ANTARA BENTUK DAN KISAH
Kritik
atas Pertunjukan TSD Bincang Pincang
Pada hari Sabtu dan Minggu, 18-19 Mei 2019, Teater
Seriboe Djendela mementaskan empat buah pementasan maraton, dengan judul besar Bincang Pincang. Di dalam Bincang Pincang itu ada empat buah
pementasan dalam dua malam: Orang Asing,
(Ng)atur, Love is a Many Splintered Things, dan Taman Gajah & Other Stories. Bukan hal yang baru bagi TSD
sebenarnya. Biasanya pementasan maraton semacam itu memang diadakan untuk
menjadi laboratorium bagi teman-teman TSD, terutama anak-anak baru, untuk
bereksperimen dengan segala aspek artistik dalam suatu pertunjukan teater. Aku
sangat mengapresiasi program semacam ini, sebab lewat program TSD semacam
inilah dulu aku berkembang, mencoba gagasan atau teori dalam berteater,
mengusung tema yang mungkin bukan arus-utama, mencoba-coba naskah,
mengeksplorasi set, make up-kostum, dan tata cahaya, serta sekaligus mencoba
bentuk-bentuk baru. Pementasan maraton TSD 18-19 Mei 2019 kemarin kukira juga
tidak jauh berbeda dengan pementasan maraton TSD sebelum-sebelumnya yang pernah
aku alami bertahun-tahun lalu itu. Pementasan itu menjadi agak istimewa
mengingat pada Bulan Mei 2019 ini TSD merayakan dua dasawarsanya, TSD ulang
tahun yang ke-20. Atas alasan itu pulalah aku menyempatkan waktu untuk
berkendara 60 kilometer ke Selatan, untuk menyaksikan TSD selama dua malam.
Hanya saja, setelah menyaksikan pentas maraton itu aku jadi sedih.
Pasca-pementasan malam kedua, aku berkumpul dengan
beberapa teman membahasnya. Mereka mendorongku untuk menuliskan isi hati dan
pikiranku. Namun, tidak juga segera aku tuliskan. Aku ingin mengendapkan segala
sesuatunya supaya aku dapat menulis dengan objektif, dan lepas dari perasaan
sedih pasca-menonton pentas maraton TSD tersebut. Lagipula, pada tanggal 21-23
Mei 2019 kemarin fokusku teralihkan pada kondisi Zakardah. Syukurlah chaos yang terjadi di Kota Pelacur Tua
itu tidak merembet ke kota-kota lain, seperti yang terjadi pada Mei 21 tahun
silam. Kemudian, di Kota Aldebaran, di Clock Tower B1, aku bertemu dengan
seorang teman, dia bukan sekadar alumni TSD, tetapi mantan Lurah TSD. Kami
berbicara banyak hal tentang TSD sekarang ini. Aku meminta pandangannya. Dia
memang tidak menyaksikan semua pentas TSD 18-19 Mei 2019 tersebut, tetapi dia
cerita banyak hal, terutama cerita mengenai TSD yang sehari-hari kini, dan itu
meyakinkanku untuk menuliskan isi hati dan pikiranku setelah menyaksikan Pentas
Maraton TSD tersebut.
|
Orang Asing. Sajian oleh TSD 2019. Dokumen pribadi. |
Spoiler
alert: jika kalian hanya menginginkan membaca hal-hal yang baik saja dari
tulisan ini, silakan membaca satu paragraf berikut ini saja, lalu selesai,
tinggalkan tulisan ini. Akan tetapi, jika kalian ingin tahu keseluruhan isi
hati dan pikiranku, silakan membaca semua tulisan ini sampai paripurna.
