain itu, konsep pembentukan subyek
Drijarkara (hominisasi dan humanisasi) itu harus diselaraskan dengan
Wacana Analisis Bracher (Pedagogi Kritis). Pembentukan subyek Drijarkara itu seperti
seorang pembuat tembikar mengolah tanah liat supaya menjadi kendi atau
kerajinan lainnya, jadi tunas muda dianggap kosong, “belum” manusia, sehingga
perlu dimanusiakan oleh manusia senior yang sudah terlebih dahulu menguasai
“cara-cara menjadi manusia” (ilmu pengetahuan, kebudayaan, kebijaksanaan, dsb.).
Sebenarnya, konsep pendidikan Drijarkara menawarkan peluang kekritisan ketika
dia menekankan bahwa ilmu pendidikan itu harus bersifat kritis, metodis, dan sistematis (tidak membeo dan tidak
membebek). Kita bisa memasukkan konsep ideal Bracher melalui itu. Bagi Bracher,
pembentukan identitas yang ideal pada peserta didik adalah ketika siswa
dibentuk melalui Pedagogi Kritis (Wacana Analisis). Pedagogi Kritis itu adalah
pedagogi di mana tunas muda diminta untuk mengembangkan identitasnya sendiri,
tidak selalu harus sesuai dengan identitas hegemonis yang berlaku di masyarakat.
Sebagai arena pertarungan ideologi,
sekolah jelas membawa ideologi hegemonis sebagai wacana utamanya. Melalui
kurikulum, entah itu kurikulum 2013 atau kurikulum 2006, negara menyuntikkan
dan mereproduksi ideologi hegemonis tersebut. Ideologi hegemonis yang
disuntikkan negara itu tidak bisa kita lihat sebagai produk lokal negara semata.
Ideologi hegemonis yang berlaku dewasa ini adalah ideologi global (berlaku di
hampir semua negara di dunia, juga termasuk Indonesia walau dengan malu-malu),
yaitu Neo-Liberalisme. Tidak ada kesetaraan kesempatan akses pendidikan antara
negara maju dengan negara ketiga, antara kelas menengah-atas dengan kelas
bawah-marjinal. Negara maju dapat mengakses teknologi sebagai tenaga ahli,
sementara negara ketiga hanya bisa mengakses teknologi sebagai tenaga terampil.
Kelas menengah-atas dapat mengakses pendidikan “berkualitas” yang mahal,
sedangkan kelas bawah-marjinal paling banter hanya dapat mengakses pendidikan
kejuruan supaya segera dapat bekerja (dicetak menjadi tenaga kerja semata).
Maka, di dalam nuansa Neo-Liberalisme, sekolah dipandang semata sebagai ruang
produksi dan reproduksi angkatan kerja serta masyarakat konsumen. Secara pragmatis,
orang-orang hanya akan mengejar nilai, IPK, gelar, dan ijazah. Orang
mengirimkan anaknya supaya dapat segera bekerja; jurusan-jurusan yang “basah”
itu lebih laris. Drijarkara sudah melihat hal ini dan menaruh keprihatinan,
akan tetapi pandangannya melulu moralis. Kita perlu mengambil alih pandangan
Drijarkara ini dan memberi perspektif yang lebih luas, bahwa fenomena itu
terjadi karena sistem yang berlaku adalah sistem Neo-Liberal (Kapitalisme
Global).
Setelah memodifikasi pandangan
Drijarkara tersebut di atas, kita bisa mengkritisi kurikulum 2013 atau kurikulum
apapun yang hendak diterapkan oleh negara. Pendidikan itu hendak membentuk anak
menjadi apa? Semata-mata angkatan kerja yang siap dipakai oleh kepentingan
modal (global) atau benar-benar memanusiakan mereka, sejauh mereka menjadi diri
mereka sendiri. Kita juga bisa mengambil jarak dari kebijakan terbaru Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan kita, bahwa Kurikulum 2013 ditunda pelaksanaannya, dan hanya digunakan di sekolah-sekolah
tertentu sebagai sekolah pengembangan dan percontohan. Memang Kurikulum 2013 berangkat
dari semangat pendidikan kritis, tetapi implementasi di lapangan sangat
bertentangan dengan semangat itu. Juga ketika Kurikulum 2013 itu hanya
diterapkan di sekolah-sekolah tertentu yang sudah “siap”, sementara
sekolah-sekolah lain kembali ke Kurikulum 2006. Apa yang dimaksud “siap” di
sini? Sekolah apa yang masuk sebagai kriteria “siap” di sini? Jangan-jangan
negara tengah menciptakan “sekolah-sekolah khusus” (dengan biaya-biaya khusus) model
baru? Jangan-jangan negara tengah membuat dua standar kualitas pendidikan yang
berbeda bagi kelas-kelas masyarakat yang berbeda? Pastilah Pak Nala
(Drijarkara), setelah bertemu dengan perspektif kritis itu, akan semakin merasa
prihatin ketika mengetahui jika tujuan pendidikan (kurikulum) kita semata-mata
hanya mencetak tenaga kerja dan subyek konsumen demi stabilitas ekonomi makro
dan langgengnya hegemoni sistem Neo-Liberalisme global, tanpa perhatian
mendalam kepada proses para tunas muda itu memanusia sesuai dengan identitasnya
sehingga mampu melawan sistem hegemonis tersebut.
7.
Daftar
Pustaka
Bracher, M. 2006. Radical Pedagogy, Identity, Generativity, and Social Transformation. New
York: Palgrave Macmillan
Danuwinata, F. (editor). 2013. Kumpulan Surat Romo Drijarkara,
Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma
Drijarkara, N. Kumpulan Karangan alm. Prof. Dr. Driyarkara, SJ. (jang pernah dimuat
dalam Madjalah BASIS)
Radityo Adi, Martinus, dkk. Kurikulum 2013 Dikaji Dari Perspektif
Pendidikan Kritis, paper Studium Generale, Universitas Sanata Dharma, 09
Desember 2014
Subanar, G. B. (editor). 2013. Oase Drijarkara, Tafsir Generasi Masa Kini. Yogyakarta:
Penerbit USD
Subanar, G. B. (editor). 2006. Pendidikan a la Warung Pojok,
Catatan-catatan Prof. DR. N. Driyarkara, SJ, tentang masalah Sosial, Politik,
dan Budaya. Yogyakarta: Penerbit USD
Sudiarja, A., dkk. (editor). 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Supratiknya, A. Empat Macam Pedagogi Jacques Lacan. tulisan lepas. Universitas
Sanata Dharma
Supratiknya, A. Membaca Pemikiran Driyarkara tentang Pendidikan di Zaman Sekarang.
tulisan lepas. Universitas Sanata Dharma
Supratiknya, A. Pedagogi Radikal Mark Bracher. tulisan lepas. Universitas Sanata
Dharma
Suwarno, P.J. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Comments
Post a Comment