KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

KLECA


Kleca

Kleca... Kleca...
sungguh aku ingin menangis menatapmu.
Akan tetapi, air mataku terlanjur kering,
membatu, dan mengganjal hatiku.

Masihkah ada Tuhan yang tersalib di rahimmu?
Sementara kausibuk bersolek diri,
memulas dengan gincu yang sebenarnya wagu,
perlahan kaukehilangan hangat keibuanmu.

Di manakah batu-batu kali itu?
Mungkin sudah kaugunakan
untuk merajam kecompang-campingan.
Kini bergemerlapanlah ‘kau. Megah nian.
Namun, anak-anakmu berserakan.

Kleca... Kleca...
Ingin rasanya aku mengumpulkan anak-anakmu,
tapi ‘kautendang-singkirkan buah rahimmu sendiri!
Hanya karena mereka begitu berisik mencintaimu,
“Jangan terlena bergincu. Tetap bersahajalah seperti dulu.”
O... Kleca... kemegahanmu sungguh sepi.

Begitu jor-joran kautampilkan wajah megahmu,
sementara anak-anakmu yang tersisa keleleran.
Ada yang bingung mau ke mana dan bagaimana.
Ada pula yang mengeluh, kauhisap tiap Minggu.
Tidakkah kaudengarkan jeritan sunyi mereka?

Kleca... Kleca...
Lihatlah patung yang tersalib
dari tembaga dalam ronggamu itu.
Kurus kering, cokelat kemerahan.
Namun, begitu jauh. Begitu asing.
Juga empat patung raksasa yang mendampinginya.
Temanku mengira itu bukan Maria, tetapi Jenova.

Masihkah ada Tuhan di dalam kemegahanmu itu?
Tuhan yang lahir di dalam kandang domba.
Tuhan yang berselimutkan kecompang-campingan.
Tuhan yang tak punya tempat untuk meletakkan kepala.
Tuhan yang mati hina, didera dan disalib, tanpa busana.

Jalan Ruwet Duwet, Karangasem, 08 Desember 2016
Padmo Adi (@KalongGedhe)

Comments