Aku adalah orang yang selalu percaya bahwa metode
keaktoran TSD itu berani diadu. Metode-metode keaktoran TSD itu selalu menghasilkan
aktor yang realis, bahkan cenderung naturalis. Business acts yang dilakukan oleh aktor-aktor TSD itu benar-benar
natural sehari-hari. Hal itu terlihat pada hampir keempat pertunjukan. Walaupun
ada satu dua pementasan yang mencoba untuk “tidak serealis itu”, bisa dikatakan
keseluruhan gesture, mimik, bahkan
cara bertutur sangat realis, bahkan cenderung naturalis. Perbedaan antara
realisme dan naturalisme di dalam seni pertunjukan nanti kalian bisa dalami
sendiri deh ya, tetapi yang kumaksudkan di sini adalah bahwa akting para
aktor-aktris TSD itu benar-benar sehari-hari, mengalir, tidak artifisial.
Sepertinya memang ada kecenderungan dari TSD untuk memindah peristiwa real
sehari-hari ke atas panggung teater. Apa keuntungan positif dari cara akting yang
demikian? Film! Aktor yang terbiasa bermain teater absurd akan mengalami
kesulitan ketika harus bermain realis. Sementara, aktor yang terbiasa bermain
realis tentu akan menjadikan realisme itu makanannya sehari-hari, walau
realisme itu tidak murah. Realisme inilah modal untuk “melebarkan sayap” ke
dunia film. Banyak aktor teater yang “disunat” kanan-kiri supaya pas ketika
harus masuk ke kamera, justru karena akting mereka yang terlalu neater. Sementara, di dunia film, justru
akting yang naturalis itulah yang dicari. Business
acts kecil-kecil macam akting aktor-aktris TSD itu sangat cocok dan pas
kalau dipindah ke medium kamera, sebab di dalam layar film seorang aktor hanya
membutuhkan akting kecil-kecil untuk menggambarkan dinamika emosi dan kognisi.
Aku lihat, aktor-aktris TSD pada Bincang
Pincang kemarin sangat potensial untuk berakting di depan kamera. Mau
mencoba? TSD bikin film pendek gitu? Atau mau kukenalkan dengan film maker Jogja/Solo?
Puji-pujiannya
sudah ya sampai di situ saja. Kalau masih ingin melanjutkan membaca, kusarankan
kalian menyiapkan hati dan pikiran, sebab aku tidak akan menahan diksiku.
Celakanya, akting ciamik para aktor TSD itu tidak
didukung dengan cerita dan bentuk yang oke! Baiklah, tentu tidak semua dari
empat pertunjukan itu seburuk itu. Buruk? Elek
wae durung, kalau kata Den Sugeng. Menurutku, dari keempat pertunjukan itu,
yang paling potensial dan paling safe
adalah sajian Orang Asing. Kenapa aku
bilang paling potensial dan paling safe?
Pertama, ya jelas, aktor-aktris TSD, tidak usah ditanya lagi. Kedua, keputusan
sutradara untuk memilih naskah jadi, alih-alih memaksakan ego mementaskan
naskah baru bikinan sendiri, justru menyelamatkan mereka in the first place. Dari segi setting,
kukira, Orang Asing inilah yang
paling niat. To be frank, aku sendiri
pernah mementaskan Orang Asing,
tetapi aku tidak pernah memikirkan setting
yang se-noir Orang Asing TSD kemarin itu. Untuk itu, aku kagum ... aku kagum
pada imajinasi anak-anak muda ini ... imajinasi yang gelap untuk menampilkan
sebuah tragedi. Dari setting-properti
yang disuguhkan, aku bisa membayangkan bahwa rumah itu memang benar-benar ada
jauh dari peradaban, dari kampung terdekat, sehingga Sinah dan ibunya bisa
sedemikian yakin dan mantap untuk membunuh si Orang Asing. Memang benar bahwa
naskah ini adalah naskah terjemahan, tetapi kulihat mereka sudah dapat
melampauinya dan sudah cukup mengadaptasinya. Kekurangan dari Orang Asing TSD ini hanyalah bahwa
mereka kurang memainkan suspend,
sesuatu yang khas kisah-kisah misteri, pembunuhan, atau thriller; selain juga bahwa karakter si Bakul Tuak kurang kuat,
padahal dia berperan sebagai pembawa konklusi. Peran Si Bakul Tuak TSD ini
memang agak berat, sebab dia memerankan dua karakter sebenarnya, karena
karakter Anak Bakul Tuak dihilangkan.
