HARAPAN

  HARAPAN Harapan bukanlah keyakinan akan sesuatu di masa depan. Harapan adalah kesaksian, bahwa kita tetap akan bertahan, terus menjalani hidup, menghadapi segala yang hidup berikan, dengan segenap kepercayaan akan gelora cinta yang menggebu... walau hidup hanya berisi duka, lara, dan air mata. Wabah ini telah merenggut nama-nama yang kita kenal dengan baik... mengubah mereka menjadi deretan angka statistik. Perpisahan demi perpisahan... justru mengantarkanku di sini dan kini. Cintaku menanti di balik Lawu. Tunggulah, aku datang bagai gelombang... membawa deru rindu. Corona, kukutuk sumpahi engkau! Aku memang akan mati, tetapi tidak hari ini!!!   13 September 2021 Padmo Adi

PADA LORONG INI - Refleksi Filosofis-Puitis


Pada Lorong Ini
Refleksi Filosofis-Puitis

Padmo Adi

 


KATA PENGANTAR

Setelah mengadakan malam revolusi (jeblink[1]) tepat seminggu setelah Malam Paska 2009, saya kembali ber-evolusi. Tujuan saya melepas jubah itu adalah supaya dapat dengan bebas menjadi seorang seniman, penyair, dan pemikir-bebas. Dalam pengasingan yang baru saya terus berproses, merenung, menulis, dan bersyair. Saya sudah ikut sebuah kelompok teater, itu pertama. Saya masih merenung dan menulis serta bersyair, itu kedua. Namun, saya belum sempat melukis, itu soal lain. Fokus utama saya sekarang adalah kembali memperkenalkan eksistensialisme-humanisme[2] dengan cara yang sebenarnya tidak terlalu genuine, sastra. Maka, saya bermaksud mempublikasikan hasil-hasil renungan saya dalam rupa puisi ini. Dalam buku kecil ini terkandung puisi-puisi saya, renungan-renungan filosofis tentang kehidupan. Selain itu juga ada beberapa renungan dalam wujud esai saya letakkan di antara puisi-puisi sebagai oasis ketika bosan membaca puisi-puisi itu.
 Terus-terang belum pernah dari tulisan-tulisan dalam buku ini yang dipublikasikan. Beberapa puisi memang pernah saya muat dalam ‘Kala Senja Tiba’, sebuah buku indie koleksi pribadi hasil iseng belaka. Sedangkan beberapa esai pernah saya kumpulkan kepada dosen sebagai paper. Namun, sebagian besar tulisan yang termuat dalam buku sederhana ini benar-benar masih perawan.
Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis buku ini, tapi kesibukan kuliah, adaptasi sesudah revolusi, dan kesibukan berteater sebegitu menyita perhatian sehingga saya mengalami kesulitan menciptakan waktu untuk buku ini. Justru setelah mengalami kecelakaan tunggal bersama teman sesama exfrat[3], baru saya mampu menciptakan waktu untuk menyelesaikannya. Sungguh suatu ironi memang. Namun, setidaknya buku ini dapat menjadi manifestasi ungkapan syukur saya kepada Dia Yang Adalah Dia sebab kami masih diberi kesempatan untuk mengada (sesuai ada). Pernyataan tadi mungkin agak mengejutkan. Orang-orang yang tidak begitu mengenal saya mungkin menilai saya adalah seorang kafir di bumi Indonesia yang percaya akan Ketuhanan –dengan nama siapapun kita memanggil Dia– sebab mereka salah paham dengan salah satu puisi saya yang tidak saya publikasikan kecuali dalam milis. Sebenarnya saya bukan seorang penganut atheisme ataupun deisme. Verus philosophus amator Dei[4], amator Dei amator homini.
Jika ditanya kepada siapa buku ini saya dedikasikan, saya akan menjawab kepada mereka yang masih mencari Larasati[5], khususnya para pemuda. Sedangkan secara ad hominem saya akan mendedikasikan buku ini kepada C. B. Mulyatno, Pr (dosen filsafat di FTW – USD), Andreas Tri Adi Kurniawan, MSF yang banyak memberikan inspirasi, Albertus Magnus Than Tian Sing, MSF yang mengajari kami segala hal tentang kemanusiaan, teman-teman seperguruan di Salatiga (khususnya Dismas ‘Gogon’ Bayu Dewantara yang turut saya celakakan dalam kecelakaan tunggal itu), dan mereka yang padanya saya berkorelasi dalam suasana cinta. Jadi, jika Anda merasa sedang mencari Larasati atau adalah salah satu nama yang saya sebut di atas, buku ini untuk Anda. Saya harap buku sederhana ini dapat berguna bagi Anda. Lewat buku ini saya hanya share tentang petualangan saya mencari Larasati dan suka duka saya mencintai Sophia. Dengan membacanya mungkin kita akan berdialog sehingga akan memunculkan sintesis-sintesis baru demi kehidupan yang lebih baik.
Selamat membaca. Sapere aude!!!

Sarang Kalong, 23 Juni 2009


Baca selanjutnya...
Unduh di sini (download here)
 

[1] Keluar dari biara.
[2] Soren Kierkegaard mendirikan aliran ini pada akhir abad XIX, Martin Heidegger me-booming-kannya setelah Perang Dunia II, Jean-Paul Sartre mendoktrinkannya pada akhir abad XX.
[3] Mantan frater.
[4] Pernyataan Augustinus, “Filsuf sejati adalah pecinta Allah.” Dan, saya menambahi, “Pecinta Allah adalah pecinta manusia.
[5] Laras: harmoni; ati: hati; larasati: harmoni hati.

Comments