SECAWAN ANGGUR

  SECAWAN ANGGUR Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga. Dokumen pribadi. Di sini... di kota ini... aku benar-benar disapih dikastrasi dibiarkan mati-hidup sendiri Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama Tidak ada lembut dekap payudara Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata Dijauhkan dari Tanah pusaka tempat moyangku dibumikan Dan kini cuma jadi kerinduan yang kepadanya hasrat mendamba Akan tetapi, keadaan ini justru aku syukuri sebab aku dengan merdeka mengada tanpa perlu alasan yang mengada-ada Aku bebas menciptakan diri bebas mengartikulasikan diri Aku bebas merayakan hidup menari dengan irama degup Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka Apa makna dari membuka mata pagi-pagi, lalu memejamkannya di waktu malam tiba? Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi. Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima! Menerima Mengakui adalah

Kepada Adam dan Adama

Kepada Adam dan Adama

Siapakah manusia di hadapan semesta?
Apakah manusia di hadirat alam raya?
Makhluk keras kepala dan congkak semata
yang mengira dapat menguasai segalanya.

Kita adalah makhluk kesepian,
yang tinggal pada sebuah planet mungil,
yang ada di tengah-tengah suatu tata surya,
yang mengarungi pinggiran lengan Bima Sakti.

Bantala ini adalah satu-satunya rumah kita.
Hidup mati, kita arungi semesta bersamanya.
Namun, malah terus saja pertiwi kita sakiti,
sembari putus asa mencari pengganti bumi.

Ketika pohon terakhir mati,
kepada siapa kita akan berteduh?
Ketika sawah tak lagi tumbuh padi,
apakah kita takkan pernah mengeluh?

Ibu bumi telah memberi kemurahan,
tapi kita ini hewan yang lupa bersyukur.
Kita begitu mabuk akan sabda Tuhan,
“... penuhilah bumi, dan kuasailah itu!”

Malang, 13 November 2019
Padmo Adi

Comments