Pementasan selanjutnya adalah (Ng)atur. Aku suka temanya: memotret kehidupan real sehari-hari
anak kos. Kehidupan sehari-hari yang dipotret dengan angle tertentu itu selalu menarik. Aku mulai tertarik ketika
tubuh-tubuh berpose dan bergerak senatural mungkin, tanpa dibuat-buat,
seolah-olah itu bukanlah berada di atas panggung, dan TANPA SUARA. Tubuh-tubuh
itu bergerak, melakukan hal-hal remeh sehari-hari, lalu datang dan pergi, TANPA
SUARA. Sampai pada titik itu aku berani bilang, ini bentuk pertunjukan yang
oke. Ketika para aktor-aktris bergerak tanpa suara, tanpa sepatah dialog,
sajian (Ng)atur ini berhasil mencuri
fokus, setelah penonton disuguhi drama realis penuh dialog. Ide yang brilian
dari sutradara, gumamku. Tapi ... yah ... sayangnya tiba-tiba kata-kata itu
muncul dari mulut para aktor. Hancurlah spectacle
(Ng)atur itu! Pada detik aktor (Ng)atur ngomong, saat itulah (Ng)atur kelelep pertunjukan Orang Asing. Sajian (Ng)atur kelelep bukan
karena tema besar yang diusung, juga bukan karena kualitas akting para
aktornya, tetapi justru karena bentuk pertunjukan dan cerita yang dibawakan. Si
penulis naskah kurang kuat dalam menghadirkan dramaturgi; ceritane flat ngono-ngono wae, mboseni. Tidak ada kejutan-kejutan.
Aku pribadi tidak akan mempermasalahkan setting-properti-nya,
supaya tidak makin remuk. Aku hanya
akan fokus pada bentuk dan cerita (Ng)atur.
Menurutku, andai saja si sutradara tetap ajeg
memakai bentuk “cuma gerak tanpa dialog” seperti yang dia suguhkan pada sesi
pertama reportoar (Ng)atur itu,
pertunjukan itu akan safe dan tidak kelelep. Akan tetapi, kalau memang
bersikukuh ingin menghadirkan dialog, kusarankan TSD bikin workshop penulisan naskah dulu deh. Serius ini! Sebab penyakit
serupa, “cerita yang mboseni dan
busuk”, itu muncul juga pada sajian ketiga dan bahkan keempat!!!
|
Love is Many Splintered Things. Sajian oleh TSD 2019. Dokumen pribadi. |
Sajian ketiga TSD berjudul Love is Many Splintered Things. Aku mengapresiasi eksplorasi bentuk
yang diupayakan kelompok ketiga ini. Ada dua ruang terpisah dalam satu
panggung. Ada adegan-adegan natural yang diusung di atas pentas; di mana
adegan-adegan natural ini dibatasi oleh “ruang-waktu” imajiner yang membagi dua
panggung itu: di sebelah kanan ada warung lesehan yang
nganak-kos-di-tanggal-tua banget, dan di sebelah kiri ada kafe yang
nganak-kos-di-tanggal-muda banget. Dua kontras yang asyik. Kemudian—ini yang
menjadikan pertunjukan ini menarik sebenarnya—ada satu aktor yang mampu
menembus dua ruang terpisah itu, dan bahkan mampu menembus dinding keempat!
Aktor itu menjadi satu-satunya aktor yang bisa dengan lincah berpindah ruang,
berpindah waktu, bersalin karakter, dan dengan bebas ngobrol dengan penonton
yang ada di balik dinding keempat itu. Suatu bentuk yang oke punya. Sayangnya
... sekali lagi ... cerita yang dibawakan sangat busuk! Membosankan! Blas ra ana dramaturgine. ‘Kan asu?! Jika tidak ada aktor penembus
dinding keempat itu, dan jika tidak ada adegan mesra-mesraan aktor-aktris pada
ruang kafe itu ... huft ... betapa membosankan. Sekali lagi kusarankan,
penulis-penulis naskah di TSD ada baiknya belajar lagi deh; banyak-banyak baca
naksah teater jadi, script film, atau
karya sastra lainnya yang greget deh. Man-eman
tauk!!!
Sementara pada reportoar terakhir, Taman Gajah and Other Stories ...
alamakjang ... what can I say?! What must
I say?! Apa yang harus kukatakan kepada mereka sebagai sesama alumni TSD?
Ya, sebenarnya secara verbal aku sudah menyampaikan isi hati dan pikiranku
mengenai sajian ini kepada salah satu aktornya sih. Saranku, misalnya man-teman
mau bikin pertunjukan serupa lagi, ya cuma ini:
1. Hati-hati
dalam mencampur dua bentuk jadi. Pada Taman
Gajah and Other Stories ada dua bentuk jadi yang dicampur begitu saja tanpa
dioplos dengan oke: dramatic reading
dan pantomime. Alangkah lebih baik
jika Taman Gajah and Other Stories versi
dramatic reading itu dipisahkan
dengan yang versi pantomime menjadi
dua pertunjukan terpisah, sehingga seharusnya TSD pada dua malam itu punya lima
pertunjukan, alih-alih cuma empat. Dari segi komposisi blocking panggung nggak oke. Aktor-aktris dramatic reading cukup banyak. Selain ndramatic-reading, mereka turut menciptakan gesture dan moving,
ditambah dengan dua aktor-aktris pantomime
yang, walaupun tanpa suara, menciptakan gesture
dan moving yang tak kalah besar
juga, membuat suasana panggung ting riyel,
penuh sesak.
2. Jika
memang dua bentuk itu tetap harus disatukan, saranku adalah bahwa cukup para
aktor-aktris pantomime sajalah yang
ada di atas panggung. Sementara, para aktor-aktris dramatic reading pergi jauh-jauh dari jangkauan pandangan penonton,
entah di back stage, atau justru
berdiri di belakang atau duduk di depan penonton menghadap ke panggung ...
untuk menjadi seiyu alias dubber alias pengisi suara. Kualitas ndramatic-reading para aktor-aktris dramatic reading TSD kemarin oke kok.
Bisa dicoba, ‘kan, TSD melebarkan sayap, tidak hanya di dunia film sebagai
aktor di depan kamera, tetapi juga sebagai seiyu
yang bertanggung jawab menghidupkan suatu karakter yang ada di hadapannya
hanya dengan bermodalkan kekuatan dialog? Kukira akan menarik. Di TSD banyak
yang suka anime ‘kan ya? Tapi, serius
... aku melihat potensi TSD melebarkan sayap di dunia isi suara ini! Mungkin ke
depan TSD bisa bikin pertunjukan yang hanya menampilkan layar putih, lalu
memainkan film kartun, sementara suara dialog dan ekfeknya diisi secara live
oleh para teaterawan Seriboe Djendela. Kukira gayeng mesti ya?
3. Sekali
lagi faktor cerita di sini juga bikin sajian Taman Gajah and Other Stories ini busuk. Aku angkat topi sebenarnya
dengan keberanian tim naskah menciptakan suatu Frankenstein dari banyak
potongan kisah-kisah yang sebenarnya tidak ada kaitannya satu sama lain. Aku
dulu pernah melakukannya di TSD ketika pentas bersama Pudar, Tirsa, Arya, dkk.
Sehingga, aku tahu benar kesulitannya. Akan tetapi, celakanya, sepertinya tim
naskah Taman Gajah and Other Stories ini
waton nrabas ngono wae. Pokoknya asal
queue-nya sama, gathukke, dadi. Cilaka! Maka, sensasi yang kudapatkan
adalah aku tengah berada pada suatu cerita di dalam cerita di dalam cerita di
dalam pantomime!!! Pada suatu titik
aku kelelahan mengikuti cerita yang mbulet
ini, lalu menyerah, lalu whatsapp-an
dengan salah satu alumni TSD yang kini bekerja di Planet Bekasi. Mungkin bukan
salah si penyaji ... mungkin aku yang sudah terlalu tua dan lemah untuk
mengikuti cerita yang complicated
tersebut.
Pasca-melihat pentas TSD dalam rangka dua dasawarsa
itu, jujur aku sedih. Apalagi ketika aku mendengar TSD yang daily dari beberapa kawan yang masih ada
di sekitaran Jogja dan masih berjumpa dengan para teaterawan Seriboe Djendela.
Bisa jadi panyawangku iki lamur lan ora
permana, karena aku melihat TSD dari kejauhan, 60 kilometer jauhnya, satu
setengah jam lamanya. Hal itu yang bikin aku awalnya enggan menuliskan tulisan
ini. Namun, obrolanku dengan beberapa orang alumni itu meyakinkanku untuk
menuliskan hal ini, sepahit apapun, sebab justru karena aku sangat mencintai
Teater Seriboe Djendela. Ibarat’e ki
misal’e aku dijawil kon nJogja nggo nglatih TSD ngono bakal daksempat-sempatke,
ra nde bensin’a ya bakal daknduwek-nduwekke. Aku sedih, karena aku tidak
lagi melihat visi artistik di dalam TSD. Ada apa dengan TSD?! Lebih sedih lagi,
bahwa ini adalah momentum dua puluh tahun!!! Dua puluh tahun TSD, dan teater
ini mulai kehilangan visi artistik?!
|
Taman Gajah and Other Stories. Sajian oleh Komunitas Senthong (alumni TSD) 2019. Dokumen pribadi. |
Di manakah visi artistik itu bisa dicari? Belajar!
Anak-anak sastra, tidak peduli Sasindo dan Sasing, bahkan anak PBSI dan PBI
bisa menyumbang ilmu dramaturgi yang mereka dapatkan di kelas. Anak Sejarah,
Psikologi, dan Teologi (eh, emang masih ada anak Fak.Teo?) bisa menyumbang
wacana-wacana yang bisa diangkat menjadi tema pementasan. Anak teknik bisa
menyumbang gagasan-gagasan teknis mereka dalam hal setting-properti. Banyak hal bisa dibawa dari kelas-kelas di Sanata
Dharma itu ke Senthong. Selain itu juga dari banyak teater lain di seluruh
penjuru Jogja. Pengurus bisa mewajibkan nonton wajib TA anak Fakultas Teater
ISI di mBantul sana itu, atau teater-teater kampus lain, atau teater umum
seperti Garasi, dan sebagainya; untuk kemudian dibawa ke lingkaran-lingkaran
diskusi formal maupun non-formal di burjo-burjo terdekat. Atau, tak perlu
jauh-jauh belajar dari teater lain di luar tembok Sanata Dharma, bisa juga TSD
menggandeng teater-teater fakultas yang ada di Sanata Dharma. Nggandheng para aktor teater yang sedang
sekolah di IRB-USD juga bisa, kukira. Atau, gak usah jauh-jauh deh dengan
teater-teater fakultas di Sanata Dharma, TSD bisa kok njawil kakak-kakak alumni yang masih berkeliaran di sekitar Jogja
dan masih berkesenian: Mas Teo, Den Sugeng, Mbak Tita dan Mas Ricky sepasang,
Mas Inyong, Gedhek Sudibya yang Hangabehi, atau kalau tega ... kontak Mas Doni
di Tulungangung sana ... kukira mereka akan nyempat-nyempatke
niliki lan ngajari adhi-adhine kalau dijawil.
Siapapun itu, yang penting kalian punya krenteg,
kehendak hati, untuk berkembang dan mengembangkan visi artistik kalian di TSD
ini. Kalau ingin bersaing dengan teater lain, bersainglah dengan sehat ... di
bidang seni teater! Perkara nanti setelah lulus kalian mau lanjut nyeniman atau ngaryawan ... itu perkara lain.
Kukira sekian dulu. Aku sayang kamu. Sungguh rindu
aku bisa duduk bersama kamu sekalian ... sayang tidak ada Butterfly Wing di
kehidupan real ini yang bisa kupakai untuk meringkas 60 kilometer itu. Sampai
jumpa.
Surakarta, 27 Mei 2019
Padmo Adi
Comments
Post a Comment